Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Koalisi tanpa Dosa Orang Tua

Partai pendukung Prabowo-Sandiaga bersiap menyeberang. Disambut setengah hati.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo menerima Agus Harimurti Yudhoyono dan istrinya, Annisa Pohan, di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Juni 2019./ ANTARA/Puspa Perwitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANCANG-ancang berpindah haluan disampaikan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan sembilan hari sebelum Mahkamah Konstitusi mengumumkan hasil gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Dalam rapat yang digelar di Media Center PAN, Jalan Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 18 Juni lalu, Zulkifli menyampaikan tiga pilihan.

“Pertama, bertahan menjadi oposisi. Kedua, menjadi partai penyeimbang,” ujar Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menceritakan pertemuan itu kepada Tempo, Selasa, 25 Juni lalu. Sedangkan opsi ketiga bergabung dengan koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Sebagian pengurus, kata Eddy, memilih tetap menjadi oposisi. Ada pula yang ingin PAN mendukung pemerintah. “Tidak ada yang ingin PAN menjadi penyeimbang.” Dua pengurus yang mengetahui jalannya rapat mengatakan Zulkifli memberikan pertimbangan bahwa PAN tak akan mendapat keuntungan apa pun jika tetap berada di koalisi Indonesia Adil Makmur, nama aliansi pendukung Prabowo-Sandi.

Eddy menyebutkan partainya akan menggelar rapat kerja nasional pada akhir Juli untuk mengambil keputusan. Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan optimistis partainya bisa bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf. “Ketua umum kami selalu menjaga hubungan baik dengan Jokowi dan ketua umum partai pendukungnya,” ujar Bara.

Setelah pemilihan 17 April lalu, Zulkifli Hasan beberapa kali bertemu dengan Jokowi. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu berbincang dengan Jokowi seusai pelantikan Gubernur-Wakil Gubernur Maluku, Murad Ismail-Barnabas Orno, di Istana Negara sepekan setelah pencoblosan. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Indonesia Ahmad Rofiq mengatakan Jokowi sempat menyinggung pembicaraan dengan Zulkifli dalam pertemuan dengan petinggi partai koalisi pada 28 April lalu. “Pak Jokowi bilang bahwa Pak Zulkifli meminta PAN tidak ditinggalkan.”

Saat unjuk rasa 22 Mei berlangsung di depan gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum, Jokowi menyambut Zulkifli di Istana Bogor. Hari itu, Jokowi juga bertemu dengan Agus Harimurti Yudhoyono, putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Seusai pertemuan, Agus hanya mengaku diminta menjadi jembatan komunikasi dengan ayahnya. Sedangkan Zulkifli menyatakan kunjungan itu terkait dengan posisinya sebagai Ketua MPR.

Dua politikus yang mengetahui pertemuan tersebut mengatakan, selain bertujuan mendinginkan situasi Jakarta, perjumpaan itu membicarakan kemungkinan koalisi. Rencananya, PAN dan Demokrat mendapat setidaknya satu posisi menteri.

Zulkifli, ketika ditemui setelah berkunjung ke rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Juni lalu, mengatakan belum ada tawaran menteri dari Jokowi. Dia juga belum bisa memastikan sikap PAN untuk berkoalisi. Sedangkan Ketua Demokrat Jansen Sitindaon mengatakan partainya memilih pasif soal kemungkinan bergabung dengan pemerintah. “Kalau Pak Jokowi butuh Demokrat untuk memperkuat pemerintahan, ya, syukur,” ujarnya.

Partai Gerakan Indonesia Raya juga berpeluang bergabung dengan koalisi partai pemerintah. Anggota Badan Komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan partainya ditawari sejumlah posisi menteri atau pejabat setingkat menteri.

Jika tiga partai itu memutuskan bergabung dengan Koalisi Indonesia Kerja—sebutan untuk partai-partai pendukung Jokowi-Ma’ruf—praktis tinggal Partai Keadilan Sejahtera yang menjadi oposisi. Ketua PKS Mardani Ali Sera mengatakan pimpinan partainya telah menemui Prabowo untuk mencegah Gerindra banting setir. “PKS berharap koalisi Prabowo-Sandi bisa terus berjalan,” ujarnya, Senin, 24 Juni lalu. Empat hari kemudian, atau sehari setelah Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan Prabowo-Sandi, koalisi Indonesia Adil Makmur bubar.

Kemungkinan hijrahnya PAN, Demokrat, dan Gerindra tak disambut hangat partai pengusung Jokowi-Ma’ruf. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan lima partai koalisi sudah cukup untuk mengamankan kebijakan pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat. Bersama PDIP, empat partai koalisi, yaitu Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, NasDem, dan Partai Persatuan Pembangunan, menguasai sekitar 60 persen dari 575 kursi parlemen. “Dengan jumlah kursi itu, pemerintahan bisa efektif,” ujar Hasto.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar juga menilai koalisi 01—nomor urut Jokowi-Ma’ruf—sudah ideal dan tak perlu ditambah lagi. “Kalau alasannya rekonsiliasi, monggo,” ucapnya.

Sejumlah petinggi partai pendukung Jokowi-Ma’ruf yang ditemui Tempo mengatakan salah satu alasan penolakan itu terkait dengan pembagian kursi menteri. Apalagi, sampai saat ini, belum ada kejelasan soal posisi menteri yang akan diberikan Jokowi kepada partai pendukungnya pada periode kedua pemerintahannya. Dengan jumlah menteri yang terbatas, bisa saja bergabungnya tiga partai itu mengurangi jatah mereka. Saat ini, ada 34 menteri Kabinet Kerja, dengan pembagian hampir sama antara kader partai dan profesional.

Hasto Kristiyanto mengatakan pembicaraan tentang pembagian menteri masih terlalu dini. Tapi dia membenarkan soal keterbatasan posisi. “Banyak yang berminat jadi menteri, tapi kursinya terbatas,” ujar Hasto. Sedangkan anggota Dewan Syura PKB, Maman Imanulhaq, mengatakan Jokowi belum pernah membicarakan pembagian jumlah menteri dengan partai pengusungnya. Maman mengatakan partainya berharap bisa mendapat posisi menteri dua kali lipat dibanding sebelumnya. Saat ini, PKB beroleh empat kursi menteri.

Sekretaris Jenderal Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengklaim partainya berhak mendapat lebih banyak kursi menteri. Setelah bergabung dengan koalisi Jokowi-Jusuf Kalla pada akhir 2015, Golkar mendapat dua posisi menteri, yakni Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita. “Sekarang berbeda, kami mendukung Jokowi sejak awal,” ujar Lodewijk.

Penerimaan anggota baru koalisi berpotensi terganjal oleh restu para ketua umum. Terutama terhadap Demokrat. Dua petinggi PDI Perjuangan mengatakan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri belum tentu mau menerima kehadiran partai tersebut. Hubungan Megawati dan Yudhoyono memang tak mulus sejak 2004. Kala itu, Yudhoyono mundur dari posisi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, lalu bersaing dengan Megawati dalam pemilu presiden.

Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto mengatakan Megawati tak menyimpan dendam. Dia mencontohkan, bosnya itu menolak memecat Vanda Sarundajang—anggota DPR dari partai banteng, putri Sinyo Harry Sarundajang—meski ayahnya maju kembali dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Utara tanpa mengantongi restu PDIP. “Ibu Mega mengatakan bahwa anak tidak boleh menanggung dosa orang tuanya.”

Akhir Laga

PRAMONO, BUDIARTI UTAMI PUTRI, DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI DONGORAN, IRSYAN HASYIM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Teguh Edi Pramono

Stefanus Teguh Edi Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus