Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mayoritas publik menilai perlu ada saluran alternatif untuk menindaklanjuti laporan atau pengaduan tindak pidana yang tidak segera diproses aparat hukum. Temuan itu disampaikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam rilis hasil survei terkait wacana perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Sebanyak 86 persen responden menyatakan perlu ada saluran lain untuk menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat apabila tidak diproses dalam waktu 14 hari,” kata peneliti LSI, Yoes C. Kenawas, dalam agenda rilis survei di Pela Mampang, Jakarta Selatan pada Ahad, 13 April 2025.
Survei dilakukan LSI melalui wawancara telepon terhadap 1.241 responden yang dipilih dengan teknik stratified random sampling. Survei dilakukan pada 22–26 Maret 2025 dengan margin of error sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dalam simulasi survei, responden diminta membayangkan situasi di mana mereka menjadi korban tindak pidana, kemudian melapor ke aparat, tapi laporannya tidak mendapat kejelasan. Hasilnya, 47,2 persen menilai perlu ada saluran alternatif untuk menindaklanjuti laporan semacam itu. Sebanyak 38,8 persen menyebutnya sangat penting.
Yoes mengatakan aspirasi masyarakat ini sebaiknya menjadi pertimbangan dalam pembahasan revisi KUHAP oleh pemerintah. “Alternatif saluran itu bisa jadi bahan diskusi. Mungkin ke penuntut umum, Ombudsman, atau yang lain,” ujarnya.
Ia juga menyoroti fenomena “no viral no justice”, yakni kasus yang baru diusut aparat setelah viral di media sosial. “Harus ada mekanisme lain di mana masyarakat bisa mengadukan jika laporannya tidak segera ditindaklanjuti,” kata Yoes.
Dalam survei yang sama, LSI juga mencatat hampir 20 persen responden pernah atau memiliki kerabat yang pernah berurusan dengan aparat hukum. Dari jumlah tersebut, 43,5 persen menyebut kerabat, teman, atau kenalan mereka yang berurusan. Sebanyak 37,4 persen menyebut dirinya sendiri, 23,1 persen anggota keluarga, dan 5,6 persen tidak menjawab atau tidak tahu.
Meski demikian, Yoes menyebut tingkat pengetahuan publik mengenai pembahasan revisi KUHAP masih rendah. Ia menilai isu ini belum menjadi perhatian luas masyarakat dan masih tergolong elitis.
“Padahal, jika revisi ini disahkan, masyarakat yang akan terdampak langsung dalam penerapannya. Maka diperlukan sosialisasi yang lebih luas dari semua pihak agar masyarakat memahami rencana perubahan yang akan memengaruhi hak mereka jika berurusan dengan hukum,” kata Yoes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini