Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Surat dari Anak Munir Said Thalib: Puzzle Memoria Abah

Munir Said Thalib diracun tepat 20 tahun lalu. Bagaimana putri bungsunya, Diva Suukyi, menyikapi kasus pembunuhan abahnya yang masih misteri

7 September 2024 | 12.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Munir Said Thalib, pejuang hak asasi manusia itu diracun di atas langit Rumania 7 September 2004 silam. Dua dekade kepergiannya memberi rasa kehilangan mendalam yang terasa hingga kini. Luka itu nyata, terutama bagi seorang anak yang pada akhirnya tidak pernah benar-benar mengenal sosok seorang ayah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya anak itu, Diva Suukyi. Abah dibunuh saat saya berusia dua tahun. Saya selalu membayangkan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang seorang ayah yang tidak pernah didapatkan. Ini menyesakkan jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi. Namun, lewat cerita-cerita ibu dan orang-orang yang mengenalnya, saya mulai memahami betapa pentingnya perjuangan yang abah lakukan. Ia adalah sosok yang berani bersuara di tengah ketidakadilan, berjuang demi tegaknya kebenaran, meski itu berarti mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Hasil autopsi mengungkapkan abah diracun dengan arsenik. Racun ini ditemukan di jus jeruk yang diminumnya di pesawat Garuda Indonesia. Sebuah fakta yang mengejutkan kami semua.

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kematian abah. Tim mulai bekerja pada Desember 2004 hingga Juni 2005. Pada akhirnya, para pelaku seperti Indra Setiawan, Rohainil Aini, dan Pollycarpus Budihari Priyanto ditangkap dan diadili. Namun, banyak pertanyaan masih belum terjawab mengenai siapa dalang utama di balik pembunuhan abah.

Di masa pemerintahan SBY pula, Komisi Informasi Publik memutuskan bahwa dokumen TPF harus dipublikasikan, tetapi keputusan tersebut tidak pernah dilaksanakan.

Rezim berganti. Harapan kembali muncul saat Joko Widodo menjadi orang nomor satu di republik ini. Ia memerintahkan Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus abah dan berjanji di depan 22 pengacara serta pakar hukum dan HAM akan menuntaskannya.

Nyatanya janji tinggal janji yang sampai sekarang tidak ada implementasinya. Dokumen TPF diketahui hilang. SBY mengklaim telah mengirimkan salinan dokumen tersebut kepada pemerintahan selanjutnya. Namun, lagi-lagi usaha tersebut tidak membuahkan hasil.

Kini Komnas HAM sedang melakukan penyelidikan pro yustisia agar kasus ini diakui sebagai pelanggaran HAM berat yang tidak mengenal kedaluwarsa. Karena pembunuhan abah melibatkan negara dan badan intelijen.

Seharusnya, Komnas HAM sudah memutuskan ini sebagai kasus pelanggaran HAM berat sejak lama. Semoga saja penundaan yang dilakukan lama tidak berarti menunda keadilan bagi korban.

Selama bertahun-tahun, keluarga kami bersama dengan para aktivis terus mendesak pemerintah untuk transparan dan serius dalam menangani kasus ini. Hilangnya dokumen-dokumen penting terkait penyelidikan menimbulkan kecurigaan dan kemarahan publik, menjadi simbol dari lambatnya penegakan hukum di negeri ini.

Meskipun sudah berlangsung lama, desakan agar kasus ini diungkap tuntas tidak pernah surut. Berbagai aksi dan kampanye terus dilakukan oleh masyarakat sipil sambil berharap keadilan bisa ditegakkan. Bukan hanya untuk abah, tetapi juga untuk semua korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan dan kami masih menghadapi kenyataan bahwa keadilan untuk abah belum sepenuhnya tercapai. Namun, sebagai anak, saya merasa penting untuk terus menjaga api perjuangan ini tetap menyala.

Bagi kami, kasus abah bukan hanya tentang keadilan untuk satu orang, tetapi juga tentang harapan untuk perubahan yang lebih besar. Kami berharap melalui perjuangan ini, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih adil, di mana hak asasi manusia dihormati dan dilindungi.

Ketika melahirkan saya dan kakak, orang tua kami bermimpi agar ruang demokrasi dan penegakkan HAM di Indonesia menjadi lebih baik. Namun, hari ini kita mengalami kenyataan pahit.

Mendung ketidakadilan boleh terus menggelayuti demokrasi dan penegakan HAM. Namun, kami akan terus berjuang dan bersolidaritas menyalakan lilin semangat perjuangan. Abah mungkin tiada, tetapi abah akan tetap berlipat ganda di jiwa juang kami.

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus