BELUM satu jam Madadi membaringkan diri. Tiba-tiba terdengar ada
yang mengetuk pintu sambil berseru: "Bangun, Mad. Buka pintu!"
Lelaki tegap yang badannya penuh tato itu mengejap-ngejapkan
matanya yang sedang sakit. Ia bangkit dan mencari sandal
jepitnya di sisi tempat tidur.
Begitu ia membuka pintu ruang depan yang sekaligus dijadikan
kios barang kelontong -- tahu-tahu Madadi sudah berhadapan
dengan sesosok tubuh yang tak kalah tegap dibanding dirinya.
"Ikut saya," kata orang tadi dengan nada memerintah.
Nanik, istri kedua yang bercerita semuanya itu, cuma bisa
berdiri melongo. Apalagi, ketika ia melihat ada tiga sosok lain
berdiri di kegelapan, dengan wajah tertutup sapu tangan.
Madadi, 31 tahun, tak sempat lagi mengganti setelan olah raga
warna biru putih yang dikenakan. "Tamu"nya segera mengajak
pergi. Mereka menuju mobil Suzuki Jimny yang diparkir di tepi
jalan, tepat di seberang Asrama Transito Transmigrasi, Kebon
Kelapa, Jakarta Timur.
Pada dinihari itu, Selasa 7 Juni, Abdul Jalil yang masih kongkow
dekat asrama, samar-samar mendengar Madadi mengaduh dan minta
ampun. Belum sempat dihampiri, jip kecil itu sudah tancap gas
dan menghilang di kegelapan malam. Dan satu jam kemudian,
sekitar pukul 02.00, orang menemukan sesosok mayat dengan dada
dan pelipis koyak diterjang peluru. Dia adalah Madadi --
terkapar dekat jembatan di bilangan Cakung, Jakarta Utara.
Pada jam yang sama, sebuah eksekusi lain dilaksanakan di sebuah
gang sempit di Warakas, Tanjungpriok, Jakarta. Empat orang
berpakaian preman dengan sapu tangan menutupi wajahnya,
tiba-tiba muncul di rumah Ramli bin Sardi, Senin malam pekan
lalu. Ramli, yang sedang asyik berbincang-bindang dengan
adiknya, Edy Permadi, terkejut ketika salah seorang tamu itu
bertanya dengan keras: "Eh, kamu yang bernama Ramli."
Yang ditanya dengan gugup hanya mengangguk. Sebuah pistol lalu
menggiring Ramli keluar rumah. Adiknya, yang mengintip dari
jendela, mendengar suara kakaknya: "Saya tidak mau ikut, Pak,
saya mau bilang dulu pada emak." Tapi, cerita Edy kemudian,
sebuah gagang pistol mendarat di kepala kakaknya. Salah seorang
yang dari tadi hanya menyaksikan, memberi perintah: "Sudah
'nggak usah lama-lama -- tembak saja." Menurut Edy, sebuah laras
pistol diarahkan hampir menempel kulit kepala di bawah telinga
kanan kakaknya. Selanjutnya terdengar bunyi letusan -- pelan
sekali. Penembaknya bergegas ke jip Toyota yang diparkir dekat
rumah itu.
Siapa sebenarnya para "terhukum" -- merupakan cerita misteri
tersendiri (lihat: Suara dari . . . )
Tapi bukan cerita baru lagi sekarang bahwa Madadi dan Ramli
telah menjadi sasaran "penembak misterius" -- yang sampai pekan
lalu masih mengincar korban. Belum jelas berapa sebenarnya yang
masuk daftar hitam untuk dihabisi, dan kapan penembakan akan
berhenti. Tapi, setelah sukses menggasak "orang bertato" di
Jakarta, Mei lalu tampaknya "penembak misterius" mulai
mengembangkan sayap ke Jawa Barat.
"Kuman masyarakat" yang dilumpuhkan, kira-kira lumayan juga.
Khusus di Jakarta, menurut catatan Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia (LKUI), sejak Januari lalu tercatat ada 48
orang mati dengan luka tembak Terbanyak pada Mei kemarin: 21
orang. Juni ini, bisa jadi catatan akan menanjak, kalau tak
terhalang bulan puasa. Sebab sampai pekan lalu saja LKUI sudah
mencatat ada 10 lagi yang dipungut dari jalanan dengan luka
tembak. Akan halnya di Bandung, kabarnya, angka sudah mencapai
20 lebih.
Dan bersamaan dengan itu, "penembak terang" pun, tampak
meningkatkan kegiatannya. Garnisun Yogyakarta, yang sejak akhir
Maret lalu secara terbuka mengumumkan Operasi Pemberantasan
Kejahatan (OPK), menurut sebuah sumber, telak "melumpuhkan"
sekitar 60 gali atau "gabungan anak liar". Operasi antibandit
Jawa Tengah dikabarkan mencatat angka 70. Di Jakarta, Bandung,
dan Medan, belakangan ini polisi pun -- sebagai "penembak
terang" -- agak ringan tangan menarik picu pistol. Alasannya:
"Karena mereka coba melawan atau melarikan diri."
"Penembak misterius", sampai pekan lalu masih terselubung di
balik tanda tanya: siapa sebenarnya para penembak yang rajin
mencari sasaran "musuh masyarakat" itu? Orang hanya bisa
menduga-dua bahwa itu tak lain merupakan kelanjutan dari
operasi pemberantasan gali gaya Yogya -- yang dinilai sebagai
tindakan yang pas dalam menurunkan tindak kejahatan.
Pernyataan Pangab/Pangkokamtib Jenderal Benny Moerdani, Mei
lalu di Istana Negara, hanya mengatakan: "Indonesia adalah
negara hukum. Penembakan hanya dilakukan dalam keadaan
terpaksa."
Kapolri Letnan Jenderal Anton Soedjarwo sendiri menolak ketika
dimintai tanggapannya. "Pokoknya, bagi saya yang penting aman,"
katanya kepada TEMPO dalam acara jamuan makan bagi atlet volley
yang baru kembali dari SEA Games, pekan lalu.
Sebelum-sebelumnya, seperti sering dikatakannya, Anton menilai
bahwa penjahat sekarang banyak yang sudah melewati batas.
Meskipun sudah mendapat harta, katanya, mereka tak segan-segan
mengancam nyawa korbannya. Jenderal polisi bertubuh tinggi besar
dan senang memelihara kumis itu tampaknya cukup mafhum akan
kehadiran "penembak misterius".
Ada pula yang menghubung-hubungkan dengan ucapan Laksamana
Sudomo ketika masih menjabat Pangkopkamtib. Menghadapi banyak
pembajak bis antarkota, sekitar awal 1982 lalu, Sudomo
menyatakan akan membentuk killers squad -- semacam pasukan
istimewa. "Pasukan yang menghancurkan teror Warman itu, sekarang
untuk melawan pembajak," kata Sudomo ketika itu.
Tapi pembajakan bis tak begitu saja mereda. Dan ternyata juga
tidak ada perusuh dalam bis yang kena tembak. "Rupanya, baru
sekaranglah killers squad itu dipasang," tutur seorang tokoh
masyarakat.
Tapi, sekali lagi, itu hanya dugaan yang muncul di sana-sini.
Yang jelas, penembakan secara diam-diam, yang boleh membikin
keder gali-gali, tampaknya dilakukan dengan rapi, terencana, dan
penuh perhitungan. Para calon korban, umumnya ditemukan tanpa
harus bertanya kiri-kanan. Mereka langsung menuju sasaran.
Modus, atau cara yang ditempuh, kebanyakan sama dengan yang
dialami Madadi. Setelah mendapatkan informasi yang matang,
mungkin dari polisi atau sumber lain, "penembak misterius"
segera menuju sasaran. Korban lalu "diculik" dari rumah atau
tempat ia mangkal -- biasanya petang atau malam hari. Diseret ke
dalam mobil, jenis jip, yang telah disiapkan.
Apa yang terjadi di dalam mobil, tak seorang pun yang dapat
bercerita. Mobil lalu melaju menuju ke suatu tempat yang jauh
dari keramaian. Tak jelas, di mana dan kapan penembakan
dilakukan. Pokoknya, mayat bertato ditemukan tergeletak di
pinggir jalan atau dekat jembatan atau di tempat ia biasa malang
melintang. "Para eksekutor" umumnya bertubuh atletis, sigap
dalam bertindak dan tampak terlatih melakukan apa saja. Satu
grup, paling tidak, terdiri dari empat orang.
Korban, seperti dikatakan dr. Abdul Mun'im dari LKUI, umumnya
ditembak dari jarak dekat dan peluru selalu mengenai bagian
tubuh yang mematikan: ulu hati, jantung, dan kepala. Kalaupun
ada yang mengenai bagian lain, anggap saja itu semacam bonus.
Berdasar bentuk luka, ahli patologi forensik itu menarik
kesimpulan, kebanyakan luka diakibatkan oleh jenis peluru yang
keluar dari laras memutar ke kanan. Menariknya lagi, "pelurunya
masih mengkilap, seperti baru diambil dari pabrik," kata Mun'im.
Artinya? Mun'im meminta kita menarik kesimpulan sendiri.
Bagi masyarakat, yang tak paham tentang senjata api, lebih suka
memperhatikan "hasil akhir"-nya. Stel kenceng yang dilakukan
aparat keamanan tampaknya menular. Masyarakat ikut beringas. Dua
pekan lalu Ocih, seorang penjahat kambuhan yang sering
beroperasi di seputar terminal bis Tasikmalaya, tewas dengan
luka di sekujur tubuhnya. Ia menjadi mangsa masyarakat yang
gregetan karena sering diganggu.
Sebelum Ocih, selama Mei, lima rekannya seprofesi juga menemui
nasib sama di Jakarta. Korban pengeroyokan di Jawa Tengah bahkan
lebih banyak. Dari 86 penjahat yang mati terbunuh selama
beberapa bulan terakhir ini, menurut Kasi Pendak Jawa Tengah dan
DIY, Mayor Haryono, 16 di antaranya karena dikeroyok massa.
Tak heran, kalau mereka yang merasa bisa menjadi sasaran dan
mati konyol, lalu menyisih. Tinggallah orang seperti Maskun
Prasetya, komandan hansip di pusat perbelanjaan Glodok-Pancoran,
Jakarta, bisa tarik napas. "Sejak ada penembak misterius, banyak
pencoleng yang menghilang dan tugas saya menjadi lebih ringan,"
katanya kepada TEMPO. Bersama anak buahnya, pemeang Dan IV
karate itu biasanya cukup dibuat pusing menangani soal
perampasan, penodongan, atau pemerasan.
Pusat-pusat perbelanjaan lain, pasar, dan terminal bis yang
biasanya rawan pun, kini terasa lebih aman. Juga para pengemudi
dan pedagang kecil merasa longgar. Andi, misalnya, pengemudi
bemo di bilangan Senen, belakangan ini bisa membawa pulang uang
lebih banyak untuk anak dan istrinya. Setiap hari, biasanya,
paling tidak ia dikenai pajak tak resmi oleh anak-anak muda
bertato, Rp 1.000. Malah, bila Minggu ia narik di daerah Tanah
Abang, tarifnya Rp 100 sekali ngetem. Bila agak lama, ia harus
membayar lebih. Hitung-hitung ia bisa dikenai membayar upeti
sampai Rp 2.000.
Lalu ke mana para bandit itU menyingkir? Mereka tiarap -- surut
dari "daerahnya". Ada yang lari bersembunyi ke tempat yang
dianggap aman. Ada pula yang lalu mencari pekerjaan halal di
kota lain. Seorang pemuda, berusia sekitar 25 tahun, terus
terang mengaku lari dari Yogyakarta, karena takut dicomot dan
dibereskan di tepi Kali Code. Ia sejak dua bulan lalu, berada di
tempat hiburan Bina Ria, Ancol, Jakarta Utara. Ikut seorang
kenalannya yang menjadi pengusaha kerajinan.
Di situ ia membantu bekerja sebisanya: menata barang, menjaga
kios, atau turut mengrajin. Ia paling hanya bisa mengantungi Rp
50 ribu sebulan. Padahal di Yogya dulu, katanya, tanpa harus
kerja keras dan mengeluarkan keringat, ia berpenghasilan sampai
Rp 300 ribu. "Sekarang yang penting selamat dulu," katanya agak
digagah-gagahkan. Maklum, sampai dua bulan lalu ia masih menjadi
bos dari beberapa anak buah. Tapi tak urung, ketika ada tiga
orang berseragam polisi membawa handy talky lewat, tangannya
yang memegang rokok gemetaran.
Sebuah sumber menyebutkan, memang banyak di antara mereka yang
merasa sedang diincar di Yogya, kini ngumpet di Ibukota.
Sebaliknya orang Jakarta yang merasa dirinya bisa jadi sasaran
"penembak misterius", banyak yang menyelamatkan diri "ke arah
barat". Tak sedikit pula yang kemudian menyeberang ke Sumatera.
Kabarnya, malah ada juga tokoh yang dengan paspor turis, pergi
ke luar negeri.
Cara baru menumpas kejahatan yang sekarang, kelihatannya,
dinilai masyarakat: tepat. "Manfaatnya segera bisa dirasakan.
Lagi pula, ongkosnya kan murah?" kata seorang pengusaha kecil
yang sering dirongrong preman. Sejak enam tahun terakhir
serentetan langkah telah diambil. Ketika Anton Soedjarwo masih
menjadi Kadapol Jakarta, (1978) misalnya, ia tak hanya rajin
menangkapi bandit. Para penjahat yang diketahui sudah beberapa
kali keluar-masuk kamar tahanan, segera dikirim ke
Nusakambangan.
Langkah tersebut tak dilanjutkan. Karena ternyata angka
kejahatan boleh dibilang tak bergeming. Eksekusi hukuman mati
terhadap Henky Tupanwael, 5 Januari 1980, dan penjahat
legendaris Kusni Kasdut sebulan kemudian, tidak pula membuat
"penerusnya" mengerem kegiatannya. Juga razia senjata lewat
Operasi Clurit, Operasi Sapujagat dan sebangsanya, tampaknya
juga bukan obat manjur untuk melunturkan angka kejahatan.
Barulah, ketika Komandana Garnizun Yogyakarta Letkol M. Hasbi
turun dengan resep barunya, yaitu tembak langsung, gali-gali di
sana kontan kocar-kacir. Namun apa yang dilakukan Hasbi,
sebenarnyalah, bukan yang pertama kali. Tahun lalu, di Jawa
Timur ada operasi yang hampir sama, meskipun tak segarang yang
di Yogya dan "penembak misterius" di Jakarta. Mayjen Pamoedji,
yang ketika itu menjabat Kadapol Kodak X (ia kini Deputi
Kapolri), lewat operasi Parkit Merah dan Tamen menembak mati
belasan bromocorah kelas berat. Ratusan lainnya, yang takut kena
tembak, langsung menyerah sambil membawa serta hasil
kejahatannya.
Kritik lalu bermunculan -- terutama dari para ahli hukum yang
berpikir legalistis. Beberapa ada yang setuju, meski dengan
catatan. Direktur LBH Jakarta, Abdul Rahman Saleh, misalnya,
yang semula bersikap keras menentang "main tembak" belakangan
mengaku mempunyai sikap yang mendua. "Kalau ingat kesadisan
mereka dalam merampok atau membunuh, saya pikir ada baiknya
ditembak habis. Tapi mereka kan manusia, yang siapa tahu bisa
berubah menjadi baik. Lagi pula sistem tembak mati, jelas
menyalahi hukum," katanya.
Mr. Soemarno P. Wirjanto berpendapat hampir sama. Karena
gali-gali punya hukum sendiri, katanya, ia setuju saja bila
terhadap mereka diterapkan "hukum lain". Hanya saja,
penerapannya haruslah bila keadaan masyarakat sudah benar-benar
krisis. "Bila orang pada pukul 18.00 sudah menutup pintu dan
tidak berani keluar rumah, oke-lah, dor saja," katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung Dr. Sri
Soemantri, pun bisa memahami mengapa ada acara tembak di tempat.
Asal saja, katanya, "hal itu dilakukan sekadar untuk shock
therapy yang ada batas waktunya." Dan tentang batas waktu
itulah, yang dikhawatirkan ahli hukum dari Bandung itu. Sebab,
katanya, bila sudah terbiasa menempuh jalan pintas, "nanti sulit
mengembalikannya ke jalur hukum".
Namun bagi Letkol Hasbi, yang terpenting bukan "jalan pintas"
itu. "Operasi pemberantasan gali," katanya, "untuk menaikkan
moril masyarakat melawan penjahat."
Keberanian masyarakat memang penting untuk menghadapi hal-hal
yang luar biasa: Entah bandit yang makin nekat, entah penegakan
hukum yang macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini