Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersengat Nyanyian Billy

Sejumlah importir memasukkan beras murah secara ilegal dari Vietnam ke Indonesia dengan beragam modus. Gita Wirjawan, yang saat itu menjabat Menteri Perdagangan, dituding membiarkan praktek kotor ini terjadi.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyebar di delapan kontainer pengangkut 200 ton beras. Seorang petugas kemudian menusuk karung beras asal Vietnam milik CV Pangan Sejahtera itu dengan pipa besi berongga. Bulir-bulir beras tergelincir di dalam rongga dan mendarat di dalam kantong plastik. Beras sampel itu dikumpulkan, lalu diberi label sesuai dengan nomor kontainer. Tempo menyaksikan dari dekat peristiwa pada dua pekan lalu itu: pemeriksaan fisik terpadu pusat di distribusi kargo Banda, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Ragu meloloskan kontainer berisi beras itu, petugas pabean memanggil pegawai karantina Kementerian Pertanian yang kantornya menempel dengan gudang pemeriksaan. Petugas datang dan ikut mengecek. "Ini pemeriksaan beras impor pertama dalam tahun ini," kata Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Agus Sunanto.

Seorang pejabat Kementerian Keuangan mengatakan penangkapan delapan kontainer berisi beras impor ilegal ini merupakan perintah Menteri Keuangan M. Chatib Basri. Operasi ini sekaligus untuk membuktikan beras Vietnam benar masuk dengan menggunakan dokumen yang diterbitkan Kementerian Perdagangan. "Hasilnya, sebanyak 32 kontainer ditangkap," ujar pejabat itu.

Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Susiwijono Moegiarso membenarkan kabar bahwa status importir beras diubah menjadi jalur merah atau berisiko tinggi. "Dari yang tadinya diotomasikan diubah menjadi pemeriksaan teliti," katanya.

Kejanggalan dalam pemeriksaan petugas pelabuhan tadi kian terkuak ketika ia memeriksa dokumen impor CV Pangan Sejahtera. Dia menemukan perbedaan data tentang jenis beras yang tercatat di surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan dan yang tertulis di dua dokumen lain, yakni dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dan commercial invoice.

Dalam SPI tertulis Pangan Sejahtera diizinkan memasukkan beras premium Thai Hom Mali. Namun, dalam PIB dan commercial invoice, nama komoditas itu tak disebut. Dalam kolom uraian barang tertulis Fragrant rice merek Lotus. Petugas bertambah heran setelah menengok harga beras tersebut: US$ 620 per ton atau Rp 7.500 per kilogram (kurs dolar Rp 12 ribu).

Perbedaan serupa ditemukan pada 16 kontainer milik CV Kusuma Food Indonesia. Beras seberat 400 ton yang dikemas dalam karung-karung 25 kilogram itu diperiksa paling awal. Kertas SPI mencatatnya sebagai beras wangi bermerek Eagle jenis Thai Hom Mali. Beras jenis ini berkategori premium dan boleh diimpor karena harganya di atas Rp 9.500 per kilogram. Seperti halnya beras khusus kelas premium lain yang harganya di atas rata-rata beras konsumsi umum, importasi jenis ini diizinkan karena dianggap tak akan mengganggu pasar beras lokal yang dipasok petani.

Itu sebabnya para petugas pabean yang melakukan pemeriksaan merasa heran melihat harga yang tertera pada dokumen beras yang semestinya berkategori mahal tersebut. Bahkan ada yang hanya dibanderol US$ 550 per ton atau Rp 6.700 per kilogram (kurs dolar Rp 12.102, sesuai dengan dokumen importasi). Itu berarti masih di bawah harga beras lokal kategori medium.

Jika beras ini sampai di pasar dengan harga seperti itu, sudah bisa dipastikan para petani akan dirugikan. "Seharusnya beras harga segini tak bisa masuk ke Jawa," ujar seorang petugas pabean.

l l l

TERBONGKARNYA peredaran beras medium asal Vietnam bermula dari ocehan Billy Haryanto pada 22 Januari lalu. Pengurus Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia ini membuat kaget rombongan pejabat yang sedang menginspeksi Pasar Induk Beras Cipinang.

Di depan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Pertanian Suswono, dan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, Billy melaporkan soal banjirnya beras asal Vietnam yang berkualifikasi medium di Pasar Induk Cipinang. "Kata pedagangnya, itu legal karena ada surat dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan," katanya.

Bayu, yang disodori contoh beras oleh Billy, langsung mencicipinya. "Beras ini tidak boleh diimpor dari Vietnam. Tidak mungkin ada surat resmi," ujarnya. "Kalau penyelundupan, mungkin."

Keterangan Bayu didukung klaim Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso, yang menyebutkan sudah setahun tidak mendatangkan beras dari luar negeri. Sebab, pasokan dari panen lokal dianggap mencukupi kebutuhan konsumsi nasional, yang berkisar 3,2 juta ton per tahun.

Pernyataan Bayu yang menyebut kemungkinan telah terjadi penyelundupan membuat Lapangan Banteng, kantor Kementerian Keuangan, "meradang". Menteri Chatib langsung meminta jajaran Bea dan Cukai melakukan penelitian lapangan bagaimana beras Vietnam itu bisa masuk. "Setelah tim beberapa hari bekerja, temuannya amat mengejutkan," ujar sumber Tempo.

Dalam dokumen "Laporan Hasil Penelitian Kasus Importasi Beras Ilegal Eks Vietnam" yang salinannya diperoleh Tempo, tim Kementerian Keuangan mendapati sejumlah dugaan kejanggalan.

Sepanjang Januari 2013 hingga Januari 2014, beras Vietnam masuk sebanyak 34.290 ton dalam 1.372 kontainer, jauh melebihi impor yang dilakukan Bulog, sebesar 6.700 ton, tahun lalu. Seluruh importasi itu mengantongi SPI dari Kementerian Perdagangan dan laporan surveyor.

Tim peneliti juga menemukan indikasi penyimpangan lain. Realisasi impor beras khusus tercatat 44.532 ton, melebihi rekomendasi yang diterbitkan Kementerian Pertanian, 37.683 ton. "Realisasi pengiriman (shipment) 384 kali, melebihi rekomendasi sebanyak 302," demikian tertulis dalam laporan pabean. (Lihat "Muslihat Impor Ilegal".)

Tim peneliti menemukan pula dugaan permainan jual-beli kuota yang dilakukan segelintir aliansi importir bandel-mereka disebut-sebut punya kedekatan dengan seorang pejabat Kementerian Perdagangan. "Pejabat itu menjadi beking empat-lima pengusaha yang menguasai 58 perusahaan importir terdaftar," kata sumber Tempo.

Jaringan pengusaha yang dituding bermain kotor dengan beras Vietnam itu adalah Rudi Siswanto alias Apui (pemilik CV Sederhana Makmur dan CV Bintang Jaya Sederhana), Hendra dan Hansen (pemilik PT Sarinah), dan Yonathan Tjendra (PT Trimitra Makmur Delta).

"Mereka mendatangkan beras medium dengan dokumen impor beras khusus (premium)," ujar sumber itu. Dua gudang yang dipakai sebagai tempat menimbun terdapat di Bizpark, Pulogadung, Jakarta Timur, dan Pergudangan Elang Laut, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Kepada Tempo, seorang importir beras ketan bercerita, beberapa importir memang memasukkan beras medium asal Vietnam dengan karung pecahan 50 kilogram tanpa label. Modus ini telah diketahui intelijen Bea dan Cukai. Petugas bahkan telah menandai beberapa importir yang memakai cara ini dan mulai melacak gudang-gudang penimbunan serta jaringan pedagang mereka di Pasar Induk Cipinang. Para importir itu sengaja memasukkan beras medium dengan menumpang pada izin impor beras premium.

Rudi, ketika ditemui Tempo, membantah semua tudingan. "Saya memiliki izin resmi impor beras premium dari Kementerian Perdagangan," katanya. Adapun para kolega Rudi yang kantor dan gudangnya didatangi menolak menerima permohonan wawancara yang diajukan Tempo.

Satu pertanyaan: siapa yang harus bertanggung jawab terhadap aliran beras ilegal di pasar-pasar lokal Indonesia?

Investigasi Tempo menyimpulkan tudingan tanggung jawab ini mengarah ke Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan, yang tengah bertarung dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat. Sumber Tempo mengatakan Gita-lah yang memiliki wewenang memilih importir terdaftar. "Termasuk membagi-bagi kuota jumlah beras yang diizinkan diimpor," ujarnya.

Gita, menurut sumber yang sama, seperti membiarkan tradisi "gelap" maraknya permainan impor komoditas pada tahun-tahun menjelang pelaksanaan pemilu. "Apa yang terjadi sekarang pernah terjadi menjelang Pemilu 2004 dan 2009," kata sumber itu.

Menteri Chatib belum bisa dimintai komentar soal temuan tim Kementerian Keuangan. Namun dia menyangkal tudingan bahwa anak buahnya membiarkan penyelundupan beras dari Vietnam.

Chatib menyebutkan soal beras Vietnam itu berpangkal pada perizinan impor. "Bea dan Cukai itu hanya teknis di ujung," ujarnya. "Intinya, kalau beras enggak boleh dikasih impor, ya, jangan diberi izin dan rekomendasi."

Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan lembaganya tak pernah mengeluarkan izin impor beras medium. Jika di lapangan ditemukan beras premium yang harganya setara dengan beras medium lokal, dia mengatakan hal itu menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, yang mengeluarkan rekomendasi. "Tanyakan yang memberikan rekomendasi," ujarnya. (Lihat wawancara Gita, "Ini Sudah Terlalu Dipolitisasi!")

Menteri Suswono tak mau kalah. Menurut dia, rekomendasi kuota yang diterbitkan instansinya mengacu pada rapat bersama Tim Kelompok Kerja Perberasan yang dipimpin Kementerian Koordinator Perekonomian.

Dia berkukuh beras medium asal Vietnam yang beredar itu masuk secara tidak sah, karena seharusnya hanya Bulog yang boleh mengimpornya. "Tahun lalu Bulog tak mengimpor," katanya.

l l l

BELUM reda keributan tentang beras impor ini, Gita Wirjawan mengumumkan pengundurannya dari kursi kabinet, Jumat dua pekan lalu. Tapi Gita buru-buru membantah kabar bahwa keputusannya untuk lengser tersebab sengkarut masalah beras. Ia mengaku sudah lama merencanakan pengunduran diri itu karena keikutsertaannya dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat. "Berita beras ini sudah dilebih-lebihkan," katanya.

Bayu Krisnamurthi juga meralat pernyataannya yang menyebutkan beras yang ditunjukkan Billy adalah beras ilegal. Ia mengklaim jenis itu sebagai beras premium setelah melakukan uji laboratorium di PT Sucofindo.

Meski begitu, Bayu tetap mengaku heran terhadap harganya yang bisa lebih murah ketimbang beras medium lokal sejenis IR64. Harga beras medium lokal yang beredar di pasar berada pada kisaran Rp 7.800-9.000 per kilogram. Adapun beras impor Vietnam dibanderol rata-rata Rp 8.000 per kilogram. Mengutip Bayu, "Ini aneh."

Di Pasar Induk Beras dan Palawija Cipinang, Jakarta Timur, keanehan yang dipersoalkan Bayu bisa terjawab dengan mudah. (Lihat "Siasat Bandar Cipinang".) Di salah satu blok pasar ini, Tempo menemukan gudang beras yang siap memasok pesanan beras Vietnam. Harganya murah walau dokumen impor menjamin kualitasnya sebagai komoditas premium. Isinya? Karung-karung dalam gudang itu ternyata membungkus beras medium-yang dijual lebih murah ketimbang beras berkualitas sejenis yang dipasok dari hasil panen para petani lokal kita.

Akbar Tri Kurniawan, Setri Yasra, Pingit Aria, Ayu Prima Sandi, Amandra Megarani (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus