BOLEH saja orang berharap, di tahun-tahun mendatang akan
terlihat perlombaan menarik. Yakni antar kalangan agama, dalam
mengujudkan proyek sosial. Pesta Natal untuk gelandangan,
pertengahan Desember lalu di Senayan, Jakarta -- yang antara
lain telah disumbang Pemerintah DKI Rp 600.000 -- tak jadi
dilangsungkan. Dan pada minggu itu juga diselenggarakan acara
penyerahan sebagian zakat produktif lewat Pemda DKI kepada para
pemuda putus sekolah -- di gedung Lembaga Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Slipi, Jakarta.
Uang itu adalah sebagian zakat kaum muslimin yang disalurkan
melalui Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) DKI di
Jakarta, dan diperuntukkan bagi 20 pemuda miskin yang sedang
dilatih menjadi usahawan oleh LP3ES. Mereka, yang disaring dari
para pendaftar yang jumlahnya mengejutkan -- 540 orang -- diberi
kesempatan antara lain untuk magang selama enam bulan di sesuatu
perusahaan (kali ini: perusahaan sepatu dan bubut). Bila mereka
telah berasa mampu berdiri sendiri, mereka mendapat modal dari
BAZIS sebesar Rp 50.000 atau Rp 100.000.
Ada juga bantuan dari Departemen Perindustrian: Rp 15 ribu
setiap bulan per orang, selama masa pendidikan. Dan bila mereka
telah lepas, mereka masih berkonsultasi dengan LP3ES -- sampai
benar-benar "aman". Salah seorang dari mereka, yang malu disebut
namanya, merigaku kepada TEMPO bahwa sejak Nopember telah
menerima Rp 50 ribu. Ia harus mengembalikan uang itu dalam
jangka dua tahun, dimulai Maret mendatang -- dan pengembalian
ini oleh BAZIS ditanamkan kepada dia sebagai sbadaqah. Ia
menyatakan modalnya sudah berkembang menjadi Rp 150 ribu " tidak
di tangan saya, tapi dalam wujud barang-barang yang berputar."
Ia optimis: sudah tahu cara membuat sepatu, bahan-bahan dan
seluk-beluk pasarnya -- "paling tidak, tidak akan dikibuli,"
katanya. Itu adalah contoh sukses meskipun di antara para
peserta juga terdapat yang mengundurkan diri, seperti dituturkan
Endi Junaidi, kepala proyek.
Seperti dinyatakan Gubernur Tjokropranolo, yang dibacakan Wakil
Gubernur Oerip Widodo di hari penyerahan akat itu, 11 Desember,
kerjasama degan LP3ES tersebut didorong oleh keutuhan memberi
pendidikan kewiraswastaan kepada para penerima zakat produktif
--yang tak mungkin dilaksanakan sendiri oleh BAZIS berhubung
dibutuhkannya modal yang besar. Sedang Ismid Hadad, Direktur
LP3ES-lembaga swasta yang didirikan 8 tahun lalu dengan tujuan
utama antara lain memecahkan masalahangkatankerja berusia muda
--menyatakan bahwa konsep 'zakat produktif' itu sendiri, dalam
bentuk pinjaman tanpa bunga, merupakan pandangan baru dan
langkah maju dari pihak BAZIS.
Dan pandangan maju memang kelihatan sedang mulai berkembang
dalam hal zakat. BAZIS sendiri, yang di tahun 1977/1978 mendapat
pemasukan Rp 146,4 juta (di tahun 1970 Rp 9,3 juta, tahun
berikutnya Rp 25,5 juta), menggunakan jumlah besar dari uang
yang masuk untuk pembangunan sosial produktif Tahun ini, untuk
sektor konsumtif hanya disediakan Rp 14,5 juta-melibatkan 1.445
orang. Bahwa jumlah itu lebih kecil dibanding yang diberikan
untuk keperluan produktif (Rp 36,5 juta, menyangkut 704 orang),
menunjukkan pergeseran cara penggunaan zakat dari masa-masa
sebelumnya.
Angket
Tetapi porsi terbesar memang diberikan kepada golongan
fisabilillah -- menyangkut proyek fisik dan non-fisik seperti
pembuatan mushalla, poliklinik, madrasah, juga bantuan kepada
perguruan tinggi Islam swasta atau kesejahteraan guru-guru ngaji
di kampung-kampung dalam wilayah DKI. Untuk itu BAZIS tahun ini
menyediakan Rp 81 juta.
Pergeseran ke arah yang produktif, atau kepentingan umum itu,
difahami. Ada satu angket sederhana yang dilaku kan BAZIS di
tahun 1975. Menyangkut 400 orang responden yang sudah berzakat,
baik lewat lembaga tersebut maupun berbagai badan zakat swasta.
Dari situ diperoleh jawaban dari 96% responden, yang menghendaki
agar penggunaan zakat bisa "terus-menerus mengurangi jumlah
fakir-miskin". Sedang dalam hal alternatif pelaksanaannya,
29,61% mengharapkan dibangunnya industri kecil yang dapat
menampung tenaga fakir miskin. 23,23% menginginkan badan usaha
jasa bagi mereka. Dan 21,80% ingin didirikannya tempat-tempat
latihan keterampilan -- dan ini yang paling dekat hubungannya
dengan yang diusahakan BAZIS tahun ini bersama LP3ES.
Latihan keterampilan barangkali saja akan banyak dipilih di
waktu-waktu mendatang. Selain orang mengenal beberapa percobaan
untuk mengaitkan pesantren dengan keterampilan, Muhammadiyah
misalnya memiliki proyek keterampilan di Sala, Temanggung,
Pontianak, Bukittinggi, Ujungpandang dan Jakarta. Yang di daerah
mengkhususkan diri pada perkebunan, persawahan dan peternakan,
sementara yang di Jakarta dan Ujung Pandang khusus mendidik anak
putus sekolah. Memang, seperti dinyatakan Aminuddin Jailani,
Asisten Administrator PKU Muhammadiyah, zakat di kalangan
Muhammadiyah sebagian besarnya toh masih digunakan secara
konsumtif -- "begitu dibagikan kepada fakir-miskin, langsung
habis. "
Kebelum-puasan juga disampaikan oleh H.M. Adiwirya, Ketua BAZIS
DKI -- terhadap sambutan masyarakat Islam sendiri terhadap
zakat. "Belum memadai," katanya. Soalnya barangkali bukan rasa
sosial --sebab orang Islam di kampung-kampung juga berzakat.
Tanpa koordinasi, apa lagi kontrol. Drs. Sudjoko Prasodjo, dari
Lembaga Studi llmu Kemasyarakatan (LSIK), menyatakan bahwa rasa
sosial umat Islam sebetulnya tinggi. Hanya "managemennya yang
belum memadai". Adiwirya sendiri masih menganggap sistim seruan
dan penyuluhan zakat belum efektif. Padahal buah dari rasa
sosial tentunya tergantung pada cara penyaluran dan
managemennya. Di Jakarta misalnya, gabungan pengajian ibu-ibu
saja mampu memberikan dua ruangan VIP di RS Islam Cempaka Putih,
misalnya --tak lain karena koordinasi dan managemen. Tetapi
Sudjoko Prasodjo masih mengharapkan pengajian di lingkungan
hartawan di Jakarta akan punya akibat positif dalam hal penaikan
target zakat.
Betapapun yang belum terlihat di kalangan Islam adalah usaha
penanggulangan gelandangan. Dalam angket BAZIS yang telah
disebut, memang ada juga dimuat pertanyaan untuk itu. Dan
ternyata, 74% responden setuju. Hanya saja, tidak seperti
misalnya dalam hal anak yatim, rupanya gelandangan belum
dianggap yang paling mendesak -- atau paling mungkin --
ditangani.
Berbeda dengan kalangan Kristen dan Katolik. Biro Aksi Puasa
Pembangunan dari Keuskupan Agung Jakarta, proyek terbesarnya di
tahun 1977 adalah penempatan 100 keluarga gelandangan di
Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Mereka ini sebagian besar
berasal dari kampung gelandangan Pondok Seng yang kena gusur
proyek real estate. Biaya pembelian 5 ha tanah, pembangunan 100
tempat tinggal berikut tetek bengeknya waktu itu menghabiskan Rp
14 juta. "Ini kami biayai fifty-fifty bersama Misi Kota &
Industri dari DGI," kata FX Moedjio dari Biro APP di Jalan
Katedral.
Malah bulan Desember kemarin lokasi gelandangan tersebut juga
disuntik lagi sebesar Rp 3 juta kali ini dari trio APP, DGI,
dan Yayasan Usaha Mulya - dari perkumpulan SUBUD. Sementara itu
Kampus Diakonia Modern, yang diasuh oleh Pendeta S.S. Lumy S.Th
-tokoh penting rencana perayaan Natal gelandangan -- sekarang
ini menampung sekitar 200 anak bekas gelandangan. Mereka tetap
dimasukkan ke sekolah-sekolah umum. KDM memang belum
menyelenggarakan kursus keterampilan umum seperti LP3ES ataupun
berbagai kursus di daerah yang dibantu APP. Tetapi boleh juga
diingat satu-dua gereja Kristen Evangelis yang juga
menyekolahkan anak-anak kurang mampu seperti di Batu, Malang,
atau lainnya.
Dari Yang Miskin
Dari manakah keuangan mereka? Khusus Aksi Puasa Pembangunan di
kalangan Katolik, MAWI memang menganJurkan para uskup untuk
menjalankan kampanye di lingkungan masing-masing. Aksi ini, yang
dilaksanakan di masa pra-Paskah (dan puasa bagi umat Katolik
adalah berpantang sesuatu makanan atau kebiasaan), di Indonesia
dimulai tahun 1970. Di tahun itu hanya berhasil dikumpulkan Rp
1,5 juta. Dan tahun ini Rp 38,5 juta -- dengan catatan Yang Rp
18,5 juta dipancing lewat saku anak-anak sekolah Katolik.
Untuk seluruh Indonesia, hasil kolekte Jakarta ternyata yang
paling besar -- disusul Medan, lalu Manado, dan baru kota-kota
besar di Jawa. Seperempat dari jumlah yang didapat masing-masing
daerah itu disetorkan ke LPPS (Lembaga Penelitian dan
Pembangunan Sosial), yakni 'Bappenas'nya MAWI, yang menggunakan
dana itu untuk berbagai proyek. Misalnya membantu bencana alam
di Bali, atau proyek peternakan sapi transmigran di Kendari.
Sedang di Jakarta sendiri, pada semester I 1978 dikeluarkan dana
untuk membantu misalnya kursus kerajinan tangan para wanita
miskin di Tanjung Priok. Tahun 1977 ada proyek kredit sepeda
untuk umat yang kurang mampu di Pasar Minggu.
Seperti juga kalangan Islam, juga tokoh-tokoh Katolik masih
belum puas pada hasil yang dicapai. Sebab dipukul rata,
sumbangan orang Katolik -- yang di Jakarta berjumlah 125 ribu
orang-masih rendah sekali baru Rp 316 seorang, per tahun.
Yang menarik di situ adalah pengamatan seperti dituturkan Pater
Karl Albrecht, Ketua Dewan Pengurus APP di Jakarta. "Dapat kita
simpulkan," katanya, "yang menyumbang itu terutama golongan
berpenghasilan menengah ke bawah. Pokoknya yang ekonominya
pas-pasan." Paroki yang paling besar sumbangannya pun bukan
Paroki Katedral di seberang Mesjid Istiqlal - tempat banyak
orang berduit dengan jemaah bermobil mengkilap. Melainkan Paroki
Bidaracina yang umatnya kebanyakan orang Jawa yang kurang
berada. Juga kalau misalnya dua paroki yang paling banyak
umatnya (Pademangan dan Mangga Besar) dibandingkan, maka
"sumbangan Pademangan yang kebanyakan orang Jawa itu, relatif
lebih tinggi dari Mangga Besar yang kebetulan keturunan Tionghoa
dan lebih mampu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini