SEKARANG bukan zamannya lagi pemerintah memaksa rakyat
menyerahkan tanah miliknya kepada pengusaha-pengusaha real
estate tanpa memikirkan tempat pemukiman yang memenuhi syarat
bagi penduduk yang bersangkutan," kata Dirjen Agraria Daryono.
Adalah tugas para gubernur, kata Daryono di hadapan rapat kerja
gubernur di Jakarta minggu lalu, memperketat izin penggunaan
tanah. Yang namanya pengusaha, tambahnya pula, mana memikirkan
aspek pertanahan segalan -- selain cari untung?
Soal tanah, barangkali urusan yang paling memusingkan para
gubernur. Sebab, sebidang tanah bisa mempunyai riwayat sangat
panjang, serta berbelit-belit. Penguasaannya sering berpindah
tangan, sementara sengketa meliputi para ahli waris -- di antara
peraturan yang berubah-ubah.
Karena itu Dirjen Daryono, menjanjikan pada 1981 s.d. 1982 ini
akan dipersiapkan rancangan peraturan baru. Mulai dari tata guna
tanah, pembatasan pemilikan, HGU dan HGB, ganti rugi landreform,
sampai ke soal tanah pekuburan.
Peraturan itu bakal lebih menertibkan atau hanya akan menambah
ruwet sejarah pertanahan -- memang masih dipertanyakan. Sebab
contoh keruwetan dapat ditampilkan, misalnya pada sebuah kasus
sengketa tanah di Kalibata (Jakarta Selatan) -- yang tampaknya
tak sederhana penyelesaiannya.
Wak Musa, 92 tahun, bersama 2 orang lainnya minggu terakhir
bulan lalu tertatih-tatih dengan tongkatnya mendatangi gedung
DPR-RI. Mereka diterima Suradiman dan Sihong Dulien, dari
fraksi Karya Pembangunan. Keluhan mereka Pabrik Sepatu Bata
telah menjual tanah mereka -- yang selama ini memang telah
dikuasai perusahaan bermodal Kanada tersebut -- kepada PT Jaya
Realty. Tanah sekitar 39 hektar di seberang Taman Makam Pahlawan
tersebut, kata mereka, adalah bagian dari tanah yang mereka
warisi dari Kapitan Djamin alias Jamin.
Tjio Kim Tee Nio
Jangan tanya bukti-bukti pemilikan kepada mereka -- misalnya
surat-surat tanah. "Waktu itu zaman perang, jadi semuanya
kocar-kacir," kata Asman bin Gojot, 63 tahun, yang datang
bersama Wak Musa. Yang diketahuinya, cuma, Bata telah menyewa
tanah dari orang tuanya sekitar 1939. Pernah, sekitar 1940-an,
Wak Musa, Asman dan yang lain menuntut sesuatu dari Pemerintah
Hindia Belanda. Tapi, katanya, tuntutan tak berkelanjutan
setelah pokrol mereka seorang wanita, menghilang setelah
memiliki mobil baru. Kini mereka menguasakan pada Rizpa
Nasution.
Bata tak mudah dituntut. Perusahaan ini merasa telah memiliki
tanahnya, yang disebut eigendom verponding No. 8361, sejak
1938. Yaitu tanah bekas milik Tjio Kim Tee Nio yang dijual
kepada Bata sesuai dengan keputusan Hakim Komisaris dari
Pengadilan Batavia. Setelah melalui berbagai prosedur, begitu
menurut penasihat hukum Bata yang tak mau disebut namanya,
perusahaan tersebut akhirnya (1963) memiliki hak guna bangunan
(HGB) sementara bagi sekitar 62 hektar tanahnya sampai tahun
1983 (lihat box).
Belakangan Bata merasa tak perlu menguasai tanah sekian luas. Di
samping tak dapat mengusahakannya, menurut penasihat hukumnya,
Bata juga merasa perlu melepaskan sebagian tanah itu dalam
rangka hendak menjual sahamnya kepada umum. Jaya Realty, anak
perusahaan PT Pembangunan Jaya (sebagian sahamnya milik Pemda
DKI Jakarta), tampil sebagai pembelinya.
Jaya Realty membelinya Rp 2,1 milyar untuk 39 hektar setelah
mendapat persetujuan Gubernur DKI Jakarta untuk membangun
perumahan. Sebagian, sekitar 10 hektar, masih ditempati rumah
penduduk, kompleks tentara, masjid dan pemakaman. Sebagian lagi
berupa kebun karet dan rawa-rawa.
Merasa telah membeli dari pemilik yang benar, seperti kata
Direktur Eksekutif Jaya Realty E. FH Samola, perusahaan real
estate tersebut merasa berhak pula melakukan pemagaran.
Meskipun pencantuman nomor surat persetujuan Gubernur DKI
Jakarta sebagai SK (seolah-olah sudah ada surat keputusan
penunjukan) pada papan yang dipancangkan Jaya Realty, banyak
disesalkan. Cukup menimbulkan keramaian. Tapi keramaian
berikutnya bersasaran lain.
Mula-mula muncul kelompok ahli waris yang diwakili Rizpa
Nasution untuk menuntut ganti rugi atas tanah mereka yang telah
dijual Bata. Lalu muncul kelompok Abas bin Usman, yang diwakili
Suwardi, mengaku pewaris kesekian Kapitan Djamin dari keturunan
Rahimnio. Dan menyusul pula kelompok Rodjali sebagai ahli waris
Tan Tjong Kit Jang disebutnya sebagai nama lain dari Kapitan
Djamin. Kelompok ini menguasakan urusan tanah Kalibata tersebut
kepada Naserin yang kemudian menguasakannya pula kepada Tony
Sihombing.
Siapa pemilik tanah tersebut -- yang masih merupakan daerah
hijau di Jakarta itu -- dan siapa Kapitan Djamin dan yang berhak
mengaku ahli warisnya, merupakan dua hal yang berbeda. Namun
kedua-duanya -- barangkali pemeriksaan di pengadilan yang dapat
menjawab -- merupakan sebuah dari bermacam-macam riwayat tanah
yang panjang dan ruwet. Sebab bila toh selesai juga, pihak-pihak
yang mengaku sebagai ahli waris akan mengajukan urusan ini ke
pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini