PELUKIS wanita masih langka kita jumpai. Kalau satu dua orang
kebetulan tampak, kita segera berharap tidak hanya melihat
sekedar gambar-gambar bunga. Karena bunga sudah sejak lama
selalu dikaitkan dengan kaum hawa yang halus. Melihat hal itu
berulang-ulang di kanvas mereka, kendati pun masih selalu bisa
mendapat pesona keindahan, kita merasa perlu ada pertukaran
objek. Pelukis seperti Kartika misalnya toh tidak kehilangan
kelembutan meskipun memilih objek-objek yang kasar dengan gaya
pelotot yang sering semrawut.
Di Balai Budaya, dua orang wanita D.T. Lowen dan Ireng Larasati
HS - memamerkan karya-karya mereka 8 - 16 Januari ini.
Hasil-hasil mereka boleh dikatakan masih bersifat studi. Harapan
kita pun tak sampai terpenuhi, untuk mendapat sesuatu yang lebih
dari bungabunga. D.T. Lowen, yang mengaku pernah mencicipi
pendidikan senirupa di Inggeris, menyatakan lebih banyak belajar
sendiri dari pengalamannya. Apa yang ada dalam pameran adalah
hasil-hasilnya dalam 3 tahun yang terakhir. Jumlahnya mencapai
70-an. Mempergunakan material bermacam-macam serta mengarah pada
lukisan komersiil, ia melukis juga binatang-binatang kecil,
manusia, benda-benda dan pemandangan, di samping bunga. Tetapi
agaknya ya g sempat dilakukannya dengan penuh perasaan adalah
gambar bunga. Pada objek-objek lainnya, ia kelihatan masih
bergulat dengan teknik, bentuk, komposisi, proporsi, warna dan
bahkan penguasaan material itu sendiri.
Ireng Larasati yang mengaku perrlah melahap ASRI selama 2 tahun,
memajang 40 buah patterns dan figures yang diberinya nomor urut.
Dalam format kecil-kecil, ia sampai pada komposisi dan
irama-irama yang berusaha mencapai harmoni yang umum, yakni
keserasian. Beberapa bentuk primitip dicobanya juga. Hasilnya
adalah sebuah hiasan dinding yang belum melantunkan apaapa
kecuali percobaan untuk menggauli warna. Dengan begini kedua,
pelukis ini sebetulnya lebih pantas menunda dahulu niat mereka
untuk pameran. Tak ada sesuatu yang cukup layak untuk
dipertontonkan, kecuali bahwa keduanya rupa-rupanya memang telah
berusaha keras untuk jadi pelukis. Mereka lebih cenderung
menghasilkan gambar-gambar hias.
Kebutuhan untuk pameran, tak bisa dilepaskan dari keinginan para
pelukis untuk mengukir nama dan merebut pembeli. Hal ini sudah
tentu tidak akan bisa ditampung hanya oleh Ruang Pameran TIM,
Balai Pertemuan Mitra Budaya dan Balai Budaya sendiri.
Usaha-usaha menyelenggarakan pameran dalam hotel-hotel besar --
untuk menyelamatkan setidak-tidaknya Balai Budaya, misalnya --
dengan demikian pantas dihargai.
PW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini