Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berlombalah Dalam Kebaikan Kata Quran

Penyerahan zakat produktif dari Bazis kepada anak-anak putus sekolah dimaksudkan untuk mengurangi jumlah fakir-miskin. Beberapa lembaga sosial menyumbang para gelandangan & anak yatim. (ag)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEH saja orang berharap, di tahun-tahun mendatang akan terlihat perlombaan menarik. Yakni antar kalangan agama, dalam mengujudkan proyek sosial. Pesta Natal untuk gelandangan, pertengahan Desember lalu di Senayan, Jakarta -- yang antara lain telah disumbang Pemerintah DKI Rp 600.000 -- tak jadi dilangsungkan. Dan pada minggu itu juga diselenggarakan acara penyerahan sebagian zakat produktif lewat Pemda DKI kepada para pemuda putus sekolah -- di gedung Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Slipi, Jakarta. Uang itu adalah sebagian zakat kaum muslimin yang disalurkan melalui Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) DKI di Jakarta, dan diperuntukkan bagi 20 pemuda miskin yang sedang dilatih menjadi usahawan oleh LP3ES. Mereka, yang disaring dari para pendaftar yang jumlahnya mengejutkan -- 540 orang -- diberi kesempatan antara lain untuk magang selama enam bulan di sesuatu perusahaan (kali ini: perusahaan sepatu dan bubut). Bila mereka telah berasa mampu berdiri sendiri, mereka mendapat modal dari BAZIS sebesar Rp 50.000 atau Rp 100.000. Ada juga bantuan dari Departemen Perindustrian: Rp 15 ribu setiap bulan per orang, selama masa pendidikan. Dan bila mereka telah lepas, mereka masih berkonsultasi dengan LP3ES -- sampai benar-benar "aman". Salah seorang dari mereka, yang malu disebut namanya, merigaku kepada TEMPO bahwa sejak Nopember telah menerima Rp 50 ribu. Ia harus mengembalikan uang itu dalam jangka dua tahun, dimulai Maret mendatang -- dan pengembalian ini oleh BAZIS ditanamkan kepada dia sebagai sbadaqah. Ia menyatakan modalnya sudah berkembang menjadi Rp 150 ribu " tidak di tangan saya, tapi dalam wujud barang-barang yang berputar." Ia optimis: sudah tahu cara membuat sepatu, bahan-bahan dan seluk-beluk pasarnya -- "paling tidak, tidak akan dikibuli," katanya. Itu adalah contoh sukses meskipun di antara para peserta juga terdapat yang mengundurkan diri, seperti dituturkan Endi Junaidi, kepala proyek. Seperti dinyatakan Gubernur Tjokropranolo, yang dibacakan Wakil Gubernur Oerip Widodo di hari penyerahan akat itu, 11 Desember, kerjasama degan LP3ES tersebut didorong oleh keutuhan memberi pendidikan kewiraswastaan kepada para penerima zakat produktif --yang tak mungkin dilaksanakan sendiri oleh BAZIS berhubung dibutuhkannya modal yang besar. Sedang Ismid Hadad, Direktur LP3ES-lembaga swasta yang didirikan 8 tahun lalu dengan tujuan utama antara lain memecahkan masalahangkatankerja berusia muda --menyatakan bahwa konsep 'zakat produktif' itu sendiri, dalam bentuk pinjaman tanpa bunga, merupakan pandangan baru dan langkah maju dari pihak BAZIS. Dan pandangan maju memang kelihatan sedang mulai berkembang dalam hal zakat. BAZIS sendiri, yang di tahun 1977/1978 mendapat pemasukan Rp 146,4 juta (di tahun 1970 Rp 9,3 juta, tahun berikutnya Rp 25,5 juta), menggunakan jumlah besar dari uang yang masuk untuk pembangunan sosial produktif Tahun ini, untuk sektor konsumtif hanya disediakan Rp 14,5 juta-melibatkan 1.445 orang. Bahwa jumlah itu lebih kecil dibanding yang diberikan untuk keperluan produktif (Rp 36,5 juta, menyangkut 704 orang), menunjukkan pergeseran cara penggunaan zakat dari masa-masa sebelumnya. Angket Tetapi porsi terbesar memang diberikan kepada golongan fisabilillah -- menyangkut proyek fisik dan non-fisik seperti pembuatan mushalla, poliklinik, madrasah, juga bantuan kepada perguruan tinggi Islam swasta atau kesejahteraan guru-guru ngaji di kampung-kampung dalam wilayah DKI. Untuk itu BAZIS tahun ini menyediakan Rp 81 juta. Pergeseran ke arah yang produktif, atau kepentingan umum itu, difahami. Ada satu angket sederhana yang dilaku kan BAZIS di tahun 1975. Menyangkut 400 orang responden yang sudah berzakat, baik lewat lembaga tersebut maupun berbagai badan zakat swasta. Dari situ diperoleh jawaban dari 96% responden, yang menghendaki agar penggunaan zakat bisa "terus-menerus mengurangi jumlah fakir-miskin". Sedang dalam hal alternatif pelaksanaannya, 29,61% mengharapkan dibangunnya industri kecil yang dapat menampung tenaga fakir miskin. 23,23% menginginkan badan usaha jasa bagi mereka. Dan 21,80% ingin didirikannya tempat-tempat latihan keterampilan -- dan ini yang paling dekat hubungannya dengan yang diusahakan BAZIS tahun ini bersama LP3ES. Latihan keterampilan barangkali saja akan banyak dipilih di waktu-waktu mendatang. Selain orang mengenal beberapa percobaan untuk mengaitkan pesantren dengan keterampilan, Muhammadiyah misalnya memiliki proyek keterampilan di Sala, Temanggung, Pontianak, Bukittinggi, Ujungpandang dan Jakarta. Yang di daerah mengkhususkan diri pada perkebunan, persawahan dan peternakan, sementara yang di Jakarta dan Ujung Pandang khusus mendidik anak putus sekolah. Memang, seperti dinyatakan Aminuddin Jailani, Asisten Administrator PKU Muhammadiyah, zakat di kalangan Muhammadiyah sebagian besarnya toh masih digunakan secara konsumtif -- "begitu dibagikan kepada fakir-miskin, langsung habis. " Kebelum-puasan juga disampaikan oleh H.M. Adiwirya, Ketua BAZIS DKI -- terhadap sambutan masyarakat Islam sendiri terhadap zakat. "Belum memadai," katanya. Soalnya barangkali bukan rasa sosial --sebab orang Islam di kampung-kampung juga berzakat. Tanpa koordinasi, apa lagi kontrol. Drs. Sudjoko Prasodjo, dari Lembaga Studi llmu Kemasyarakatan (LSIK), menyatakan bahwa rasa sosial umat Islam sebetulnya tinggi. Hanya "managemennya yang belum memadai". Adiwirya sendiri masih menganggap sistim seruan dan penyuluhan zakat belum efektif. Padahal buah dari rasa sosial tentunya tergantung pada cara penyaluran dan managemennya. Di Jakarta misalnya, gabungan pengajian ibu-ibu saja mampu memberikan dua ruangan VIP di RS Islam Cempaka Putih, misalnya --tak lain karena koordinasi dan managemen. Tetapi Sudjoko Prasodjo masih mengharapkan pengajian di lingkungan hartawan di Jakarta akan punya akibat positif dalam hal penaikan target zakat. Betapapun yang belum terlihat di kalangan Islam adalah usaha penanggulangan gelandangan. Dalam angket BAZIS yang telah disebut, memang ada juga dimuat pertanyaan untuk itu. Dan ternyata, 74% responden setuju. Hanya saja, tidak seperti misalnya dalam hal anak yatim, rupanya gelandangan belum dianggap yang paling mendesak -- atau paling mungkin -- ditangani. Berbeda dengan kalangan Kristen dan Katolik. Biro Aksi Puasa Pembangunan dari Keuskupan Agung Jakarta, proyek terbesarnya di tahun 1977 adalah penempatan 100 keluarga gelandangan di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Mereka ini sebagian besar berasal dari kampung gelandangan Pondok Seng yang kena gusur proyek real estate. Biaya pembelian 5 ha tanah, pembangunan 100 tempat tinggal berikut tetek bengeknya waktu itu menghabiskan Rp 14 juta. "Ini kami biayai fifty-fifty bersama Misi Kota & Industri dari DGI," kata FX Moedjio dari Biro APP di Jalan Katedral. Malah bulan Desember kemarin lokasi gelandangan tersebut juga disuntik lagi sebesar Rp 3 juta kali ini dari trio APP, DGI, dan Yayasan Usaha Mulya - dari perkumpulan SUBUD. Sementara itu Kampus Diakonia Modern, yang diasuh oleh Pendeta S.S. Lumy S.Th -tokoh penting rencana perayaan Natal gelandangan -- sekarang ini menampung sekitar 200 anak bekas gelandangan. Mereka tetap dimasukkan ke sekolah-sekolah umum. KDM memang belum menyelenggarakan kursus keterampilan umum seperti LP3ES ataupun berbagai kursus di daerah yang dibantu APP. Tetapi boleh juga diingat satu-dua gereja Kristen Evangelis yang juga menyekolahkan anak-anak kurang mampu seperti di Batu, Malang, atau lainnya. Dari Yang Miskin Dari manakah keuangan mereka? Khusus Aksi Puasa Pembangunan di kalangan Katolik, MAWI memang menganJurkan para uskup untuk menjalankan kampanye di lingkungan masing-masing. Aksi ini, yang dilaksanakan di masa pra-Paskah (dan puasa bagi umat Katolik adalah berpantang sesuatu makanan atau kebiasaan), di Indonesia dimulai tahun 1970. Di tahun itu hanya berhasil dikumpulkan Rp 1,5 juta. Dan tahun ini Rp 38,5 juta -- dengan catatan Yang Rp 18,5 juta dipancing lewat saku anak-anak sekolah Katolik. Untuk seluruh Indonesia, hasil kolekte Jakarta ternyata yang paling besar -- disusul Medan, lalu Manado, dan baru kota-kota besar di Jawa. Seperempat dari jumlah yang didapat masing-masing daerah itu disetorkan ke LPPS (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial), yakni 'Bappenas'nya MAWI, yang menggunakan dana itu untuk berbagai proyek. Misalnya membantu bencana alam di Bali, atau proyek peternakan sapi transmigran di Kendari. Sedang di Jakarta sendiri, pada semester I 1978 dikeluarkan dana untuk membantu misalnya kursus kerajinan tangan para wanita miskin di Tanjung Priok. Tahun 1977 ada proyek kredit sepeda untuk umat yang kurang mampu di Pasar Minggu. Seperti juga kalangan Islam, juga tokoh-tokoh Katolik masih belum puas pada hasil yang dicapai. Sebab dipukul rata, sumbangan orang Katolik -- yang di Jakarta berjumlah 125 ribu orang-masih rendah sekali baru Rp 316 seorang, per tahun. Yang menarik di situ adalah pengamatan seperti dituturkan Pater Karl Albrecht, Ketua Dewan Pengurus APP di Jakarta. "Dapat kita simpulkan," katanya, "yang menyumbang itu terutama golongan berpenghasilan menengah ke bawah. Pokoknya yang ekonominya pas-pasan." Paroki yang paling besar sumbangannya pun bukan Paroki Katedral di seberang Mesjid Istiqlal - tempat banyak orang berduit dengan jemaah bermobil mengkilap. Melainkan Paroki Bidaracina yang umatnya kebanyakan orang Jawa yang kurang berada. Juga kalau misalnya dua paroki yang paling banyak umatnya (Pademangan dan Mangga Besar) dibandingkan, maka "sumbangan Pademangan yang kebanyakan orang Jawa itu, relatif lebih tinggi dari Mangga Besar yang kebetulan keturunan Tionghoa dan lebih mampu," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus