Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menjemput bandit di jalan pintas orang-orang yang terbunuh

Operasi gali masih terus berlangsung, korban-korban berjatuhan. para gali kini banyak yang kalang kabut dan berusaha menyembunyikan diri ke luar daerah atau luar negeri.(krim)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM satu jam Madadi membaringkan diri. Tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk pintu sambil berseru: "Bangun, Mad. Buka pintu!" Lelaki tegap yang badannya penuh tato itu mengejap-ngejapkan matanya yang sedang sakit. Ia bangkit dan mencari sandal jepitnya di sisi tempat tidur. Begitu ia membuka pintu ruang depan yang sekaligus dijadikan kios barang kelontong -- tahu-tahu Madadi sudah berhadapan dengan sesosok tubuh yang tak kalah tegap dibanding dirinya. "Ikut saya," kata orang tadi dengan nada memerintah. Nanik, istri kedua yang bercerita semuanya itu, cuma bisa berdiri melongo. Apalagi, ketika ia melihat ada tiga sosok lain berdiri di kegelapan, dengan wajah tertutup sapu tangan. Madadi, 31 tahun, tak sempat lagi mengganti setelan olah raga warna biru putih yang dikenakan. "Tamu"nya segera mengajak pergi. Mereka menuju mobil Suzuki Jimny yang diparkir di tepi jalan, tepat di seberang Asrama Transito Transmigrasi, Kebon Kelapa, Jakarta Timur. Pada dinihari itu, Selasa 7 Juni, Abdul Jalil yang masih kongkow dekat asrama, samar-samar mendengar Madadi mengaduh dan minta ampun. Belum sempat dihampiri, jip kecil itu sudah tancap gas dan menghilang di kegelapan malam. Dan satu jam kemudian, sekitar pukul 02.00, orang menemukan sesosok mayat dengan dada dan pelipis koyak diterjang peluru. Dia adalah Madadi -- terkapar dekat jembatan di bilangan Cakung, Jakarta Utara. Pada jam yang sama, sebuah eksekusi lain dilaksanakan di sebuah gang sempit di Warakas, Tanjungpriok, Jakarta. Empat orang berpakaian preman dengan sapu tangan menutupi wajahnya, tiba-tiba muncul di rumah Ramli bin Sardi, Senin malam pekan lalu. Ramli, yang sedang asyik berbincang-bindang dengan adiknya, Edy Permadi, terkejut ketika salah seorang tamu itu bertanya dengan keras: "Eh, kamu yang bernama Ramli." Yang ditanya dengan gugup hanya mengangguk. Sebuah pistol lalu menggiring Ramli keluar rumah. Adiknya, yang mengintip dari jendela, mendengar suara kakaknya: "Saya tidak mau ikut, Pak, saya mau bilang dulu pada emak." Tapi, cerita Edy kemudian, sebuah gagang pistol mendarat di kepala kakaknya. Salah seorang yang dari tadi hanya menyaksikan, memberi perintah: "Sudah 'nggak usah lama-lama -- tembak saja." Menurut Edy, sebuah laras pistol diarahkan hampir menempel kulit kepala di bawah telinga kanan kakaknya. Selanjutnya terdengar bunyi letusan -- pelan sekali. Penembaknya bergegas ke jip Toyota yang diparkir dekat rumah itu. Siapa sebenarnya para "terhukum" -- merupakan cerita misteri tersendiri (lihat: Suara dari . . . ) Tapi bukan cerita baru lagi sekarang bahwa Madadi dan Ramli telah menjadi sasaran "penembak misterius" -- yang sampai pekan lalu masih mengincar korban. Belum jelas berapa sebenarnya yang masuk daftar hitam untuk dihabisi, dan kapan penembakan akan berhenti. Tapi, setelah sukses menggasak "orang bertato" di Jakarta, Mei lalu tampaknya "penembak misterius" mulai mengembangkan sayap ke Jawa Barat. "Kuman masyarakat" yang dilumpuhkan, kira-kira lumayan juga. Khusus di Jakarta, menurut catatan Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia (LKUI), sejak Januari lalu tercatat ada 48 orang mati dengan luka tembak Terbanyak pada Mei kemarin: 21 orang. Juni ini, bisa jadi catatan akan menanjak, kalau tak terhalang bulan puasa. Sebab sampai pekan lalu saja LKUI sudah mencatat ada 10 lagi yang dipungut dari jalanan dengan luka tembak. Akan halnya di Bandung, kabarnya, angka sudah mencapai 20 lebih. Dan bersamaan dengan itu, "penembak terang" pun, tampak meningkatkan kegiatannya. Garnisun Yogyakarta, yang sejak akhir Maret lalu secara terbuka mengumumkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK), menurut sebuah sumber, telak "melumpuhkan" sekitar 60 gali atau "gabungan anak liar". Operasi antibandit Jawa Tengah dikabarkan mencatat angka 70. Di Jakarta, Bandung, dan Medan, belakangan ini polisi pun -- sebagai "penembak terang" -- agak ringan tangan menarik picu pistol. Alasannya: "Karena mereka coba melawan atau melarikan diri." "Penembak misterius", sampai pekan lalu masih terselubung di balik tanda tanya: siapa sebenarnya para penembak yang rajin mencari sasaran "musuh masyarakat" itu? Orang hanya bisa menduga-dua bahwa itu tak lain merupakan kelanjutan dari operasi pemberantasan gali gaya Yogya -- yang dinilai sebagai tindakan yang pas dalam menurunkan tindak kejahatan. Pernyataan Pangab/Pangkokamtib Jenderal Benny Moerdani, Mei lalu di Istana Negara, hanya mengatakan: "Indonesia adalah negara hukum. Penembakan hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa." Kapolri Letnan Jenderal Anton Soedjarwo sendiri menolak ketika dimintai tanggapannya. "Pokoknya, bagi saya yang penting aman," katanya kepada TEMPO dalam acara jamuan makan bagi atlet volley yang baru kembali dari SEA Games, pekan lalu. Sebelum-sebelumnya, seperti sering dikatakannya, Anton menilai bahwa penjahat sekarang banyak yang sudah melewati batas. Meskipun sudah mendapat harta, katanya, mereka tak segan-segan mengancam nyawa korbannya. Jenderal polisi bertubuh tinggi besar dan senang memelihara kumis itu tampaknya cukup mafhum akan kehadiran "penembak misterius". Ada pula yang menghubung-hubungkan dengan ucapan Laksamana Sudomo ketika masih menjabat Pangkopkamtib. Menghadapi banyak pembajak bis antarkota, sekitar awal 1982 lalu, Sudomo menyatakan akan membentuk killers squad -- semacam pasukan istimewa. "Pasukan yang menghancurkan teror Warman itu, sekarang untuk melawan pembajak," kata Sudomo ketika itu. Tapi pembajakan bis tak begitu saja mereda. Dan ternyata juga tidak ada perusuh dalam bis yang kena tembak. "Rupanya, baru sekaranglah killers squad itu dipasang," tutur seorang tokoh masyarakat. Tapi, sekali lagi, itu hanya dugaan yang muncul di sana-sini. Yang jelas, penembakan secara diam-diam, yang boleh membikin keder gali-gali, tampaknya dilakukan dengan rapi, terencana, dan penuh perhitungan. Para calon korban, umumnya ditemukan tanpa harus bertanya kiri-kanan. Mereka langsung menuju sasaran. Modus, atau cara yang ditempuh, kebanyakan sama dengan yang dialami Madadi. Setelah mendapatkan informasi yang matang, mungkin dari polisi atau sumber lain, "penembak misterius" segera menuju sasaran. Korban lalu "diculik" dari rumah atau tempat ia mangkal -- biasanya petang atau malam hari. Diseret ke dalam mobil, jenis jip, yang telah disiapkan. Apa yang terjadi di dalam mobil, tak seorang pun yang dapat bercerita. Mobil lalu melaju menuju ke suatu tempat yang jauh dari keramaian. Tak jelas, di mana dan kapan penembakan dilakukan. Pokoknya, mayat bertato ditemukan tergeletak di pinggir jalan atau dekat jembatan atau di tempat ia biasa malang melintang. "Para eksekutor" umumnya bertubuh atletis, sigap dalam bertindak dan tampak terlatih melakukan apa saja. Satu grup, paling tidak, terdiri dari empat orang. Korban, seperti dikatakan dr. Abdul Mun'im dari LKUI, umumnya ditembak dari jarak dekat dan peluru selalu mengenai bagian tubuh yang mematikan: ulu hati, jantung, dan kepala. Kalaupun ada yang mengenai bagian lain, anggap saja itu semacam bonus. Berdasar bentuk luka, ahli patologi forensik itu menarik kesimpulan, kebanyakan luka diakibatkan oleh jenis peluru yang keluar dari laras memutar ke kanan. Menariknya lagi, "pelurunya masih mengkilap, seperti baru diambil dari pabrik," kata Mun'im. Artinya? Mun'im meminta kita menarik kesimpulan sendiri. Bagi masyarakat, yang tak paham tentang senjata api, lebih suka memperhatikan "hasil akhir"-nya. Stel kenceng yang dilakukan aparat keamanan tampaknya menular. Masyarakat ikut beringas. Dua pekan lalu Ocih, seorang penjahat kambuhan yang sering beroperasi di seputar terminal bis Tasikmalaya, tewas dengan luka di sekujur tubuhnya. Ia menjadi mangsa masyarakat yang gregetan karena sering diganggu. Sebelum Ocih, selama Mei, lima rekannya seprofesi juga menemui nasib sama di Jakarta. Korban pengeroyokan di Jawa Tengah bahkan lebih banyak. Dari 86 penjahat yang mati terbunuh selama beberapa bulan terakhir ini, menurut Kasi Pendak Jawa Tengah dan DIY, Mayor Haryono, 16 di antaranya karena dikeroyok massa. Tak heran, kalau mereka yang merasa bisa menjadi sasaran dan mati konyol, lalu menyisih. Tinggallah orang seperti Maskun Prasetya, komandan hansip di pusat perbelanjaan Glodok-Pancoran, Jakarta, bisa tarik napas. "Sejak ada penembak misterius, banyak pencoleng yang menghilang dan tugas saya menjadi lebih ringan," katanya kepada TEMPO. Bersama anak buahnya, pemeang Dan IV karate itu biasanya cukup dibuat pusing menangani soal perampasan, penodongan, atau pemerasan. Pusat-pusat perbelanjaan lain, pasar, dan terminal bis yang biasanya rawan pun, kini terasa lebih aman. Juga para pengemudi dan pedagang kecil merasa longgar. Andi, misalnya, pengemudi bemo di bilangan Senen, belakangan ini bisa membawa pulang uang lebih banyak untuk anak dan istrinya. Setiap hari, biasanya, paling tidak ia dikenai pajak tak resmi oleh anak-anak muda bertato, Rp 1.000. Malah, bila Minggu ia narik di daerah Tanah Abang, tarifnya Rp 100 sekali ngetem. Bila agak lama, ia harus membayar lebih. Hitung-hitung ia bisa dikenai membayar upeti sampai Rp 2.000. Lalu ke mana para bandit itU menyingkir? Mereka tiarap -- surut dari "daerahnya". Ada yang lari bersembunyi ke tempat yang dianggap aman. Ada pula yang lalu mencari pekerjaan halal di kota lain. Seorang pemuda, berusia sekitar 25 tahun, terus terang mengaku lari dari Yogyakarta, karena takut dicomot dan dibereskan di tepi Kali Code. Ia sejak dua bulan lalu, berada di tempat hiburan Bina Ria, Ancol, Jakarta Utara. Ikut seorang kenalannya yang menjadi pengusaha kerajinan. Di situ ia membantu bekerja sebisanya: menata barang, menjaga kios, atau turut mengrajin. Ia paling hanya bisa mengantungi Rp 50 ribu sebulan. Padahal di Yogya dulu, katanya, tanpa harus kerja keras dan mengeluarkan keringat, ia berpenghasilan sampai Rp 300 ribu. "Sekarang yang penting selamat dulu," katanya agak digagah-gagahkan. Maklum, sampai dua bulan lalu ia masih menjadi bos dari beberapa anak buah. Tapi tak urung, ketika ada tiga orang berseragam polisi membawa handy talky lewat, tangannya yang memegang rokok gemetaran. Sebuah sumber menyebutkan, memang banyak di antara mereka yang merasa sedang diincar di Yogya, kini ngumpet di Ibukota. Sebaliknya orang Jakarta yang merasa dirinya bisa jadi sasaran "penembak misterius", banyak yang menyelamatkan diri "ke arah barat". Tak sedikit pula yang kemudian menyeberang ke Sumatera. Kabarnya, malah ada juga tokoh yang dengan paspor turis, pergi ke luar negeri. Cara baru menumpas kejahatan yang sekarang, kelihatannya, dinilai masyarakat: tepat. "Manfaatnya segera bisa dirasakan. Lagi pula, ongkosnya kan murah?" kata seorang pengusaha kecil yang sering dirongrong preman. Sejak enam tahun terakhir serentetan langkah telah diambil. Ketika Anton Soedjarwo masih menjadi Kadapol Jakarta, (1978) misalnya, ia tak hanya rajin menangkapi bandit. Para penjahat yang diketahui sudah beberapa kali keluar-masuk kamar tahanan, segera dikirim ke Nusakambangan. Langkah tersebut tak dilanjutkan. Karena ternyata angka kejahatan boleh dibilang tak bergeming. Eksekusi hukuman mati terhadap Henky Tupanwael, 5 Januari 1980, dan penjahat legendaris Kusni Kasdut sebulan kemudian, tidak pula membuat "penerusnya" mengerem kegiatannya. Juga razia senjata lewat Operasi Clurit, Operasi Sapujagat dan sebangsanya, tampaknya juga bukan obat manjur untuk melunturkan angka kejahatan. Barulah, ketika Komandana Garnizun Yogyakarta Letkol M. Hasbi turun dengan resep barunya, yaitu tembak langsung, gali-gali di sana kontan kocar-kacir. Namun apa yang dilakukan Hasbi, sebenarnyalah, bukan yang pertama kali. Tahun lalu, di Jawa Timur ada operasi yang hampir sama, meskipun tak segarang yang di Yogya dan "penembak misterius" di Jakarta. Mayjen Pamoedji, yang ketika itu menjabat Kadapol Kodak X (ia kini Deputi Kapolri), lewat operasi Parkit Merah dan Tamen menembak mati belasan bromocorah kelas berat. Ratusan lainnya, yang takut kena tembak, langsung menyerah sambil membawa serta hasil kejahatannya. Kritik lalu bermunculan -- terutama dari para ahli hukum yang berpikir legalistis. Beberapa ada yang setuju, meski dengan catatan. Direktur LBH Jakarta, Abdul Rahman Saleh, misalnya, yang semula bersikap keras menentang "main tembak" belakangan mengaku mempunyai sikap yang mendua. "Kalau ingat kesadisan mereka dalam merampok atau membunuh, saya pikir ada baiknya ditembak habis. Tapi mereka kan manusia, yang siapa tahu bisa berubah menjadi baik. Lagi pula sistem tembak mati, jelas menyalahi hukum," katanya. Mr. Soemarno P. Wirjanto berpendapat hampir sama. Karena gali-gali punya hukum sendiri, katanya, ia setuju saja bila terhadap mereka diterapkan "hukum lain". Hanya saja, penerapannya haruslah bila keadaan masyarakat sudah benar-benar krisis. "Bila orang pada pukul 18.00 sudah menutup pintu dan tidak berani keluar rumah, oke-lah, dor saja," katanya. Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung Dr. Sri Soemantri, pun bisa memahami mengapa ada acara tembak di tempat. Asal saja, katanya, "hal itu dilakukan sekadar untuk shock therapy yang ada batas waktunya." Dan tentang batas waktu itulah, yang dikhawatirkan ahli hukum dari Bandung itu. Sebab, katanya, bila sudah terbiasa menempuh jalan pintas, "nanti sulit mengembalikannya ke jalur hukum". Namun bagi Letkol Hasbi, yang terpenting bukan "jalan pintas" itu. "Operasi pemberantasan gali," katanya, "untuk menaikkan moril masyarakat melawan penjahat." Keberanian masyarakat memang penting untuk menghadapi hal-hal yang luar biasa: Entah bandit yang makin nekat, entah penegakan hukum yang macet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus