Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seminar anggaran belanja

Seminar teater p & k, 16-20 desember 1978, di hotel preanger bandung tidak mencapai tujuan sehingga menimbulkan kesan seminar ini diadakan untuk menghabiskan sisa anggaran belanja.(ter)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPATNYA tak tanggung-tanggung: Hotel Preanger -- Bandung. Tak sedikit biaya dikucurkan untuk seminar teater P&K 16 - 20 Desember itu. Mendatangkan peserta dari Medan, Ujung Pandang, Padang, Surabaya, Yogya, Jakarta, dan Bandung sendiri. Beberapa kertas kerja dipesan untuk kerepotan itu, sekaligus kertas pembanding beberapa orang yang ditunjuk. Topik-topik yang dibuka pun tampak keren. Ini misalnya: 'Manusia Sebagai Modal Utama Teater Dengan Memanfaatkan Lingkungan', oleh Aspar (Ujung Pandang). 'Pengkajian Teater Tradisionil -- dalam rangka menemukan idiomidiom teatrikal baru' oleh Saini K.M. (Bandung). 'Mencari Landasan Pendidikan Formal Dan Informal Bagi Kehidupan Teater Di Indonesia', Pramana Pmd. (Jakarta). Tetapi yang masih saja terasa kurang adalah tukar fikiran intensif yang tidak muncul. Para peserta diuber-uber oleh waktu yang sudah tertera dalam jadwal. Kemudian didesak untuk melakukan sidang-sidang komisi yang berakhir dengan definisi-definisi, yang sebenarnya sudah sering dikerjakan tanpa sempat mengusut masalah yang sebenarnya. Isi kertas kerja masing-masing masih menunjukkan banyak peluang untuk membicarakan judul yang tak sempat benar-benar di"pertanggungjawabkan" dalam karangan. Acara mewah itu sama saja dengan nasib kebanyakan seminar: menimbulkan rasa rawan, karena hanya menunjukkan semangat ramai-ramai. Pertemuan dari hati ke hati di meja makan, dan di lobi hotel (bagai orang bisnis saja), mungkin bisa menolong. Tetapi tak semua peserta dapat memanfaatkannya, karena konsentrasi mereka pada sidang-sidang formil yang diburuburu jadwal tadi. Tak heranlah kalau Wahyu Sihombing misalnya yang bertugas menjadi pembanding kertas kerja Aspar melontarkan suara yang sedikit nyindir: "Jadi serius ini?" Seminar Teater di Bandung itu memang "serius". Umar Kayam juga datang dan membacakan kertas kerja. Beberapa tokoh atau potensi daerah seperti Ajim Ariadi (Banjarmasin), Soenarto Timur (Surabaya), Burhan Piliang (Medan), Emha Ainun Najib (Yogya) Wisran Hadi (Padang), tampak pula. Tetapi mereka kebanyakan membisu. Aspar ini membingungkan, karena setelah menerangkan bagaimana ia berusaha memanfaatkan order Pemerintah untuk menghidupkan teater jalanan, akhirnya menghimbau sebuah gedung. Tradisionil Kulit Aspar telah mengemukakan keinginan yang menimbulkan gereget seakan teater sangat terikat kepada gedung. Tetapi ia telah bicara jujur menampilkan kondisi daerahnya, yang menunjukkan perbedaan besar dengan Jakarta. Ini merupakan masalah yang menarik. Tetapi ketika sidang hampir mengarah ke sana, waktu bicara pun tak ada lagi. Demikian juga ketika Saini KM mencoba membanting-banting masalah idiom baru yang bisa dicari dari kekayaan teater tradisionil. Diskusi berkisar di permukaan teater tradisionil seakan baru dibicarakan kulitnya, bentuknya, isi ceritanya -- bukan jiwa teaternya yang melahirkan idiom-idiom itu. Seorang Rujito sempat bertanya apa yang dimaksud dengan idiom. "Sebab idiom yang lama sudah selesai, tak akan bisa dipakai sekarang," ujarnya. Lalu masalahnya mengarah pada jiwa teater tradisionil yang melahirkan idiom itu konsep, jalan fikiran yang bersembunyi di balik bentuk-bentuk. Sehingga kalau dalam pertunjukan wayang misalnya, seorang raksasa bisa terpental hanya karena sentuhan kecil dari ksatria, apa yang sebenarnya hendak dikemukakan? Konsep kebenaran yang selalu lebih super dari ketidakbenaran? Atau pemberontakan kepada nilai-nilai teater realis? Tetapi pada saat masalahnya menukik, pertemuan pun harus ditutup kembali -- karena jadwal, sekali lagi. Bagaimana akan bisa dipastikan, bahwa hasil pertemuan akan terbawa pada kegiatan di masa datang? Sedang cara berseminar tanpa konsep. Tanpa memperhitungkan kondisi pesertanya, sehingga tidak memungkinkannya menjadi peristiwa kreatif. Jelas kebutuhan dan pengalaman masingmasing peserta berbeda menurut keadaan daerahnya. Saling tukar informasi secara intim sehingga masalahnya terbuka, terlepas dari bagaimana resep untuk mengatasinya, terasa belum tercapai. Barangkali inilah cara yang paling bagus untuk menghabiskan sisa anggaran belanja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus