TEMPATNYA tak tanggung-tanggung: Hotel Preanger -- Bandung. Tak
sedikit biaya dikucurkan untuk seminar teater P&K 16 - 20
Desember itu. Mendatangkan peserta dari Medan, Ujung Pandang,
Padang, Surabaya, Yogya, Jakarta, dan Bandung sendiri. Beberapa
kertas kerja dipesan untuk kerepotan itu, sekaligus kertas
pembanding beberapa orang yang ditunjuk.
Topik-topik yang dibuka pun tampak keren. Ini misalnya: 'Manusia
Sebagai Modal Utama Teater Dengan Memanfaatkan Lingkungan', oleh
Aspar (Ujung Pandang). 'Pengkajian Teater Tradisionil -- dalam
rangka menemukan idiomidiom teatrikal baru' oleh Saini K.M.
(Bandung). 'Mencari Landasan Pendidikan Formal Dan Informal Bagi
Kehidupan Teater Di Indonesia', Pramana Pmd. (Jakarta).
Tetapi yang masih saja terasa kurang adalah tukar fikiran
intensif yang tidak muncul. Para peserta diuber-uber oleh waktu
yang sudah tertera dalam jadwal. Kemudian didesak untuk
melakukan sidang-sidang komisi yang berakhir dengan
definisi-definisi, yang sebenarnya sudah sering dikerjakan tanpa
sempat mengusut masalah yang sebenarnya.
Isi kertas kerja masing-masing masih menunjukkan banyak peluang
untuk membicarakan judul yang tak sempat benar-benar
di"pertanggungjawabkan" dalam karangan. Acara mewah itu sama
saja dengan nasib kebanyakan seminar: menimbulkan rasa rawan,
karena hanya menunjukkan semangat ramai-ramai.
Pertemuan dari hati ke hati di meja makan, dan di lobi hotel
(bagai orang bisnis saja), mungkin bisa menolong. Tetapi tak
semua peserta dapat memanfaatkannya, karena konsentrasi mereka
pada sidang-sidang formil yang diburuburu jadwal tadi. Tak
heranlah kalau Wahyu Sihombing misalnya yang bertugas menjadi
pembanding kertas kerja Aspar melontarkan suara yang sedikit
nyindir: "Jadi serius ini?"
Seminar Teater di Bandung itu memang "serius". Umar Kayam juga
datang dan membacakan kertas kerja. Beberapa tokoh atau potensi
daerah seperti Ajim Ariadi (Banjarmasin), Soenarto Timur
(Surabaya), Burhan Piliang (Medan), Emha Ainun Najib (Yogya)
Wisran Hadi (Padang), tampak pula. Tetapi mereka kebanyakan
membisu. Aspar ini membingungkan, karena setelah menerangkan
bagaimana ia berusaha memanfaatkan order Pemerintah untuk
menghidupkan teater jalanan, akhirnya menghimbau sebuah gedung.
Tradisionil Kulit
Aspar telah mengemukakan keinginan yang menimbulkan gereget
seakan teater sangat terikat kepada gedung. Tetapi ia telah
bicara jujur menampilkan kondisi daerahnya, yang menunjukkan
perbedaan besar dengan Jakarta. Ini merupakan masalah yang
menarik. Tetapi ketika sidang hampir mengarah ke sana, waktu
bicara pun tak ada lagi.
Demikian juga ketika Saini KM mencoba membanting-banting masalah
idiom baru yang bisa dicari dari kekayaan teater tradisionil.
Diskusi berkisar di permukaan teater tradisionil seakan baru
dibicarakan kulitnya, bentuknya, isi ceritanya -- bukan jiwa
teaternya yang melahirkan idiom-idiom itu. Seorang Rujito sempat
bertanya apa yang dimaksud dengan idiom. "Sebab idiom yang lama
sudah selesai, tak akan bisa dipakai sekarang," ujarnya.
Lalu masalahnya mengarah pada jiwa teater tradisionil yang
melahirkan idiom itu konsep, jalan fikiran yang bersembunyi di
balik bentuk-bentuk. Sehingga kalau dalam pertunjukan wayang
misalnya, seorang raksasa bisa terpental hanya karena sentuhan
kecil dari ksatria, apa yang sebenarnya hendak dikemukakan?
Konsep kebenaran yang selalu lebih super dari ketidakbenaran?
Atau pemberontakan kepada nilai-nilai teater realis?
Tetapi pada saat masalahnya menukik, pertemuan pun harus ditutup
kembali -- karena jadwal, sekali lagi. Bagaimana akan bisa
dipastikan, bahwa hasil pertemuan akan terbawa pada kegiatan di
masa datang?
Sedang cara berseminar tanpa konsep. Tanpa memperhitungkan
kondisi pesertanya, sehingga tidak memungkinkannya menjadi
peristiwa kreatif. Jelas kebutuhan dan pengalaman masingmasing
peserta berbeda menurut keadaan daerahnya. Saling tukar
informasi secara intim sehingga masalahnya terbuka, terlepas
dari bagaimana resep untuk mengatasinya, terasa belum tercapai.
Barangkali inilah cara yang paling bagus untuk menghabiskan sisa
anggaran belanja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini