Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Suara dari lembaga kehidupan...

Yang bertato gelisah. yang merasa berdosa buru-buru menyingkir. terasa lebih aman di mana-mana. keluarga yang bertanya: apa yang sudah tobat juga ditembak?

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAM sebelum ajal menjemputnya, Madadi masih sempat bicara soal nasib kepada tetangganya, Abdul Jalil. "Teman-teman gue sudah banyak yang diculik dan tidak kembali lagi. Walaupun gue sudah sadar, tapi takut juga diincar," kata AbdulJalil, menirukan keresahan sobatnya itu disaat-saat terakhir. "Pokoknya gue akan menghilangkan semua tato ini, dengan cara apa pun, walau sakitnya kayak apa pun," tekadnya, sebelum meninggalkan temannya dan berangkat tidur bersama istri mudanya, Nanik. Kekhawatiran Madadi malam itu juga jadi kenyataan. Nanik membenarkan bahwa sebelum mereka kawin, suaminya itu termasuk penjahat. "Tapi telah saya bimbing sampai menjadi baik dan tidak pernah keluar malam," tambah Nanik. Madadi, kata istrinya itu, tiga bulan terakhir benar-benar tidak pernah keluar malam sama sekali. Kegiatannya hanya membantu dagangan istrinya di kios kelontong. Namun, adanya penembakan dan penculikan misterius, tak urung membuat Madadi gelisah juga. Pernah Madadi berpesan kepada Nanik: "Kalau saya mendahului kamu bereskanlah mayat saya menurut agama kita." Nur Hasanah, istri tua Madadi yang tinggal di rumah ayah almarhum di Warakas, membenarkan bahwa suaminya telah bertobat sejak kawin lagi dua tahun lalu. Sebelumnya, dibenarkannya, Madadi sering keluar masuk-penjara. Pertama kali ia dijatuhi hukuman pada 1972. "Waktu itu ia difitnah: membongkar rumah orang," ujar Nur. Pernah pula Madadi ditembak polisi karena mencoba lari dari tahanan. Kata Nur, lelaki yang menikahinya 15 tahun lalu itu, biasanya hanya memberi nafkah istri dan tiga anaknya sebanyak Rp 1.000 sehari. "Uang itu dari hasil dagangan bersama Nanik. Dengan uang segitu, kami kadang-kadang bisa dua hari tidak makan," ujar Nur sambil mengusap air matanya, di samping madunya. Walau begitu ia sangat sedih kehilangan suaminya itu. "Sekarang saya tidak tahu dari mana mendapat belanja untuk menghidupi anak-anak itu," kata Nur Hasanah yang mengaku tidak punya penghasilan sendiri. korban penembakan di Jakarta sejak awal tahun ini, menurut sebuah sumber, kebanyakan dari "kelas Madadi". Satu-satunya yang dianggap penting adalah Eddy Menpor. Ia diculik, ketika menikmati hiburan malam di suatu tempat di Tanjungpriok, Mei lalu. Sampai pekan lalu belum ada kabar tentang nasib Eddy Menpor -- seperti korban-korban penculikan lainnya. Dan sampai kini belum ada angka pasti tentang jumlah yang diculik. Di Bandung, yang termasuk kelas atas, adalah Tonton Sultoni, 34 tahun, jagoan Jalan Buah Batu yang diculik sejak Mei lalu. Tonton diambil ketika akan menserviskan Honda Civicnya di Jalan Sukarno-Hatta. "Saya sudah cek ke mana-mana dan telah memeriksa semua mayat tak dikenal yang ditemukan, tapi tidak juga ketemu," ujar Isye, istri Tonton yang sehari-harinya guru SMAK BPK Bandung. Ia merasa heran -- jika benar -- suarninya kena culik sebagai bandit. Sebab, Isye merasa suaminya tidak lagi berbuat macam-macam, sejak keluar dari LP Banceuy 10 bulan lalu. Selama satu setengah tahun, kata Isye, Tonton mendekam di LP itu karena menembak Sersan Mayor Atang. Untungnya bintara itu tertolong nyawanya. "Sekarang kami malah dekat dengan Pak Atang," tambah Isye. Ia menolak mencentakan apa saja yang diperbuat suaminya sebelum masuk LP itu. "Saya ingin melupakan masa lalu," alasan ibu dari dua anak itu. Isye, yang mengaku sejak kehilangan suaminya merasa sakit-sakitan dan dapat menghabiskan tiga bungkus rokok kretek sehari, menggambarkan suaminya itu tidak "bertampang residivis". Berkulit putih, tubuh gemuk pendek, "ia bahkan tanpa tato sama sekali," katanya. Tonton, tamatan SMA Taman Siswa Bandung, sebelum menikah dengn Isye, 1974, menurut istrinya tidak suka merokok apalagi minum minuman keras. "Minum kopi pun ia jarang," tutur Isye yang tinggal di paviliun rumah mertuanya. Seperangkat kursi tamu, sofa model kini, dan tv berwarna 20 inci itu saja, menurut Isye, peninggalan suaminya. "Honda Civic sudah saya jual untuk makan anak-anak," ujarnya. Tapi, tidak sengaja ia membenarkan, pernah diajak suaminya itu berlibur ke Eropa. Isye juga mengaku tidak begitu tahu pekerjaan suaminya. "Yang saya tahu, jual-beli mobil atau rumah," tambahnya. Tapi ibu Tonton, Nyonya Abdul, membenarkan bahwa anaknya suka juga dapat order "menagih utang". "Disuruh orang kan boleh," kata Nyonya Abdul. Seorang teman Tonton, yang tak mau disebutkan namanya, mengatakan pernah dihubungi oleh "jaoan Buah Batu" itu beberapa hari sebelum diculik. "Ia meminta saya memutarkan uangnya sebanyak Rp 10 juta," katanya. Menurut sumber di kepolisian, Tonton adalah salah seorang tokoh gang Buah Batu, yang merupakan cikal bakal organisasi gali di Bandung Selatan. Setelah grup Buah Batu "mengkonsolidasikan dirinya", muncul pula gang lainnya di Bandung Utara dengan nama Muda Mudi Bandung Raya, yang bulan lalu digerebek karena diduga mengadakan rapat gelap. Antara kedua kelompok itu, kata sumber TEMPO, terjadi persaingan. Bahkan sering gontok-gontokan. Selain Tonton, tokoh Buah Batu lainnya yang juga menghilang, adalah Daman Hendrawan, 40 tahun. "Setelah Tonton diculik, ia mengatakan akan ke luar kota dan sampai sekarang tidak kembali," kata istrinya, Sonya. Seorang yang kenal Daman memperkirakan, penghasilan tokoh yang satu ini, tidak kurang dari Rp 3 juta sebulan. Katanya, Daman yang suka memakai Mercy Tiger 200, mengutip upeti dari toko-toko yang dikuasainya -- masing-masing Rp 50 ribu per bulan. Sebuah perusahaan real esate, tambahnya, bahkan terpaksa membayar Rp 250 ribu sebulan. Tonton dan Daman agaknya sekelas dengan rekan-rekannya yang lebih dulu kena tumpas di Yogyakarta seperti, Suwahyo, Slamet Gaplek, dan Iman Supeno (TEMPO, 14 Mei). Slamet, menurut sumber Garnizun, bisa mengumpulkan Rp 2,5 juta sebulan dari berbagai kutipan. Begitu juga Iman Supeno yang pernah mengaku kepada TEMPO, mempunyai penghasilan Rp 1,5 juta sebulan dari daerah kekuasaannya. Hampir semua tokoh yang sudah marhum itu mempunyai rumah dengan perabotan "lumayan" -- seperti tv berwarna, lemari es, dan juga mobil. Selain ada gali yang kaya juga ada yang sarjana -- bahkan pegawai negeri. Salah seorang dari 60 gali Yogyakarta yang tertembak, adalah sarjana jurusan Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Drs. Ismoyo. Bekas pegawai Pemda Yogyakarta itu berhenti jadi pegawai negeri karena "nyambi" di dunia hitam. Begitu pula Bagong Supriyadi, bekas Lurah Desa Keparakan Yogya, yang kini terkena wajib lapor bersama ratusan gali lainnya. Ia diberhentikan dari jabatan, dan dipindahkan ke Sub Dit Pemerintahan Kodya Yogya, karena melarikan diri ketika gali diporak-porandakan di kota itu. Mula-mula ia membantah disebut gali. "Sejak dari rahim Ibu, saya tidak pernah memeras, apalagi merampok," ujar Bagong. Tapi, setelah ditunjukkan bukti-bukti, Bagong mengaku mempunyai 60 anak buah dan "memungli" 100 bis kota. "Tapi yang memungut Koperasi Angkutan Kota, kami hanya kebagian jatah 50 bis dengan pungutan masing-masing Rp 1.500 sehari," tutur Bagong di rumahnya. Kini ia tumbang. Namun, di saat tumbangnya para tokoh gali atau bekas gali di berbagai kota itu, ada bekas tokoh bromocorah yang lagi beken. Ia bahkan bisa menginjakkan kaki di Istana Negara dan bertemu Presiden serta menteri-menteri. Ia adalah Soewono Blong, 53 tahun, yang dua pekan lau mendapat hadiah Kalpataru. Bekas penjahat Jawa Timur itu menciptakan perkampungan sehat untuk bekas narapidana di Dukuh Cakarayam dan Balongcangkring, Mojokerto, Jawa Timur. Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan, Emil Salim, menilai bahwa Blong berhasil memperbaiki lingkungan dari segi fisik sekaligus sosial. Blong pernah dituduh membantu dan memberi senjata kepada mendiang Kusni Kasdut -- ketika "narapidana teladan" itu buron. Karena itu ia sempat ditahan. Tapi Blong berhasil membina 800 kepala keluarga di desa yang dibangunnya sejak 1967. Selain rindang dengan tumbuh-tumbuhan, desa yang dibangun Blong kelihatan tenteram, dan kehidupan berjalan seperti di desa-desa lainnya. Resep Blong membina bekas narapidana: jangan mereka diisolasikan dari masyarakat. Selain itu, "beri mereka pengarahan dan penyaluran dan, yang lebih penting, jangan dibujuk janji-janji," tambah Blong. Dari mempraktekkan resepnya itulah ia mendapat hadiah Kalpataru sebesar Rp 2,5 juta yang kemudian diserahkan kepada penduduk desanya untuk modal koperasi simpan pinjam. "Agar mereka tidak jadi korban rentenir," ujar Blong. Blong yakin bisa menyadarkan semua gali atau bromocorah se-Jawa-Madura kalau tugas itu diserahkan kepadanya. Sekarang sedang merencanakan pembangunan perkampungan baru. Karena akhir-akhir ini, katanya, ia kedatangan penduduk baru sebanyak 60 orang. "Tapi mereka bukan gali," kata Blong. Ia hanya mengaku bahwa selama penumpasan gali, pernah didatangi residivis dari Tanah Abang, Jakarta, yang ingin meniru resep Blong. Tentang cara-cara memberantas bandit seperti belakangan ini, tidak disetujui Blong. "Saya setuju tindakan tegas, tapi yang sesuai dengan hukum," ujarnya. Ia yakin, satu-satunya cara untuk mengatasi kejahatan, adalah dengan mempraktekkan resepnya tadi. Berbeda resep, tentu berbeda rasa. Resep yang lain, terlihat dari munculnya berbagai organisasi, yang selama ini dikenal menampung para bekas narapidana seperti, Prems, Yayasan Bina Kemanusiaan diJakarta, Fajar Menyingsing di Semarang, dan Massa 33 di Surabaya. Kini tidak terdengar lagi kegiatannya. "Sebenarnya tidak dilarang, tapi kami bekukan. Karena ada seruan Pangkopkamtib tahun yang lalu agar dibubarkan," ujar Ketua Yayasan Bina Kemanusiaan Effendi Tallo. Tallo kini mengaku sebagai eksportir udang ke Hongkong. Bulan-bulan ini ia sibuk. "Minggu lalu saya baru pulang dari luar negeri," kata Effendi di rumahnya di Jalan Dewi Sartika, Jakarta, sambil menikmati acara televisi. Sebab itu, katanya, ia tidak bisa kasih komentar tentang aksi penembakan misterius itu. Ia, katanya, juga belum tahu siapa-siapa korban yang jatuh. Namun sempat ditambahkannya, "penembakan itu mungkin cara yang paling tepat untuk menanggulangi kejahatan yang sekarang semakin meningkat sampai di luar batas kemanusiaan." Itu juga resep -- meski dari lembah yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus