Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUHAMAD Hafiez Lukman untuk semen-tara li-bur dulu dari kesibuk-annya berceramah. Se-belumnya, pria 35 tahun ini sering bepergian memenuhi undangan berdakwah, tapi kini ia hanya bisa meringkuk di satu tempat: tahanan Kepolisian Re-sor Jakarta Timur.
Dia juga dikenal sebagai Wa-kil Sekretaris III Majelis Ulama Indonesia Jakarta Timur. Hafiez dijemput polisi di rumah kontrakannya di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, pada awal Juli lalu. Polisi menangkap bekas anggota Front Pem-bela Islam (FPI) ini lantaran terkait -ka-sus dugaan pemerasan dan peng-aniayaan terhadap tiga -polisi. ”Tapi ini tidak ada kaitan-nya dengan Front Pembela Islam,” ka-ta Komisaris Besar -Ro-binson Ma-nurung, Kepala Polres Ja-karta Timur.
Semua bermula dari kece-la-kaan lalu lintas yang menim-pa Muhamad Ibham, 27 tahun, adik Hafiez, di Jalan Raya Be-kasi, di depan Penjara Cipinang, pada awal Mei lalu. Kabar ini baru diterima Hafiez beberapa hari sesudahnya. Ketika itu -Ibham sudah meninggal, dan jenazahnya disimpan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hafiez berang. Ia menuding polisi tak profesional mena-ngani adiknya. ”Penyebab ke-ma-ti-an adik saya juga simpang-siur,” ujarnya kepada Tempo. Ia la-lu mencari kete-rang-an dari Ru-mah Sakit Persa-habatan dan Kantor Satuan Lalu Lintas Jakarta Timur yang menangani kecelakaan itu. Diketahui, kecelakaan terjadi pada pukul 05.00. Saat dikirim ke RS Per-sahabatan, Ibham masih bernyawa, tapi 12 jam kemudian meninggal.
Sang kakak me-nye-sali lam-bat-nya polisi mengabarkan kecelakaan ini kepada keluar-ganya. ”Kalau mereka se-rius menca-ri alamat kami, pasti ke-temu,” ujarnya. Bapak satu anak ini te-lah me-nemui tiga polisi yang mena-ngani kasus tersebut: Ajun Ins-pektur Dua Joko Saputro, Bripka Juwarno, dan Brigadir B-udiono. Tapi keterangan k-etiga anggota Satuan Lalu Lintas ini tak memuas-kannya. ”Mereka tidak bi-sa men-jelas-kan kondisi dan posisi jatuh-nya adik saya,” ujarnya.
Lantaran menganggap tak becus menjalankan tugasnya, Hafiez mengancam melaporkan hal itu ke Polres Jakarta Timur, Direktorat Lalu Lintas, dan Polda Metro Jaya. Para polisi rupanya ke-takutan. Menurut Hafiez, mereka meminta damai dan masing-masing akan memberi uang santunan Rp 7 juta. ”Tapi saya bilang saya mencari kebenaran, -bukan uang,” ujarnya.
Hafiez juga membawa ketiga polisi ini ke dokter Mun’im Idris, ahli forensik RS Cipto Mangunkusumo. Keterangan ketiga polisi ini tak sama dengan keterangan Mun’im. Menurut polisi, Ibham mabuk s-aat mengendarai sepeda motor dan itu yang membuat ia terjungkal da-ri kendaraannya. Sedangkan versi dokter, tak ada alkohol di tu-buh Ibham. Hafiez yang saat itu emosional menampar tiga po-lisi tersebut. ”Saya ditampar sekali, tapi dua rekan saya berkali-kali,” ujar Joko.
Kepada Tempo, Joko membantah ide ganti rugi uang itu datang dari polisi. Menurut dia, Hafiez bertanya berapa mereka sanggup membayar jika masalah ini tidak diperpanjang. ”Saya jawab, saya punya tabungan Rp 7,5 juta.” Saat itulah, kata Joko, Hafiez meminta apakah mereka sanggup membayar masing-masing Rp 10 juta.
Menurut Joko, Hafiez meng-ancam jika uang itu tidak sege-ra diberikan, ia akan membawa mas-sa menduduki kantor Satuan Lalu Lintas. ”Dia bi-lang mau bikin saya tinggal berce-lana ko-lor,” ujar polisi ini. Untuk meme-nuhi permintaan Hafiez, Joko -me-minjam uang koperasi Rp 10 juta. Dua rekannya juga menyediakan uang dalam jumlah sama. Uang Rp 30 juta lalu diserahkan ke ru-mah Hafiez pada pertengahan Mei lalu.
Masalah ini terbongkar saat -Ke-pala Satuan Lalu Lintas Jakarta Timur yang baru, Komi-saris Polisi Indra Jafar, pada awal Juli lalu tak melihat Joko, Ju-war-no, dan Budiono di lapangan. Ter-nyata buntut kasus Ibham itu, keti-ganya diliburkan dari t-ugas lapangan. ”Itu salah satu kese-pakatan dengan Hafiez,” kata Kepala Unit Kecelakaan Satuan Lalu Lintas Jakarta Timur -Su-geng -Budiono.
Polda Metro Jaya pun telah turun tangan. Tiga polisi Satuan La-lu Lintas tersebut kini dipe-rik-sa tim Bidang Profesi dan Peng-am-an-an (Propam) Polda. ”S-udah dua kali saya diperiksa provost,” ujar Joko. Adapun uang Rp 30 juta yang di-setor para polisi itu sampai sekarang -masih dipegang Sayidah Arfah, ibu Ha-fiez. Ditemui di rumahnya, ibu lima anak- ini mengaku belum ada satu polisi- pun yang meminta kembali uang itu. ”Uang itu saya sendiri yang menerima. Katanya itu sebagai uang duka,” ujar Sayidah.
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo