Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Tur Musik yang Tidak Mengusik

Tur Mr. Big dua pekan terakhir membuka kembali tradisi tur kelompok musik dunia dalam industri hiburan Indonesia. Namun, aksi panggung grup rock itu tidak sebesar arti namanya.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK sulit mencari tempat untuk parkir di Bengkel Night Park, Sabtu silam. Padahal, kafe di kawasan niaga Sudirman, Jakarta Pusat, yang bisa menampung 8.000 pengunjung itu biasanya membeludak jika ada pergelaran musik atau pesta. Itulah yang terjadi ketika Mr. Big, sebuah grup musik rock asal Amerika, naik panggung di Bengkel Night Park, Sabtu dua pekan silam. Dengan hanya sekitar 3.000-an penonton, pentas Mr. Big, yang salah satu albumnya laku di atas satu juta keping itu, sepi-sepi saja. Bahkan, harga tiket yang "cuma" Rp 75.000—untuk ukuran Jakarta—tidak membuat publik Ibu Kota lebih tergerak menikmati aksi Mr. Big.

Pentas di Jakarta pekan lalu itu adalah seri pertama dari "The New Chapter"begitulah Mr. Big menyebut turnya ke Indonesia kali ini. Selain di Jakarta, kelompok yang baru saja merampungkan tur serupa di Korea itu akan main di Pekanbaru, Pontianak, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Dalam tur ini, Mr. Big sekaligus mempromosikan album baru mereka: Get Over It. Ini album mereka yang kelima setelah Mr. Big (1989), Lean into It (1991), Bump Ahead (1993), dan Hey Man (1996).

Grup musik rock ini tampil dengan komposisi Eric Martin (vokal), Billy Sheehan (bas), Pat Torpey (drum), dan Richie Kotzen (gitar). Lagu-lagu yang mereka bawakan, yang malam itu kebanyakan dari dua album terakhir, kurang akrab di kuping. Penonton nyaris tak ikut bernyanyi. Sambutan meriah baru muncul ketika Mr. Big melantunkan tembang-tembang hit mereka pada masa dulu, seperti To be With You, Wild World, dan Nothing but Love.

Sayang, mereka hanya tampil ala kadarnya. Jika tak ada Billy Sheehan, yang dahsyat permainan basnya—ia mampu "menyulap" bas menjadi seolah sebuah gitar—pentas Mr. Big pasti kian mirip hidangan dingin yang tawar. Eric Martin sering kedodoran memamerkan vokalnya. Beberapa kali ia gagal menjangkau nada-nada tinggi.

Lalu, apa yang terjadi dengan permainan Torpery dan Kotzen? Idem dito alias biasa-biasa saja. Ditambah jeleknya kualitas suara yang keluar dari perangkat pengeras suara—kendati ini tentu bukan "kesalahan" Mr. Big melainkan panitia pertunjukan—lengkaplah kekurangan penampilan grup band itu di Jakarta. Alhasil, konser musik yang dimotori PT Buena Produktama itu bubar ketika masih "sore", sebelum pukul 21.00 WIB.

Hal serupa terjadi pula di Surabaya. Suguhan Mr. Big di Hotel Shangri-La mengecewakan para penonton Surabaya—yang lama dikenal sebagai komunitas musik rock. Jadwal show molor 1 jam 30 menit dan peralatan musik lokal yang disiapkan panitia membuat Billy Sheehan dan kawan-kawannya tidak mampu bermain maksimal. Bahkan, Kotzen tampak sangat kedodoran dalam permainan gitarnya. Show ini amat berbeda dengan penampilan Mr. Big di Surabaya pada 1996. Kala itu, di Gelora 10 November, Billy Sheehan dan Paul Glbert dkk. mampu memberikan sebuah suguhan yang akan lama dikenang orang.

Leonardo Indra, seorang mahasiswa yang mengoleksi semua album Mr. Big, terperangah menyaksikan pertunjukan di Shangri-La Surabaya pada Rabu lalu itu. "Album dengan pertunjukan live Mr. Big sangat berbeda," ujarnya. Singkat kata, baru pada lagu kesepuluh mereka berhasil "memanaskan" penonton.

Mr. Big—ada band yang namanya serupa pada era 1970-an—didirikan oleh Billy Sheehan (basis), Paul Gilbert (gitaris), Pat Torpey (drummer), dan Eric Martin (vokal). Album pertama mereka, Mr. Big, yang diproduksi Atlantic Record, langsung laris manis begitu diluncurkan. Dua lagu andalan mereka saat itu adalah Big Love dan Addicted to that Rush.

Band rock yang dikenal dengan warna musik sweet metal ini sempat berkibar pada pertengahan 1980-an dan 1990-an. Band-band sejenis ketika itu adalah Poison dan Bon Jovi. Setelah era itu, warna musik semacam ini kian berkurang pamornya. Namun, Mr. Big sempat memetik popularitas, terutama selepas beredarnya album Lean into It dan Bump Ahead, yang laku hingga di atas satu juta keping.

Sejak 1996, personel Mr. Big sibuk bersolo karir. Dan tur kali ini adalah cermin kerinduan mereka kembali ke dunia musik rock. Khusus untuk Indonesia, Mr. Big boleh dibilang kelompok musik rock dunia pertama yang menggelar tur pada saat badai krisis ekonomi dan politik menghantam negeri ini, dua tahun belakangan ini.

Apa boleh buat. Penampilan mereka di Indonesia, sebuah negeri dengan penonton yang mudah terpikat oleh musik, ternyata masih jauh dari sukses. Persiapan panitia, yang agaknya amburadul, dan peralatan panggung yang seadanya membuat suguhan Mr. Big bukan saja tidak sesuai dengan namanya. Hingga akhir pertunjukan, Mr. Big gagal memancing jeritan histeris penonton. Sebuah pentas yang tidak mencerminkan kebesaran sebuah grup rock dunia.

Hermien Y. Kleden, Hendriko L. Wiremmer, Djalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus