AWAL Desember lalu kepala-desa bersama 4 orang pamong dan dua
warga dari Desa Bibrik Madiun, ditangkap polisi. Tuduhannya:
mereka telah berkomplot menganiaya Sutimin dan -- mungkin pula
-- mengubur korbannya hidup-hidup. Berikut ini, ceritanya.
Sutimin (48 tahun) seperti sudah merasa apa yang bakal terjadi.
Hanya bercelana kolor dan berkaos, dengan leher dililit sarung
dan mengempit tikar tua, akhir Nopember lalu orang Bibrik ini
menyerahkan diri dan minta perlindungan polisi. Kepolisian
Jiwan, 5 km dari Madiun, menampung ceritanya.
Tujuh bulan yang lalu Sutimin membongkar brankas desanya dengan
kunci palsu dan menyikat isinya sebanyak Rp 150 ribu. Habis itu
ia terus lari ke Lampung. Di sana ia membeli sebidang tanah.
Maksudnya hendak hidup tenteram di perantauan -- walaupun untuk
itu ia harus meninggalkan anak-isterinya di desa. Tapi lantaran
ia tak membawa sepotong surat keterangan pun, Sutimin
dikejar-kejar sebagai penduduk gelap. Bahkan ia dicap sebagai
anggota PKI pula.
Ditambah rasa kangen isteri dan empat orang anaknya, Sutimin
akhirnya kembali ke Jawa. Dia berharap dapat diterima kembali
dengan baik-baik oleh Kepala Desa Bibrik, Broto Suwiryo,
mengingat hubungan mereka dulu cukup akrab. Sutimin dulunya
memang pesuruh Haji Banjar. Dan menurut ceritanya dia pulalah
yang ikut turun tangan sampai Broto jadi menantu Haji Banjar.
Namun untuk langsung ke Bibrik mohon pengampunan Lurah Broto, a
aknya Sutimin punya firasat kurang baik. Karena itu ia lebih
dulu mampir di kantor polisi. Sambil minta perlindungan,
terus-terang Sutimin mengaku memang pernah jadi maling. Polisi
mencoba membongkar catatan peristiwa pencurian di Bibrik sekitar
tujuh bulan silam. Tapi tak ada. Rupanya menurut penelitian
polisi, kepala desa yang bersangkutan memang sengaja menutupi
perkara tersebut.
Polisi mengantar Sutimin kembali ke desanya. Tak ada
kekhawatiran apaapa. Sebab, menurut Letkol Pol. R. Soebyantoro,
Danres Madiun, kesannya Broto dapat menerima Sutimin secara
baik-baik. Tapi kenyataannya sikap Broto (45 tahun) di depan
polisi lain dengan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Dia
masih dendam kepada bekas pesuruh mertuanya.
Begitu polisi lalu dari balai desa, Sutimin memperoleh perlakuan
Broto yang sebenarnya. Kepala Desa itu turun tangan sendiri
menghajar Sutimin. Kamituwo Tohir juga dikerahkan ikut
menganiaya. Dengan segumpal batu, tulang lutut dan jari Sutimin
yang sudah tak terbalut daging itu dihajarnya. Seharian Sutimin
ditahan di balai desa tanpa makan.
Saya Mau Dibunuh?
Menurut polisi malam harinya ia menghimpun pejabat desa lainnya
untuk diajak berunding memutuskan nasib Sutimin. Hanya lima
orang kamituwo dan dua sambong yang mau hadir. Selebihnya
sengaja menghindar setelah tahu acara rapat itu. Keputusan rapat
itu: Sutimin harus dihukum mati.
Sambong Sogol dan Ngadimun, di bawah komando Tohir, malam itu
juga bertugas menggali lubang kubur di kuburan Sok Gajah.
Sedangkan hamituwo lain, Samsuri, mengajak dua orang desa,
Sukardi dan Glebot, sebagai algojo. Sukardi dan Glebot
dikabarkan mendapat upah Rp 1000 seorang untuk kerja semacam
itu. Tapi dalam pemeriksaan polisi kemudian, keduanya katanya
hanya melampiaskan dendam lama saja. Sutimin, kata mereka, telah
berhutang pada mereka Rp 4000.
Malam Jumat 1 Desember bertepatan dengan 1 Syuro sekitar jam 3
pagi Sukardi dan Glebot menggiring Sutimin ke Sok Gajah 100
meter dari balai desa. Tempat ini dikelilingi kebun tebu. Di
sana sudah menunggu keempat pejabat desa dengan seramnya membawa
lampu teplok. Sedangkan Broto sendiri, didampingi penjaga balai
desa bernama Sarju, menunggu eksekusi di sebuah gardu di pinggir
jalan antara balai desa dan kuburan.
Sutimin sudah habis semangatnya. Di tempat yang menakutkan itu
ia masih sempat berkata polos: "Apa saya mau dibunuh?" Begitu
cerita para pelaku ini kepada polisi kemudian. Lalu tanpa
diperintah siapapun, Sutimin melangkah sendiri ke kuburannya dan
terus masuk dan berbaring di sana berbantal sarung tuanya.
Kakinya tak bisa lurus. Sebab lubang kubur itu terlalu pendek
buat tubuhnya. Sukardi dan Giebot, katanya, sekali menghantam
tubuh Sutimin dengan linggis sebelum menguruknya dengan tanah.
Tapi menurut pemeriksaan kemudian tak ada tanda-tanda atau bekas
pukulan keras di tubuh Sutimin.
Tapi semuanya mengakui memang mendengar gerangan dari lubang
kubur ketika mereka baru menguruk Sutimin setengah lahat.
Pengurukan makin dipercepat. Setelah itu kuburan ditutup dengan
daun tebu kering. Maksudnya tentu untuk menghapus jejak
penjagalan. Baru setelah semuanya beres, Lurah Broto dijemput.
Ia komat-kamit sebentar di atas kuburan korbannya -- kabarnya
memang ada mantera khusus untuk menghilangkan jejak suatu
pembunuhan. Selanjutnya Broto menganggap urusan Sutimin telah
selesai.
Tinggal bagaimana menipu penduduk tentang nasib Sutimin. Sarju,
penjaga balai desa, pagi buta itu juga sudah keliling warung di
desa itu. Ia mengabarkan: Sutimin baru saja diantarkannya pergi
jauh. Tapi kabar yang ditiup Sarju itu memperoleh tandingan --
entah siapa pula yang meniupnya: Sutimin telah dibunuh !
Polisi tak membiarkan dua berita tersebut simpang-siur. Seorang
polisi yang tinggal di Bibrik melaporkan dua berita tersebut
kepada atasannya. Komandan polisi Jiwan bertindak. Dia
mengerahkan bawahannya mengusut Sutimin. Tak begitu lama untuk
menemukan kuburan Sutimin. Penduduk Bibrik gempar. Dan polisi
mulai bekerja dari penemuan itu. Karena saat-saat terakhir
Sutimin memang berada di bawah kekuasaan Broto, polisi tak
begitu sulit melanjutkan pengusutannya.
Beberapa pamong desa dipanggil ke kantor polisi. Mula-mula,
selain Glebot dan Sukardi, tak ada pejabat desa yang ditahan.
Apalagi kedua orang ini hanya mengaku bekerja atas kemauan
sendiri: menculik Sutimin dari balai desa. Maksudnya untuk
mencegah perkara agar tak melibatkan si pemberi perintah.
Tapi Minyo, adik Sutimin, mengirim laporan tentang kemungkinan
keterlibatan para pamong desa atas pembunuhan kakaknya. Laporan
diterima baik oleh Danres, Kejaksaan sampai POM ABRI. Kepala
Desa dan pamong lainnya segera ditahan. Dari hasil pemeriksaan
itulah terungkap cerita di atas. Benar atau tidaknya seluruh
kisah tersebut, pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya sampai ke
pengadilan kelak akan lebih menentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini