Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tanah, ruwet dan panjang

Sengketa tanah di kalibata, jakarta, sepatu bata menjual sebagian tanahnya kepada jaya realty, setelah itu banyak yang mengaku sebagai ahli waris kapitan djamin dan mengadu ke dpr.(hk)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG bukan zamannya lagi pemerintah memaksa rakyat menyerahkan tanah miliknya kepada pengusaha-pengusaha real estate tanpa memikirkan tempat pemukiman yang memenuhi syarat bagi penduduk yang bersangkutan," kata Dirjen Agraria Daryono. Adalah tugas para gubernur, kata Daryono di hadapan rapat kerja gubernur di Jakarta minggu lalu, memperketat izin penggunaan tanah. Yang namanya pengusaha, tambahnya pula, mana memikirkan aspek pertanahan segalan -- selain cari untung? Soal tanah, barangkali urusan yang paling memusingkan para gubernur. Sebab, sebidang tanah bisa mempunyai riwayat sangat panjang, serta berbelit-belit. Penguasaannya sering berpindah tangan, sementara sengketa meliputi para ahli waris -- di antara peraturan yang berubah-ubah. Karena itu Dirjen Daryono, menjanjikan pada 1981 s.d. 1982 ini akan dipersiapkan rancangan peraturan baru. Mulai dari tata guna tanah, pembatasan pemilikan, HGU dan HGB, ganti rugi landreform, sampai ke soal tanah pekuburan. Peraturan itu bakal lebih menertibkan atau hanya akan menambah ruwet sejarah pertanahan -- memang masih dipertanyakan. Sebab contoh keruwetan dapat ditampilkan, misalnya pada sebuah kasus sengketa tanah di Kalibata (Jakarta Selatan) -- yang tampaknya tak sederhana penyelesaiannya. Wak Musa, 92 tahun, bersama 2 orang lainnya minggu terakhir bulan lalu tertatih-tatih dengan tongkatnya mendatangi gedung DPR-RI. Mereka diterima Suradiman dan Sihong Dulien, dari fraksi Karya Pembangunan. Keluhan mereka Pabrik Sepatu Bata telah menjual tanah mereka -- yang selama ini memang telah dikuasai perusahaan bermodal Kanada tersebut -- kepada PT Jaya Realty. Tanah sekitar 39 hektar di seberang Taman Makam Pahlawan tersebut, kata mereka, adalah bagian dari tanah yang mereka warisi dari Kapitan Djamin alias Jamin. Tjio Kim Tee Nio Jangan tanya bukti-bukti pemilikan kepada mereka -- misalnya surat-surat tanah. "Waktu itu zaman perang, jadi semuanya kocar-kacir," kata Asman bin Gojot, 63 tahun, yang datang bersama Wak Musa. Yang diketahuinya, cuma, Bata telah menyewa tanah dari orang tuanya sekitar 1939. Pernah, sekitar 1940-an, Wak Musa, Asman dan yang lain menuntut sesuatu dari Pemerintah Hindia Belanda. Tapi, katanya, tuntutan tak berkelanjutan setelah pokrol mereka seorang wanita, menghilang setelah memiliki mobil baru. Kini mereka menguasakan pada Rizpa Nasution. Bata tak mudah dituntut. Perusahaan ini merasa telah memiliki tanahnya, yang disebut eigendom verponding No. 8361, sejak 1938. Yaitu tanah bekas milik Tjio Kim Tee Nio yang dijual kepada Bata sesuai dengan keputusan Hakim Komisaris dari Pengadilan Batavia. Setelah melalui berbagai prosedur, begitu menurut penasihat hukum Bata yang tak mau disebut namanya, perusahaan tersebut akhirnya (1963) memiliki hak guna bangunan (HGB) sementara bagi sekitar 62 hektar tanahnya sampai tahun 1983 (lihat box). Belakangan Bata merasa tak perlu menguasai tanah sekian luas. Di samping tak dapat mengusahakannya, menurut penasihat hukumnya, Bata juga merasa perlu melepaskan sebagian tanah itu dalam rangka hendak menjual sahamnya kepada umum. Jaya Realty, anak perusahaan PT Pembangunan Jaya (sebagian sahamnya milik Pemda DKI Jakarta), tampil sebagai pembelinya. Jaya Realty membelinya Rp 2,1 milyar untuk 39 hektar setelah mendapat persetujuan Gubernur DKI Jakarta untuk membangun perumahan. Sebagian, sekitar 10 hektar, masih ditempati rumah penduduk, kompleks tentara, masjid dan pemakaman. Sebagian lagi berupa kebun karet dan rawa-rawa. Merasa telah membeli dari pemilik yang benar, seperti kata Direktur Eksekutif Jaya Realty E. FH Samola, perusahaan real estate tersebut merasa berhak pula melakukan pemagaran. Meskipun pencantuman nomor surat persetujuan Gubernur DKI Jakarta sebagai SK (seolah-olah sudah ada surat keputusan penunjukan) pada papan yang dipancangkan Jaya Realty, banyak disesalkan. Cukup menimbulkan keramaian. Tapi keramaian berikutnya bersasaran lain. Mula-mula muncul kelompok ahli waris yang diwakili Rizpa Nasution untuk menuntut ganti rugi atas tanah mereka yang telah dijual Bata. Lalu muncul kelompok Abas bin Usman, yang diwakili Suwardi, mengaku pewaris kesekian Kapitan Djamin dari keturunan Rahimnio. Dan menyusul pula kelompok Rodjali sebagai ahli waris Tan Tjong Kit Jang disebutnya sebagai nama lain dari Kapitan Djamin. Kelompok ini menguasakan urusan tanah Kalibata tersebut kepada Naserin yang kemudian menguasakannya pula kepada Tony Sihombing. Siapa pemilik tanah tersebut -- yang masih merupakan daerah hijau di Jakarta itu -- dan siapa Kapitan Djamin dan yang berhak mengaku ahli warisnya, merupakan dua hal yang berbeda. Namun kedua-duanya -- barangkali pemeriksaan di pengadilan yang dapat menjawab -- merupakan sebuah dari bermacam-macam riwayat tanah yang panjang dan ruwet. Sebab bila toh selesai juga, pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris akan mengajukan urusan ini ke pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus