Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menahan Joko Tjandra, Oh, Repotnya

Pengadilan mempersalahkan Kejaksaan Agung, yang dituduh sewenang-wenang menahan pengusaha Joko Tjandra. Tapi bukannya dibebaskan, Joko malah dikirim ke LP Cipinang.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menetapkan dua tersangka baru kasus Bank Bali—bekas Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng dan bekas pejabat BI Erman Munzir—Kejaksaan Agung ternyata tidak diacungi jempol, tapi dipermalukan. Selasa pekan lalu, instansi pengusut kasus korupsi yang dipimpin Marzuki Darusman itu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim J.M.T. Simatupang menganggap Kejaksaan Agung telah sewenang-wenang menahan tersangka kasus Bank Bali, Joko S. Tjandra. Hakim itu lalu memerintahkan agar Joko segera dilepaskan dari sel penahanan di lokasi gedung bundar Kejaksaan Agung di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Vonis hakim ini ternyata jadi bumerang buat Joko, bos kelompok bisnis Mulia merangkap Direktur PT Era Giat Prima (EGP), yang menerima Rp 546 miliar hasil kontrak cessie dengan Bank Bali. Memang, hakim boleh mencoba ''membebaskan" Joko, tapi kejaksaan punya pilihan lain. Akibatnya, Joko mengalami nasib nahas pada Jumat sore, 14 Januari 2000. Kuasa hukum Joko, Y.B. Purwaning M. Yanuar, mengatakan, pada sore itu sebenarnya Joko baru selesai menjalani operasi gigi di Plaza Senayan, Jakarta. Waktu itu, seorang petugas Kejaksaan Agung berkali-kali menghubungi Joko di rumahnya, di Simpruk Golf. Melalui telepon genggam, Joko lalu mengontak petugas tersebut, yang meminta Joko segera datang ke Kejaksaan Agung. Purwaning menyarankan agar Joko tak memenuhi panggilan itu dengan alasan, selain sudah sore, juga tak ada surat panggilan resmi. Lagi pula, hari Jumat dikenal sebagai hari kebiasaan jaksa menahan pesakitan. Tapi Joko datang juga, ditemani Purwaning. Kepada Joko, petugas menyatakan bahwa ia akan diperiksa sebagai saksi dalam perkara tersangka kasus Bank Bali lainnya, yaitu Pande Lubis, mantan Wakil Ketua Badan Penyehataan Perbankan Nasional (BPPN). Joko minta agar pemeriksaan dilakukan Senin mendatang karena ia sakit gigi—seraya menunjukkan pil Ponstan penawar rasa sakit. Petugas tak peduli, malah bertanya ke mana saja Joko seharian, ditelepon berkali-kali, kok, tidak menanggapi. Entah kenapa, gelagapan Joko mejawab bahwa ia ke Bogor. Kontan saat itu juga, sang petugas memasukkan Joko ke sel tahanan. Dari sebelumnya cuma terkena penahanan kota, Joko langsung ''dijebloskan" ke dalam rumah tahanan negara. Rupanya, pihak Kejaksaan Agung beranggapan bahwa Joko mau melarikan diri. Sebab, sebagai tahanan kota, ia tak boleh keluar dari Jakarta tanpa izin petugas. Tuduhan itu dibantah Purwaning. Menurut dia, berdasarkan keterangan saksi dan bukti tertulis, Joko tidak ke Bogor, tapi menjalani operasi gigi di Plaza Senayan. Petugas kejaksaan menepis alibi itu. Inilah yang membuat kuasa hukum Joko mempraperadilankannya. Ternyata, pengadilan menyalahkan Kejaksaan Agung. Menurut hakim, penahanan Joko ke dalam rumah tahanan seharusnya disetujui oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Alasannya, jenis penahanan kota yang sebelumnya dikenakan terhadap Joko juga melalui penetapan pengadilan. Dua jam setelah putusan hakim itu dijatuhkan, Kejaksaan Agung begitu saja memindahkan Joko ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. ''Untuk mempermudah penyidikan perkaranya," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, Soehandojo. Rupanya, lembaga penuntut umum itu sudah pula melimpahkan berkas perkara Joko ke Kejaksaan Tinggi Jakarta selaku penyidik. Proses yang penuh kejutan ini semakin menunjukkan sikap inkonsistensi Kejaksaan Agung. Seharusnya, sejak awal pengusutan kasus Bank Bali, Kejaksaan Agung menahan para tersangka. Sebab, selain delik korupsi diancam hukuman di atas lima tahun penjara, perkara Bank Bali juga terhitung kejahatan kerah putih yang sarat dengan konspirasi politik. Namun, dalam kasus yang bikin heboh ini, hanya tersangka Joko dan Pande Lubis yang ditahan, sedangkan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto dan mantan direktur utama Bank Bali, Rudy Ramli, tak ditahan. Bahkan pencekalan bagi Setya, kabarnya, telah pula dicabut. Menurut Soehandojo, Setya tak ditahan karena wakil bendahara Golkar yang juga anggota DPR itu tak menyulitkan pemeriksaan. Adapun cekal terhadap Setya, kata Soehandojo, tak pernah dicabut oleh Kejaksaan Agung. Mungkin, ''Pencegahan yang diajukan Menteri Keuangan yang dicabut," ucapnya. Tak cuma itu sorotan miring terhadap pengusutan kasus Bank Bali. Sampai kini pun, tersangkanya baru empat orang tadi, ditambah Tanri Abeng—sekarang masih di luar negeri—serta Erman Munzir. Sementara itu, mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung A.A. Baramuli, Gubernur BI Syahril Sabirin, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto, dan pengusaha Marimutu Manimaren, tetap berstatus saksi. Untuk ''diskriminasi" itu, Soehandojo berkilah, ''Itu bergantung pada keterangan saksi dan tersangka, serta kepiawaian tim penyidik." Hp. S., Wenseslaus Manggut, dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus