Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEKAN setelah nama mereka diumumkan Presiden Joko Widodo, sembilan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar rapat maraton di lantai dua gedung Sekretariat Negara pada akhir Mei lalu. Dari beberapa kali rapat, mereka memutuskan menindaklanjuti salah satu informasi yang masuk mengenai isu adanya kelompok radikalisme di kantor komisi antikorupsi.
Panitia Seleksi lantas mengutus se-orang anggota stafnya memperdalam informasi itu ke KPK. Dalam kurun itu, KPK tengah menggelar acara diskusi dengan tema “Merajut Persaudaraan dalam Ikhtiar Ikhlas” pada 19 Juni lalu. Diskusi itu menghadirkan mantan musikus yang kini menjadi dai, Yuke Sumeru, dan bekas terpidana teroris yang kini menjadi pengelola Yayasan Lingkar Perdamaian, Ali Fauzi Manzi. Setelah melakukan pencarian data, anggota staf ini melapor kepada pemimpin Panitia Seleksi. “Kok, ada Taliban dan radikalisme di sana,” ujar anggota Panitia Seleksi, Diani Sadia Wati, pada Senin, 24 Juni lalu, menceritakan laporan anak buahnya.
Istilah taliban pertama kali dilontarkan secara terbuka oleh Ketua Indonesia Police Watch Neta S. Pane. Dalam siaran persnya, Neta mengomentari surat terbuka dari 50-an penyidik Kepolisian RI yang bertugas di KPK yang mempersoalkan pengangkatan 21 penyelidik menjadi penyidik independen di lembaga tersebut. Dalam suratnya, Neta menulis terdapat perpecahan di KPK menjadi dua kubu, yakni Polisi India dan Grup Taliban.
Polisi India merujuk pada penyidik KPK yang berasal dari institusi Polri. Sedangkan Grup Taliban merujuk pada penyidik Novel Baswedan yang disokong Wadah Pegawai KPK. Kelompok ini, disebut dalam surat itu, juga dianggap militan karena kerap mempersoalkan kebijakan pemimpin. Belakangan, terutama di media sosial, muncul pandangan yang mengaitkan Novel dengan kelompok Islam konservatif—hanya karena ia berjanggut tebal dan kerap bergamis.
Kepada Tempo, sejumlah pengacara yang kerap menangani perkara di KPK mengaku mendengar istilah Grup Taliban di KPK. Menurut dia, ini adalah kelompok yang kerap menangani kasus yang melibatkan nama besar, seperti Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). “Kalau kasusnya ditangani kelompok Taliban pasti menyangkut nama-nama besar. Tidak ada yang lolos,” kata salah satu pengacara yang kini menangani dugaan suap bekas bos salah satu badan usaha milik negara.
Berbekal informasi dari anggota stafnya tersebut, Panitia Seleksi menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Intelijen Negara untuk menelusuri rekam jejak para kandidat nanti. Panitia Seleksi berdalih tidak mau para kandidat yang terpilih terpapar paham radi-kalisme sehingga bisa memperparah kondisi di KPK. “Kami ingin preventif. KPK kan lembaga superbodi, kami minta tolong ke BNPT dan Polri,” tutur Diani.
Sejumlah penegak hukum di KPK mendapat informasi bahwa isu radikalisme merupakan cara Panitia Seleksi menjegal Novel Baswedan, yang namanya santer disebut akan disorongkan sejumlah lembaga pegiat antikorupsi. Menurut dia, baru dalam seleksi kali ini ada syarat anti-paham radikalisme untuk menjadi pemimpin KPK. Informasi lain, kata dia, ini upaya menguatkan dalil pentingnya polisi menjadi komisioner KPK. “Karena polisi yang dianggap paling bisa memerangi radikalisme,” ucap seorang penegak hukum di KPK.
Novel sendiri mengaku ditawari maju sebagai calon pemimpin KPK oleh sejumlah pegiat antikorupsi. Dia mengatakan belum memutuskan menerima atau menolak tawaran tersebut. Ditanyai soal adanya syarat anti-paham radikalisme, dia hanya tersenyum. “Kalau tidak ada tokoh antikorupsi yang maju, mungkin akan saya pertimbangkan,” katanya.
Diani memastikan pelibatan BNPT dan BIN bukan untuk menyasar Novel Baswedan dan persoalan celana cingkrang. “Kami netral. Semua informasi kami terima. Kami mendengarkan semua, lalu diskusi. Muncullah soal Taliban dan radikalisme itu,” ujar anggota staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional bidang kelembagaan tersebut.
Anggota Panitia Seleksi lainnya, Al Araf, mengatakan pelibatan BNPT dalam menjaring kandidat calon pemimpin lembaga antikorupsi muncul saat pertemuan kedua dalam rapat internal mereka. Berbeda dengan Diani, Al Araf menyatakan tak ada kaitannya dengan kondisi KPK yang sekarang soal penggandengan BNPT ini. “Ini dari hasil diskusi kami saja. Sama halnya ketika kami melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk -penelusuran rekam jejak,” ucap Direktur Imparsial itu.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang meminta Panitia Seleksi tak berlebihan menilai keberadaan orang-orang yang berjenggot dan kerap menggunakan celana cingkrang di KPK. Menurut Saut, mereka tak lantas bisa diidentikkan dengan radikalisme. “Karena ada orang berjenggot dan celana cingkrang lalu dianggap radikal, ini kan lucu,” ujarnya.
Taliban dalam Seleksi Pemimpin KPK/TEMPO/Imam Sukamto
Saut meminta tidak ada pihak yang menggunakan analisis-analisis keliru tentang keberadaan mereka di KPK. Menurut dia, tindakan mereka menggelar diskusi dengan Yuke Sumeru dan Ali Fauzi Manzi justru untuk memperkaya paham anti-radikalisme. “Beberapa dari mereka merasa enggak enak juga. ‘Apa kita sudah sampai begitu, Pak Saut?’ Saya bilang, ‘Tidak, dengarkan saja,’” kata Saut.
Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, ikut mengatakan bahwa isu Polisi India dan Grup Taliban hanyalah persepsi dari orang-orang tertentu yang ingin memecah belah KPK. “Tidak ada masalah di KPK. Yang jadi masalah ketika ada persepsi yang muncul yang menyatakan ada Grup Taliban dan Polisi India,” tutur Antasari saat diskusi bersama aktivis media sosial Denny Siregar di Jalan H O.S. Cokroaminoto, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Juni lalu.
Antasari menilai Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang turut melibatkan BNPT dalam penjaringan petinggi lembaga antirasuah hanya terpantik persepsi. “Karena mereka kena persepsi tadi,” ujarnya.
Antasari menyatakan Novel Baswedan, yang dipersepsikan sebagai bagian dari Grup Taliban, adalah penyidik yang selama ini menangani kasus-kasus besar. “Pada dasarnya kalau kami gelar perkara kayak guru dan murid. Karena dulu saya selalu ingin tahu kenapa begini, kenapa begitu,” ucap Antasari menceritakan pengalaman dengan Novel.
Saat berkunjung ke Gedung Merah Putih di Jalan Kuningan Persada 4, Jakarta pada 12 Juni lalu, anggota Panitia Seleksi juga menyinggung Grup Taliban sebagai pihak yang kerap berseberangan dengan kebijakan pemimpin. Mereka datang ke kantor KPK untuk berdiskusi dengan pemimpin KPK mengenai persoalan-persoalan yang tengah dihadapi lembaga antirasuah tersebut. Panitia Seleksi juga meminta pemimpin KPK menata perilaku para pegawai seperti ini. “Dengan kejadian seperti ini, KPK membutuhkan pimpinan yang berwibawa,” ujar Diani.
Saut menyayangkan anggapan bahwa protes pegawai KPK terhadap beberapa kebijakan pemimpin itu merupakan bentuk perlawanan. Menurut dia, di KPK sudah tertanam sistem pengawasan dan keseimbangan. Siapa pun pegawai KPK, termasuk pemimpin, tak bisa kebal dari sistem tersebut. “Justru ini sebagai bentuk kami untuk saling mengingatkan. Sistem checks and balances ini justru harus dijaga terus,” kata mantan anggota staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara itu.
LINDA TRIANITA, ANTON APRIANTO, MUSTAFA SILALAHI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo