Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Diterkam Pukat Harimau

Setelah lama dilarang, kini muncul rancangan keputusan presiden yang membolehkan penggunaan trawl.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMISKINAN kian merasuki Kampung Kurnia Belawan, Medan, Sumatera Utara. Terletak di pinggir jalan bebas hambatan, di sepanjang perairan Sungai Deli, rumah-rumah petak yang berdiri di situ tampak makin suram. Berdinding papan dan beratap daun nipah, di dalam "rumah" itulah para nelayan dan keluarganya tidur berimpitan, seperti nasib ikan asin yang sedang dijemur berjejer-jejer di pekarangannya. "Sejak muncul pukat harimau beberapa tahun lalu, makin susah mencari ikan. Tauke besar yang dibekingi aparat membuat kami tak berdaya," kata Nurdin, warga di situ, mengeluh panjang. Suara senada datang dari Saleh, juga nelayan Belawan: "Kami tak berani melaut hingga ke perairan, takut bentrok dengan pukat harimau yang bermesin modern dan dikawal aparat bersenjata. Tapi di laut yang lebih jauh juga ada kapal nelayan asing yang lebih kejam dan nekat." Tak cuma dari mereka berdua, suara putus asa juga telah terdengar dari Karang Maritim di Lampung, Pulau Baai di Bengkulu, Juntinyuat di Indramayu, dan banyak perkampungan nelayan lainnya. Dan nasib tampaknya malah akan semakin menjepit para nelayan tradisional. Kini penggunaan jaring trawl (pukat harimau), yang sebelumnya keras diharamkan, segera dilegalkan. Bakal dibukanya tanda verboden itu telah tertera dalam sebuah draf keputusan presiden berjudul Penggunaan Jaring Trawl untuk Pemberdayaan Nelayan Kecil, yang dirancang Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Tak urung, para nelayan kelimpungan. "Itu bukan memberdayakan, melainkan memperdaya nelayan kecil," kata M. Yamin, Ketua Serikat Nelayan Lampung. Untuk membahas soal ini, pekan lalu para nelayan tradisional yang berhimpun dalam Federasi Serikat Nelayan Nusantara bertemu di Jakarta. Tapi, menurut Menteri Rokhmin, terobosan itu dia ambil justru untuk menyejahterakan nelayan kecil. "Saya ini asli anak nelayan dan doktor kelautan," katanya. Dilihat dari teknologi perikanan, pukat harimau memang alat yang paling efisien untuk menjaring udang. Supaya tak berdampak negatif, penggunaannya akan dibatasi. Misalnya dengan pengaturan wilayah tangkapan dan pembatasan tonase kapal—yang boleh beroperasi cuma jenis mini-trawl berbobot mati sekitar 15 ton. Selain itu, problem lingkungan yang selama ini dikhawatirkan pun telah bisa diatasi. Badan riset kelautan telah menemukan alat bernama juvenile excluder device (JED), yang mampu menyaring ikan dewasa dari benih dan telur ikan, yang sebelumnya selalu ikut tersapu. Belum lagi, Keputusan Presiden No. 39/1980, yang melarang jaring trawl, telah terbukti tak realistis. Meski telah diharamkan, tetap saja penggunaannya tak terkontrol. "Malah gencar dipakai oleh nelayan Malaysia ataupun Thailand dan orang kaya kita yang dibekingi oknum nakal dari tempat saya atau instansi lain," katanya. Buntutnya, nelayan lokal gigit jari di lautnya sendiri. Rokhmin menyadari, harga trawl kelewat mahal untuk ukuran saku para nelayan. Per unit bisa mencapai Rp 150 juta-200 juta. Tapi, menurut dia, ini bukan soal. Duit bisa diatasi lewat koperasi atau patungan sesama nelayan. Untuk itu, pemerintah akan mendorong perbankan agar mengucurkan kredit lunak. Tapi, buat para nelayan, kenyataan di lapangan tak seindah cita-cita Rokhmin. Soal koperasi itu, misalnya, Saleh cuma tersenyum pahit, "Di kampung saya tak bisa membangun koperasi, warga tak sanggup lagi membayar iuran. Untuk hidup sehari-hari saja sudah sulit." Karena itulah Yamin menuding ikhtiar Menteri Rokhmin itu hanya akal-akalan buat kepentingan nelayan berdasi. "Omong kosong untuk nelayan kecil," ujarnya. Kenyataannya sekarang, masih kata Yamin, koperasi hanya menyalurkan kredit untuk mereka yang berduit dan, buntutnya, trawl cuma akan dikuasai para juragan, sementara nelayan kecil malah akan makin gigit jari. Lebih dari itu, Yamin juga waswas dibebaskannya penggunaan pukat harimau akan kian memicu bentrok antara nelayan tradisional dan pengguna trawl. "Kami akan saling bunuh," katanya. Sekarang saja, dalam dua bulan terakhir, catatan Federasi Serikat Nelayan Nusantara telah menunjukkan angka memilukan. Gara-gara pertikaian semacam itu, 43 nelayan tradisional tewas dan lebih dari 30 kapal dibakar massa yang geram menonton ikan gantungan hidup mereka ludes diterkam pukat harimau. Ahmad Taufik, Ardi Bramantyo, Bambang Soedjiartono (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus