MENGURUS tahanan memang repot. Banyak pantangannya. Lebih repot
lagi bila sarana yang disediakan juga mini. Ini terjadi terutama
di daerah-daerah. Dari Palembang dulu pernah dilaporkan bahwa
para tahanan, dengan tangan terborgol, harus berjalan kaki
sepanjang lebih kurang satu kilometer (TEMPO, 30 Oktober 1971).
Bukan pasal berjalan kakinya, tapi soal pengarakannya itulah
yang banyak dibincangkan. Umurnnya orang mengatakan bahwa
seorang tahanan belum dapat dikatakan bersalah sebelum hakim
menyatakannya dengan suatu keputusan. Padahal penggiringan
mereka di alam terbuka, lengkap dengan pengawalan bersenjata,
tak pelak telah menimbulkan wasangka bagi khalayak bahwa mereka
orang bersalah. Ada dua kemungkinan: pandangan masyarakat itu
yang salah -- karena toh palu hakim belum diketukkan - atau cara
membawa para tahanan yang harus dibetulkan. Yang terakhir ini
yang jelas masuk akal.
Di Kabupaten Asahan, sudah sejak 1968 Pengadilan Negeri Tanjung
Balai membuka sidangnya sekali seminggu di kantor Kejaksaan
Negeri Kisaran. Ini untuk perkara-perkara yang dilimpahkan oleh
Kejaksaan tersebut. Maka para tahanan pada setiap Kamis harus
didatangkan dri kota Tanjung Balai ke kota kedua, yang berjarak
kira-kira 27 kilometer.
Dengan tangan terborgol mereka dibawa beramai-ramai dalam
berbagai jenis kendaraan. Ini tergantung situasi keuangan kantor
Kejaksaan Negeri Kisaran. Bila ada uang, mereka naik bis. Tapi
tak jarang mereka digotong dengan truk pengangkut ikan asin.
Karena gratis. Yang untung bila di antara para tahanan ada yang
berkantong padat: taksi dicarter atas beban si tahanan berduit.
Bukan saja jaksa yang mengawal si tahnan kakap yang boleh naik,
tahanan lainpun boleh menumpang. Betul, di sana sampai saat ini
belum ada mobil tahanan.
Macam Sudah Diatur
Tapi soal bawa membawa orang tahahan ini dua bulan lalu jadi
problim. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pulau Simardan,
Tanjung Balai, menyurati Ketua Pengadilan Negeri kota yang sama,
serta menindaskan surat tersebut kepada Kepala Kejaksaan Negeri
Kisaran. Surat 24 Nopember 1976 itu berisi keluh kesah para
tahanan yang disidangkan di kantor Kejaksaan Kisaran. Jauhnya
jarak dan sulitnya pengangkutan mengakibatkan para tahanan yang
diangkut pagi hari baru dapat dikembalikan pada sorenya. Berarti
hampir sehari mereka berpuasa. "Ini sama dengan penyiksaan fisik
bagi mereka", antara lain bunyi surat yang diteken Lenggang
Marinus Sinaga, Kepala LP. Disebutnya juga, dalam proses
tersebut faktor keamanan sering terganggu. Dalam perjalanan
pergi balik itu para tahanan kerap lari. Cuma surat itu tak
menguatkan dengan data tahanan-tahanan yang lari selama ini.
Kesimpulan surat: supaya meniadakan sidang-sidang di Kisaran,
dan menggantinya dengan sidang di Pengadilan Negeri Tanjung
Balai. Artinya jaksalah yang harus datang dari Kisaran ke
Tanjung.
Tiga hari kemudian -- masih pukul 8 pagi -- Oon Subandria
Atmajaya SH, Kepala Kejaksaan Kisaran, menerima dua pucuk surat.
Satu dari Kepala LP yang tadi. Oon terkejut membaca surat yang
berbentuk tembusan itu. "Apa hak LP mencampuri urusan sidang
pengadilan? LP itu kan hanya gudang untuk menyimpan tahanan dan
hukuman", komentar Oon terhadap surat tersebut, sebagai
dituturkannya kepada TEMPO bulan lalu di kantornya.
Tapi Oon lebih terkejut lagi melihat surat yang kedua. Warkah
tersebut bertanggal 27 Nopember, tak lain datang dari Bahtiar
SH, Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Isinya merupakan
ketetapan ditiadakannya sidang pengadilan di kantor Oon -
terhitung mulai 1 Desember. Serba mendadak, setidaknya menurut
penilaian Kepala Kejaksaan itu. Jadi tandatanya juga bagi Oon,
bagaimana surat bertanggal hari yang sama dengan saat itu,
pagi-pagi sudah sampai di mejanya. "Nampaknya semua macam sudah
diatur", reaksi Oon.
Terus Main Surat
Diatur atau tidak, alasan yang dikemukakan Ketua Pengadilan
Negeri sama dengan yang disampaikan Kepala LP. Hanya pada Ketua
Pengadilan ada penopang lain: akhir-akhir ini jumlah perkara
yang disidangkan di Kisaran amat minim, biaya yang dikeluarkan
akan jauh lebih murah, bila jaksa yang datang ke Tanjung,
ketimbang para hakim dan panitera serta para tahanan yang harus
datang ke kota pak jaksa, proses pembawaan para tahanan dengan
tangan terbelenggu memberi kesan kepada khalayak bahwa mereka
orang-orang yang sudah dinyatakan bersalah.
Oon Subandria tak pelak jadi jengkel menghadapi surat Ketua
Pengadilan ini. Ia menyesalkan kenapa ia tak diajak
berkonsultasi lebih dulu. "Jarak Kisaran Tanjung Balai berapa
jauh sih, sampai saya nggak dihubungi lebih dahulu, terus main
surat saja", gerutu Oon. Menurutnya, tindakan Ketua Pengadilan
ini samasekali tak mencerminkan isi dan jiwa Instruksi Bersama
Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri
Kehakiman, Juli 1970, yang terkenal sebagai hasil pertemuan
Cibogo III. Oon juga berpandangan alasan yang dikemulakan, baik
oleh Ketua Pengadilan maupun Kepala LP, terlalu dicari-cari.
Memang Beginilah
Perihal berkurangnya jumlah perkara yang dilimpahkan jaksa, hal
ini menurut Oon harus dipahami oleh semua pihak. Soalnya memang
jumlah perkara yang datang dari kepolisian juga berkurang.
Sebab? "Tanya saja polisi", jawab jaksa yang baru setahun
menjabat Kepala Kejaksaan Negeri ibukota Kabupaten Asahan itu.
Sebaliknya Oon mengakui, cara pembawaan tahanan dapat dinilai
sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia -- untuk 'tidak
dianggap bersalah' sebelum diputuskan hakim demikian. "Tapi
situasi sekarang memang masih beginilah adanya", tangkis Oon
pula. "Apa boleh buat, saya sendiri tidak senang sebenarnya",
lanjutnya --sembari membenarkan bahwa memang kantornya belum
memiliki mobil tahanan.
Oon benar. Kondisi miskin begini bukan hanya nasib buruk kota
Kisaran. Sehingga ia balik bertanya: "Bagaimana pula tentang
tahanan Kejaksaan Tanjung Balai?" Di sana pun, menurut Oon,
para tahanan dengan tangan dirantai digiring berjalan kaki dari
LP ke Pengadilan yang jaraknya hampir dua kilometer. Bahkan
lebih parah, karena para tahanan mau tak mau harus melewati
pusat kota. "Nah kalau begitu, mana yang parah?" tanya Oon.
Sambil menyandar pada kursi putarnya, jaksa ini menyambung:
"Apakah dengan alasan yang sama, sidang di Tanjung Balai juga
harus dihapuskan?".
Bensin Hakim
Hari itu juga kontan sang Kepala Kejaksaan ambil pena: tidak
menyetujui putusan Ketua Pengadilan. Kecuali kalau Ketua mau
menjamin beberapa usul Oon. Antaranya, Pengadilan di Tanjung
dapat menjamin bahwa para saksi yang ada di sekitar Kisaran akan
dapat hadk di Tanjung. Tapi tak selamanya saksi saksi berada di
dekat Kisaran, bukan? Juga disinggung soal perongkosan. Oon
heran mengapa Ketua Pengadilan membicarakan soal ini. Sebab
semua pembiayaan untuk para tahanan adalah urusan Kejaksaan.
Memang soal pengangkutan hakim, Kejaksaan tak ikut campur. Tapi
karena Ketua Pengadilan mengutarakannya maka Oon perlu
menanggapi bahwa dia bersedia membantu "sekedar uang bensin"
untuk mengangkut para hakim ke Kisaran.
Surat balasan Oon kedengaran pedas. "Apa boleh buat, saya memang
bersedia untuk sekedar menyediakan uang bensin, komentarnya.
Tidak terdengar bagaimana jawaban Ketua Pengadilan Tanjung atas
balasan Oon tersebut. Hanya nyatanya sidang-sidang masih terus
diadakan di kantor Oon padahal Ketua Pengadilan, Bahtiar SH,
sebelumnya sudah mencanangkan tiadanya lagi sidang di Kisaran
sejak 1 Desember. Hakim dan panitera setiap Kamis bermunculan di
situ. Dan para tahanan sudah jelas. Mereka tetap dalam nasib
yang sama. Terkadang naik prah ikan asin dan tangan tetap
digari. Dan baru makan setelah larut senja. "Pokoknya sidang di
sini jalan terus" komentar Oon. "Kami sudah bikin konsensus
bersama", lanjutnya. Maksudnya sudah ada "peredaan ketegangan"
antara dia dan Bahtiar. Bagaimana dengan tahanan? Malang terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini