ENAM tahun yang lalu, Johannes Badar dituduh membunuh secara
berencana. Ia diajukan ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang yang
bersidang di Dabo Singkep, Kepulauan Riau. Tetapi sidang
terpaksa berjalan singkat dan dihentikan. Sebab tertuduh
menunjukkan gejala yang aneh: tidak satu pun pertanyaan hakim
yang dijawabnya, kecuali dengan gelengan kepala. Matanya yang
cekung kelihatan berkilat-kilat, kemudian ia menjerit dan
mengamuk.
Hakim tunggal Amrin De Bur--tanpa merasa perlu memerintahkan
agar tertuduh lebih dulu diperiksa oleh psikiater --memutuskan
bahwa 3Ohannes sakit jiwa. Ditetapkan pula, Johannes harus
dirawat dulu di rumah sakit jiwa, baru sidang bisa diteruskan.
Hari itu, 9 Juni 1975, Johannes dibawa kembali ke LP
Tanjungpinang tempat ia ditahan. Namun upaya untuk mengobati
Johannes sampai hari ini tidak pernah dilakukan. Lebih dari itu
tidak seorang pun penegak hukum yang ingat nasib Johannes. Hari
demi hari dilaluinya, tanpa kepastian, kapan akan diadili.
Sembilan tahun sudah ia harus menunggu.
Dilahirkan di Desa Sere, Flores, 40 tahun yang lalu, Johannes
merantau ke Pulau Sebangka, Kecamatan Senayang, Riau sebagai
nelayan kecil. Di pulau inilah, Johannes tersangkut perkara. Ia
dituduh membunuh dua orang tetangganya, Machmud dan Belvadus
Sura.
Menurut tuduhan jaksa, 19 September 1972, Johannes mendatangi
Machmud untuk bertamu dan minta minum. Waktu itu hari sudah
malam. Tapi Machmud menerima juga Johannes yang memang sudah
dikenalnya. Setelah minum, menurut tuduhan jaksa, Johannes minta
Machmud menunjukkan sumur. Ia menyatakan mau buang air. Tuan
rumah membawa tamunya itu ke sumur. Di situlah, kata jaksa,
tanpa alasan yang jelas, Johannes membacok tuan rumah dengan
parang. Machmud tewas seketika.
Selesai membereskan Machmud, dikatakan pula bahwa Johannes
mendatangi Belvadus Sura dengan alasan yang sama, mau bertamu.
Tetapi masih ditangga rumah Sura, Johannes konon sudah membacok
tuan rumah. Sura tewas di tempat itu juga. Besoknya, polisi
menangkap Johannes. Ia ditahan di Dabo Singkep. Tiga tahun
kemudian, Johannes yang dikategorikan tahanan berat, dipindahkan
ke LP Tanjungpinang.
Semenjak itu, Johannes seperti tidak akan pernah keluar lagi
dari LP Tanjungpinang. Tak ada kabar kapan akan diobati sesuai
penetapan hakim, dan juga kapan akan diadili. "Untunglah kami
punya sedikit ilmu membina tahanan dan narapidana," ujar Kepala
Pembinaan LP Tanjungpinang, Bambang Winahyo. Sedikit demi
sedikit Johannes bisa dikendalikan. Tapi "paling pantang kalau
perkaranya diungkit-ungkit," kata Bambang Winahyo. Penvakitnya
bisa kumat kembali.
Misalnya suatu kali seorang petugas LP pernah menggoda Johannes,
bahwa perkara pembunuhan itu akan disidangkan kembali. Seketika
mata Johannes jadi merah dan liar. Si petugas yang tidak sadar
perubahan itu, memutar badannya membelakangi Johannes. Satu itu,
Johannes menyambar kayu pemikul air dan memukul petugas yang
bergurau dengannya. Akibatnya petugas LP itu terpaksa dirawat
selama seminggu di rumah sakit, menderita gegar otak.
Bambang Winahyo, yang sudah enam tahun mengurus Johannes yakin
bahwa penyakit tahanan itu masih bisa disembuhkan. Ia sudah
beberapa kali menyurati Pengadilan Negeri Tanjungpinang, agar
mengurus nasib Johannes. Alasannya: penahanan tertuduh itu sudah
melewati batas waktu yang ditentukan undang-undang. Juga bisa
menghancurkan masa depan Johannes," kata Bambang.
Urusan Siapa
Pengadilan yang disurati Bambang tidak membantah. "Tetapi itu
urusan kejaksaan," kata Santun Napitupulu, jurubicara Pengadilan
Negeri Tanjungpinang. Menurut Santun, semenjak penetapan pertama
tahun 1975, sudah beberapa kali pengadilan mengirimkan surat
mendesak Kejaksaan Negeri Dabo Singkep agar mengirim Johannes ke
rumah sakit. Surat terakhir dikirimkan pengadilan tahun 1978
Tapi sampai saat ini "belum ada jawaban," tambah Santun.
Anehnya kejaksaan justru merasa, bahwa pengobatan Johannes
merupakan tanggungjawab pengadilan. Kepala Kejaksaan Tinggi,
Riau, B.A.S. Tobing merasa tanggungjawab itu sudah pindah ke
pengadilan, karena perkara Johannes sudah dilimpahkan dan
disidangkan pengadilan. Pihak kejaksaan, menurut Tobing, hanya
berkewajiban melaksanakan, kalau pengadilan menyebutkan ke rumah
sakit jiwa mana Johannes harus dikirim.
Johannes sendiri tidak pernah tahi siapa yang harus
bertanggungjawab. Kalau tidak lagi kumat, ia tahanan yang baik,
murah senyum dan selalu hormat Di LP Tanjungpinang ia dikenal
baik hati. Kalau ada yang memberinya rokok, Johannes
membagikannya kepada tahanan dan narapidana lain. Begitu juga
kalau ia mendapat hadiah baju dari pendeta: baju itu akan
diberikannya lagi kepada orang lain. Johannes sendiri sejak
masuk LP tetap pakai celana pendek bertali dan baju singlet
kebiru-biruan. "Kalau orang baik kepada saya, saya juga harus
baik kepada orang lain," kata Johannes kepada TEMPO di LP
Tanjungpinang.
Ia mengaku punya saudara empat orang di Flores. Namun semenjak
masuk LP tidak pernah berhubungan surat lagi. Ia khawatir,
keluarganya sedih kalau disuratinya. Sebab itu ia tidak tahu
apakah orang tuanya di Flores masih hidup atau tidak.
Cita-citanya: ingin bekerja di LP selesai hukuman. Dan tentu
saja kawin. "Tapi masih ditahan bagaimana mau kawin," kelakar
bujangan ini. Ia sendiri tidak tahu sampai kapan akan ditahan.
Anehnya, begitu pula hakim dan jaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini