SEJAM sebelum ajal menjemputnya, Madadi masih sempat bicara soal
nasib kepada tetangganya, Abdul Jalil. "Teman-teman gue sudah
banyak yang diculik dan tidak kembali lagi. Walaupun gue sudah
sadar, tapi takut juga diincar," kata AbdulJalil, menirukan
keresahan sobatnya itu disaat-saat terakhir.
"Pokoknya gue akan menghilangkan semua tato ini, dengan cara apa
pun, walau sakitnya kayak apa pun," tekadnya, sebelum
meninggalkan temannya dan berangkat tidur bersama istri mudanya,
Nanik. Kekhawatiran Madadi malam itu juga jadi kenyataan.
Nanik membenarkan bahwa sebelum mereka kawin, suaminya itu
termasuk penjahat. "Tapi telah saya bimbing sampai menjadi baik
dan tidak pernah keluar malam," tambah Nanik. Madadi, kata
istrinya itu, tiga bulan terakhir benar-benar tidak pernah
keluar malam sama sekali. Kegiatannya hanya membantu dagangan
istrinya di kios kelontong.
Namun, adanya penembakan dan penculikan misterius, tak urung
membuat Madadi gelisah juga. Pernah Madadi berpesan kepada
Nanik: "Kalau saya mendahului kamu bereskanlah mayat saya
menurut agama kita."
Nur Hasanah, istri tua Madadi yang tinggal di rumah ayah
almarhum di Warakas, membenarkan bahwa suaminya telah bertobat
sejak kawin lagi dua tahun lalu. Sebelumnya, dibenarkannya,
Madadi sering keluar masuk-penjara. Pertama kali ia dijatuhi
hukuman pada 1972. "Waktu itu ia difitnah: membongkar rumah
orang," ujar Nur.
Pernah pula Madadi ditembak polisi karena mencoba lari dari
tahanan. Kata Nur, lelaki yang menikahinya 15 tahun lalu itu,
biasanya hanya memberi nafkah istri dan tiga anaknya sebanyak Rp
1.000 sehari. "Uang itu dari hasil dagangan bersama Nanik.
Dengan uang segitu, kami kadang-kadang bisa dua hari tidak
makan," ujar Nur sambil mengusap air matanya, di samping
madunya. Walau begitu ia sangat sedih kehilangan suaminya itu.
"Sekarang saya tidak tahu dari mana mendapat belanja untuk
menghidupi anak-anak itu," kata Nur Hasanah yang mengaku tidak
punya penghasilan sendiri.
korban penembakan di Jakarta sejak awal tahun ini, menurut
sebuah sumber, kebanyakan dari "kelas Madadi". Satu-satunya yang
dianggap penting adalah Eddy Menpor. Ia diculik, ketika
menikmati hiburan malam di suatu tempat di Tanjungpriok, Mei
lalu. Sampai pekan lalu belum ada kabar tentang nasib Eddy
Menpor -- seperti korban-korban penculikan lainnya. Dan sampai
kini belum ada angka pasti tentang jumlah yang diculik.
Di Bandung, yang termasuk kelas atas, adalah Tonton Sultoni, 34
tahun, jagoan Jalan Buah Batu yang diculik sejak Mei lalu.
Tonton diambil ketika akan menserviskan Honda Civicnya di Jalan
Sukarno-Hatta. "Saya sudah cek ke mana-mana dan telah memeriksa
semua mayat tak dikenal yang ditemukan, tapi tidak juga ketemu,"
ujar Isye, istri Tonton yang sehari-harinya guru SMAK BPK
Bandung.
Ia merasa heran -- jika benar -- suarninya kena culik sebagai
bandit. Sebab, Isye merasa suaminya tidak lagi berbuat
macam-macam, sejak keluar dari LP Banceuy 10 bulan lalu. Selama
satu setengah tahun, kata Isye, Tonton mendekam di LP itu karena
menembak Sersan Mayor Atang. Untungnya bintara itu tertolong
nyawanya. "Sekarang kami malah dekat dengan Pak Atang," tambah
Isye. Ia menolak mencentakan apa saja yang diperbuat suaminya
sebelum masuk LP itu. "Saya ingin melupakan masa lalu," alasan
ibu dari dua anak itu.
Isye, yang mengaku sejak kehilangan suaminya merasa
sakit-sakitan dan dapat menghabiskan tiga bungkus rokok kretek
sehari, menggambarkan suaminya itu tidak "bertampang residivis".
Berkulit putih, tubuh gemuk pendek, "ia bahkan tanpa tato sama
sekali," katanya. Tonton, tamatan SMA Taman Siswa Bandung,
sebelum menikah dengn Isye, 1974, menurut istrinya tidak suka
merokok apalagi minum minuman keras. "Minum kopi pun ia jarang,"
tutur Isye yang tinggal di paviliun rumah mertuanya. Seperangkat
kursi tamu, sofa model kini, dan tv berwarna 20 inci itu saja,
menurut Isye, peninggalan suaminya. "Honda Civic sudah saya jual
untuk makan anak-anak," ujarnya. Tapi, tidak sengaja ia
membenarkan, pernah diajak suaminya itu berlibur ke Eropa.
Isye juga mengaku tidak begitu tahu pekerjaan suaminya. "Yang
saya tahu, jual-beli mobil atau rumah," tambahnya. Tapi ibu
Tonton, Nyonya Abdul, membenarkan bahwa anaknya suka juga dapat
order "menagih utang". "Disuruh orang kan boleh," kata Nyonya
Abdul. Seorang teman Tonton, yang tak mau disebutkan namanya,
mengatakan pernah dihubungi oleh "jaoan Buah Batu" itu beberapa
hari sebelum diculik. "Ia meminta saya memutarkan uangnya
sebanyak Rp 10 juta," katanya.
Menurut sumber di kepolisian, Tonton adalah salah seorang tokoh
gang Buah Batu, yang merupakan cikal bakal organisasi gali di
Bandung Selatan. Setelah grup Buah Batu "mengkonsolidasikan
dirinya", muncul pula gang lainnya di Bandung Utara dengan nama
Muda Mudi Bandung Raya, yang bulan lalu digerebek karena diduga
mengadakan rapat gelap. Antara kedua kelompok itu, kata sumber
TEMPO, terjadi persaingan. Bahkan sering gontok-gontokan.
Selain Tonton, tokoh Buah Batu lainnya yang juga menghilang,
adalah Daman Hendrawan, 40 tahun. "Setelah Tonton diculik, ia
mengatakan akan ke luar kota dan sampai sekarang tidak kembali,"
kata istrinya, Sonya.
Seorang yang kenal Daman memperkirakan, penghasilan tokoh yang
satu ini, tidak kurang dari Rp 3 juta sebulan. Katanya, Daman
yang suka memakai Mercy Tiger 200, mengutip upeti dari toko-toko
yang dikuasainya -- masing-masing Rp 50 ribu per bulan. Sebuah
perusahaan real esate, tambahnya, bahkan terpaksa membayar Rp
250 ribu sebulan.
Tonton dan Daman agaknya sekelas dengan rekan-rekannya yang
lebih dulu kena tumpas di Yogyakarta seperti, Suwahyo, Slamet
Gaplek, dan Iman Supeno (TEMPO, 14 Mei). Slamet, menurut sumber
Garnizun, bisa mengumpulkan Rp 2,5 juta sebulan dari berbagai
kutipan. Begitu juga Iman Supeno yang pernah mengaku kepada
TEMPO, mempunyai penghasilan Rp 1,5 juta sebulan dari daerah
kekuasaannya. Hampir semua tokoh yang sudah marhum itu mempunyai
rumah dengan perabotan "lumayan" -- seperti tv berwarna, lemari
es, dan juga mobil.
Selain ada gali yang kaya juga ada yang sarjana -- bahkan
pegawai negeri. Salah seorang dari 60 gali Yogyakarta yang
tertembak, adalah sarjana jurusan Ilmu Sosial dan Politik, UGM,
Drs. Ismoyo. Bekas pegawai Pemda Yogyakarta itu berhenti jadi
pegawai negeri karena "nyambi" di dunia hitam.
Begitu pula Bagong Supriyadi, bekas Lurah Desa Keparakan Yogya,
yang kini terkena wajib lapor bersama ratusan gali lainnya. Ia
diberhentikan dari jabatan, dan dipindahkan ke Sub Dit
Pemerintahan Kodya Yogya, karena melarikan diri ketika gali
diporak-porandakan di kota itu. Mula-mula ia membantah disebut
gali. "Sejak dari rahim Ibu, saya tidak pernah memeras, apalagi
merampok," ujar Bagong. Tapi, setelah ditunjukkan bukti-bukti,
Bagong mengaku mempunyai 60 anak buah dan "memungli" 100 bis
kota. "Tapi yang memungut Koperasi Angkutan Kota, kami hanya
kebagian jatah 50 bis dengan pungutan masing-masing Rp 1.500
sehari," tutur Bagong di rumahnya. Kini ia tumbang.
Namun, di saat tumbangnya para tokoh gali atau bekas gali di
berbagai kota itu, ada bekas tokoh bromocorah yang lagi beken.
Ia bahkan bisa menginjakkan kaki di Istana Negara dan bertemu
Presiden serta menteri-menteri. Ia adalah Soewono Blong, 53
tahun, yang dua pekan lau mendapat hadiah Kalpataru. Bekas
penjahat Jawa Timur itu menciptakan perkampungan sehat untuk
bekas narapidana di Dukuh Cakarayam dan Balongcangkring,
Mojokerto, Jawa Timur. Menteri Lingkungan Hidup dan
Kependudukan, Emil Salim, menilai bahwa Blong berhasil
memperbaiki lingkungan dari segi fisik sekaligus sosial.
Blong pernah dituduh membantu dan memberi senjata kepada
mendiang Kusni Kasdut -- ketika "narapidana teladan" itu buron.
Karena itu ia sempat ditahan. Tapi Blong berhasil membina 800
kepala keluarga di desa yang dibangunnya sejak 1967. Selain
rindang dengan tumbuh-tumbuhan, desa yang dibangun Blong
kelihatan tenteram, dan kehidupan berjalan seperti di desa-desa
lainnya.
Resep Blong membina bekas narapidana: jangan mereka diisolasikan
dari masyarakat. Selain itu, "beri mereka pengarahan dan
penyaluran dan, yang lebih penting, jangan dibujuk janji-janji,"
tambah Blong. Dari mempraktekkan resepnya itulah ia mendapat
hadiah Kalpataru sebesar Rp 2,5 juta yang kemudian diserahkan
kepada penduduk desanya untuk modal koperasi simpan pinjam.
"Agar mereka tidak jadi korban rentenir," ujar Blong.
Blong yakin bisa menyadarkan semua gali atau bromocorah
se-Jawa-Madura kalau tugas itu diserahkan kepadanya. Sekarang
sedang merencanakan pembangunan perkampungan baru. Karena
akhir-akhir ini, katanya, ia kedatangan penduduk baru sebanyak
60 orang. "Tapi mereka bukan gali," kata Blong. Ia hanya mengaku
bahwa selama penumpasan gali, pernah didatangi residivis dari
Tanah Abang, Jakarta, yang ingin meniru resep Blong.
Tentang cara-cara memberantas bandit seperti belakangan ini,
tidak disetujui Blong. "Saya setuju tindakan tegas, tapi yang
sesuai dengan hukum," ujarnya. Ia yakin, satu-satunya cara untuk
mengatasi kejahatan, adalah dengan mempraktekkan resepnya tadi.
Berbeda resep, tentu berbeda rasa.
Resep yang lain, terlihat dari munculnya berbagai organisasi,
yang selama ini dikenal menampung para bekas narapidana seperti,
Prems, Yayasan Bina Kemanusiaan diJakarta, Fajar Menyingsing di
Semarang, dan Massa 33 di Surabaya. Kini tidak terdengar lagi
kegiatannya. "Sebenarnya tidak dilarang, tapi kami bekukan.
Karena ada seruan Pangkopkamtib tahun yang lalu agar
dibubarkan," ujar Ketua Yayasan Bina Kemanusiaan Effendi Tallo.
Tallo kini mengaku sebagai eksportir udang ke Hongkong.
Bulan-bulan ini ia sibuk. "Minggu lalu saya baru pulang dari
luar negeri," kata Effendi di rumahnya di Jalan Dewi Sartika,
Jakarta, sambil menikmati acara televisi. Sebab itu, katanya, ia
tidak bisa kasih komentar tentang aksi penembakan misterius itu.
Ia, katanya, juga belum tahu siapa-siapa korban yang jatuh.
Namun sempat ditambahkannya, "penembakan itu mungkin cara yang
paling tepat untuk menanggulangi kejahatan yang sekarang semakin
meningkat sampai di luar batas kemanusiaan." Itu juga resep --
meski dari lembah yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini