KESEMRAWUTAN aspek hukum dalam kasus Timor Timur dikhawatirkan akan berujung pada ironi hukum. Soalnya, tak tertutup kemungkinan, hasil kerja komisi penyelidik nasional tentang keterlibatan beberapa jenderal TNI—diumumkan Senin pekan ini—akan nihil belaka. Mengapa? Sebab, hasil komisi yang diketuai Albert Hasibuan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu tak bisa diteruskan ke pengadilan akibat ketiadaan dasar hukum.
Semula, perangkat hukum yang akan dijadikan pijakan adalah Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang disiapkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Ternyata, rancangan undang-undang (RUU) yang masih berbentuk draf keempat itu hanya berlaku untuk kasus hak asasi yang terjadi setelah undang-undang itu lahir.
Artinya, undang-undang itu tak berlaku surut bagi kasus sebelumnya, baik yang terjadi di Timor Timur, Aceh, Irianjaya, maupun Maluku. Berbagai kasus itu, menurut Pasal 32 RUU tadi, akan diselesaikan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Urusannya bahkan semakin berbelit karena komisi itu pun harus dibentuk dengan undang-undang lagi.
Sebenarnya, dasar hukum untuk mengadili kasus Timor Timur sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999. Dengan Perpu itu, kasus hak asasi manusia akan diadili di peradilan umum. Namun, Perpu itu masih dibahas DPR untuk disetujui menjadi undang-undang. Yang mengherankan, Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra berharap agar DPR menolak Perpu itu, sementara ia menyampaikan RUU Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai penggantinya.
Yang terasa mengganjal dari RUU yang diunggulkan Yusril ialah Pasal 32. Pasal ini mengatur penyelesaian kasus hak asasi lewat komisi rekonsiliasi. Hal ini membuat geram banyak pihak, terutama Komnas HAM dan kalangan lembaga swadaya masyarakat. "Kalau hasil komisi penyelidikan nasional untuk kasus Timor Timur tak bisa ke pengadilan, bisa-bisa Indonesia dianggap berupaya mengelabui masyarakat internasional," kata Asmara Nababan.
Asmara, dari komisi penyelidikan nasional itu, berharap agar Pasal 32 dihapus saja, lalu diganti dengan pasal "terobosan" yang memungkinkan perangkat hukum itu bisa berlaku surut bagi kasus hak asasi manusia yang terjadi jauh sebelumnya. Waktu pemunduran bisa 15 tahun atau 18 tahun, sesuai dengan ketentuan tentang kedaluwarsanya tuntutan hukum.
Dengan demikian, kasus Timor Timur tetap diadili di pengadilan hak asasi manusia. Implikasinya, seperti harapan yang dikampanyekan Menteri Luar Negeri Alwi Shibah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tak perlu membentuk mahkamah internasional untuk mengadili para jenderal TNI. Seperti diketahui, PBB juga telah membentuk komisi penyelidik internasional untuk kasus Timor Timur. Hasil komisi yang diketuai Sonia Picado Sotela dari Kosta Rika itu akan diumumkan dalam waktu dekat.
Menanggapi berbagai kritik itu, Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa RUU Pengadilan Hak Asasi Manusia hingga sekarang terus disempurnakan. Bisa saja alternatif yang diusulkan Asmara dicantumkan pada RUU itu. Cuma, "Bagaimana dengan kasus hak asasi yang terjadi lebih dari 15 tahun lalu? Kalau kasus itu tak bisa diadili, nanti dibilang tak adil?" ujarnya.
Namun, belum tentu DPR tak menyetujui Perpu No. 1 Tahun 1999 itu. Kalau itu disetujui, masalah dasar hukum bagi peradilan kasus hak asasi manusia bisa terjawab. Tentu, setelah itu harus disusun undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang akan menangani kasus hak asasi manusia yang sudah lama lewat dan sulit mengupayakan saksi dan pembuktiannya. Penyelesaian lewat komisi ini tak lantas menutup kemungkinan peradilannya. "Kalau tersangka tak mau meminta maaf atau korban tak bersedia berdamai, kasusnya bisa ke pengadilan hak asasi manusia," kata Romli.
Berbagai perkiraan tersebut tak bisa menafikan pendapat Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Hendardi, yang mengatakan bahwa peradilan dengan Perpu ataupun calon UU Pengadilan Hak Asasi Manusia sesungguhnya tak memenuhi standar internasional. Sebab, kedua aturan itu menggunakan hukum pidana berdasarkan KUH Pidana, yang belum menjangkau berbagai delik internasional, antara lain kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Belum lagi bila peradilannya nanti berujung dengan hukuman yang tak setimpal atau berupaya melindungi para jenderal TNI.
Kalau itu terjadi, tak mustahil peradilan internasional menjaring kembali kasus tersebut. Untuk menghindarinya, Hendardi mengusulkan pembentukan undang-undang tentang peradilan ad hoc nasional. Peradilan itu akan mengakomodasi penyidik dan hakim independen dari tim hukum utusan PBB. Lalu, serentak dengan itu, dibuatlah undang-undang untuk meratifikasi segala instrumen internasional tentang hak asasi manusia maupun delik internasional.
Happy S., Arif A. Kuswardono,dan Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini