SEORANG anak SMAN XI digasak dua pengendara mobil--di jalan
dekat sekolah. Itu gara-gara anak yang merasa disrempet itu
memelototi yang di dalam mobil. Kewalahan melawan dua orang, ia
lari masuk ke sekolah. Biasa.
Yang membuat peristiwa ini berbuntut: ternyata dua pengendara
mobil itu bekas murid SMAN IX, tetangga SMAN XI--dua sekolah
yang bersebelahan di kawasan Bulungan, Kebayoran Baru, yang
memang sering bentrok. Maka tanpa ba atau bu, murid
masing-masing sekolah lantas saja membela teman mereka.
Perkelahian massal tak terhindarkan.
Dan peristiwa Rabu itu berbuntut sampai esoknya. Terjadi lagi,
seperti November tahun lalu, aksi lempar batu antarkedua
sekolah. Maka Jumat serta Sabtu kedua sekolah diliburkan. Polisi
turun tangan.
Sebelum itu, 24 Agustus, ada pula baku hantam massal anak-anak
SMA Kanisiu lawan SMAN VII (Jalan Batu Gambir) di depan gedung
SMA pertama. Menurut Pater J. Wisgickl S.Y., salah seorang
pendidik di SMA Kanisius yang langsung ikut menangani peristiwa
tersebut, awal mulanya sebenarnya "sepele". Sejumlah anak SMAN
VII mendatangi sekolah di Jalan Menteng Raya itu. Entah
bagaimana anak-anak yang bertamu lantas adu mulut dengan tuan
rumah, diteruskan adu tangan dan kaki.
Perang Saudara
Kejadian itu terulang tiga hari kemudian. Beberapa siswa SMAN
VII mondar-mandir dengan sepeda motor di depan SMA Kanisius. Tak
terhindar lagi, begitu murid SMA Kanisius pulang, terjadilah adu
jotos, lempar batu, main kayu.
Tapi berbeda dari yang terjadi di Bulungan, di SMA Kanisius para
guru sempat turun tangan dan melerai. Pater Wisgickl dan guru
yang lain agaknya cukup disegani. Bahkan Pater sempat menahan
dua anak SMAN VII untuk dimintai keterangan.
Dan keterangan itu begini. Mereka datang mencari seorang anak
kelas 1, adik seorang siswa SMAN VII, yang arloji tangannya
dijambret seorang murid kelas 11 dari SMA Kanisius. Maksud para
pndatang itu: untuk menanyakan yang mana anak kelas 11 itu.
Langsung Pater tersebut mengecek semua yang diceritakan dua
murid itu. Ternyata tak benar. "Yang diceritakan dijambret
arlojinya, tak kehilangan apa-apa. Dan dia tak mempunyai kakak
di SMAN VII," tutur Pater.
Dan sebetulnya siang 24 Agustus itu sudah ada perjanjian kedua
belah pihak, bahwa "urusan sampai di sini saja.
Toh, Kamis 27 Agustus, peristiwa berulang. Lebih seru, karena
beberapa kaca depan SMA Kanisius pecah dilempar batu. "Sayang,
kaca di jendela yang tinggi itu pecah juga. Gantinya sulit, tak
dijual di sini, harus ke luar negeri," kata Pater Sewaka,
penanggungjawab SMP dan SMA Katolik itu.
Dari SMAN VII sendiri ternyata agak susah mencari tahu sebab
musabab perkelahin. Tapi R. Jojo Gunara, Kepala Sekolah, telah
menskors beberapa anak yang terlibat perkelahian.
Agak lain yang terjadi di SMAN XLVI, Cilandak -- yang nyaris
sebuah perang saudara. Ada masalah pribadi antara seorang murid
kelas I dan kelas II --yang letak lokalnya memang tidak
sekompleks, tapi berjauhan, ada sekitar 500 meter. Terjadi
perkelahian, sebentar. Anak-anak kelas I konon lantas minta
bantuan anak-anak luar sekolah. Keruan saja anak kelas II naik
pitam. Mereka tahu, yang membantu adik-adik mereka adalah
anak-anak kompleks perumahan PN Timah Cilandak. Maka diserbulah
perumahan itu. Sekitar 20 rumah pecah kaca-kacanya. Pihak
keamanan Jakarta Selatan kewalahan, karena waktu terjadinya
bersamaan dengan perkelahian di SMA Bulungan, Kamis siang, 3
September.
Kalau sudah begitu, guru, kepala seIolah, polisi, orang tua
murid, Kanwil Dep. P&K DKI, menjadi repot--sebentar. Kemudian
biasanya bisa didamaikan, bahkan ada pernyataan ini-itu. Yang
pada pokoknya, pihak-pihak yang berkelahi berjanji tak akan
mengulang hal itu lagi.
Tapi, di Kanwil Dep. P8K DKI bis dilihat catatan ini. Tahun
1976 terjadi 70 kali perkclahian melibatkan sekitar 50
SLTP/SLTA. Dua tahun kemudian, ] 978, berkurang: ada 25
perkelahian melibatkan 21 sekolah. Tahun berikutnya bahkan hanya
11 kali perkelahian, melibatkan 18 sekolah. Dan tahun lalu naik
ada 30 perkelahian melibatkan 30 sekolah.
Tahun ini, agaknya yang boleh dikatakan menarik perhatian
masyarakat, ya baru kasus di Bulungan, di Cilandak dan di
Menteng Raya ini. Terutama yang terakhir, karena itu sekolah
kalangan agama yang pertama.
"Saya bangga, kalian berani mempertahankan sekolah ini dari
pengrusakan," kata Pater Sewaka di depan anak-anak SMA Kanisius.
"Tapi cara kalian tidak saya senangi."
Pater Sewaka bicara tentang sifat ksatria alias sportivitas
--yang seharusnya antimain kroyok. Tapi rupanya sikap sportif
bukan satu-satunya. Bukankah sering terdengar misalnya
"solidaritas korp"? Bahkan kadang suatu kesalahan tak diakui
semata-mata karena "nama baik korp"?
"Rasa solidaritas kami kuat," komentar seorang siswa Kanisius
itu. 'eggak mungkin 'kan, kalau teman kita babak belur
digebukin sekolah lain, kita diam aja?" lanjutnya. Pengaruh dari
iklim di luar memang cukup besar, rupanya Apa lagi mcreka muda.
Betapapun, terdengar seperti keputusasaan: keputusan bersama
SMAN XI dan IX, tentang akan dibangunnya pagar yang kuat antara
kedua SMA itu, plus pos keamanan di lingkungan tersebut yang
juga menyertakan tenaga polisi. Ataukah memang hanya itu
jalannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini