TAK biasanya Pengadilan Negeri Solo semarak oleh artis cantik. Selasa pekan lalu, artisartis kota itu berkerumun di pengadilan ingin menyaksikan sidang gugatan kawan mereka, penyanyi Betty Bariati, terhadap bekas teman intimnya, seorang pria Italia, Di Pinto Giuseppe. Betty menggugat Giuseppe karena ingkar mengawininya padahal hubungan mereka sudah membuahkan seorang bayi perempuan. Melalui pengacara Edy Cahyono, Betty menuntut agar Tata, panggilan bayi itu, dianggap sah sebagai anaknya dan Giuseppe diharuskan membayar Rp 256,24 juta sebagai jaminan kehidupan anaknya dan kerugian moril akibat ingkar mengawininya. Kisah yang bergulir mirip cerita novel itu bermula dari pandangan mata di Pub Holand, Solo, akhir 1988. Betty, penyanyi manis bersuara merdu di pub itu, kerap diminta Giuseppe, warga Italia yang baru saja menetap di kota itu, menyanyikan lagu pilihannya. Pandangan mata itu berlanjut ke asmara. "Terus terang, saya mencintainya. Saya suka sorot matanya. Wah, pokoknya saya dibikin tak berdaya," kata Betty, 24 tahun, tentang Giuseppe, buyer agent pabrik garmen di Italia, Gruppo Manifatture Tessili (GMT). Setelah pacaran, pada 1989 Betty ditawari Giuseppe hidup bersama dengan janji dikawini. "Saya menyerahkan hidup saya secara total padanya," kata putri bekas anggota DPRD itu. Mereka pun hidup serumah. Tapi, sampai ia hamil, janji kawin itu tak kunjung dikabulkan. Saat hamil enam bulan, cerita Betty, ia dibujuk untuk melahirkan di Italia. Di sanalah, janji Giuseppe, ia akan dinikahi. Ia pun berangkat ke Italia. Namun, sampai bayi lahir pada 29 Maret 1991, janji kawin tetap nihil. Padahal, alumnus Institut Manajemen dan Sekretaris itu sudah menandatangani sejumlah dokumen. Belakangan ia tahu, dengan tanda tangan itu Giuseppe mengurus akta kelahiran dan mencatatkan nama anaknya di catatan sipil Italia. Otomatis, bayinya menjadi warga negara Italia. Keretakan baru muncul ketika mereka dengan bayi itu kembali ke Solo. Betty menuduh pacarnya cemburuan dan menghalanginya terlalu dekat dengan Tata, yang selalu diasuh baby sitter. Ketika itu pula, katanya, ia tahu pacarnya sudah beristri. Tanggal 21 Januari 1992, menurut Betty, ia dipaksa Giuseppe membuat surat perjanjian. Isinya, ia bersedia menyerahkan anaknya kepada kakak Giuseppe untuk dirawat dan dididik di Italia. Betty hanya akan menengok anaknya dua kali setahun. Imbalannya, Giuseppe akan membelikan rumah seharga Rp 20 juta dan menggajinya Rp 200.000 sebulan. Perjanjian itu ditandatangani kedua pihak dan lima saksi di atas kertas bersegel. Namun, ketika bayi itu benar-benar hendak dibawa ayahnya ke Italia, Betty tak tahan. Saat Giuseppe mengurus paspor dan tiket di Jakarta, pada 29 Januari 1992, Betty membawa kabur anaknya ke rumah orangtuanya. Ia pun menggugat ke pengadilan. Sedang Giuseppe melapor kehilangan istri dan anaknya ke polisi. Semua cerita Betty itu dibantah Giuseppe. "Cerita itu tidak benar," katanya kepada TEMPO di Jakarta. Ia mengaku terpukul sekali sejak Betty membawa pergi anaknya. "Mungkin Anda tak percaya, saya menangis hampir setiap malam," ujar Giuseppe. "Saya tak punya apa-apa lagi. Harta saya adalah anak saya," katanya dengan wajah kuyu. Laki-laki bertubuh tegap itu mengaku sangat mencintai Betty. Ia sampai hidup bersama, katanya, justru karena keinginan Betty. Ketika itu, katanya, Betty sudah tahu ia punya istri. "Sejak kenal, Betty tahu saya sudah beristri," ujar Giuseppe seraya memperlihatkan surat-surat Betty yang mengirim salam buat istri Giuseppe ketika ia sedang di Italia. Hanya saja, janji kawinnya masih tertunda karena ia masih memproses perceraian dengan istrinya itu. Giuseppe juga membantah membujuk Betty melahirkan di Italia sehingga anaknya menjadi warga negara sana. Sebelum berangkat ke Italia pun, katanya, ia sudah mengingatkan bahwa jika anak itu lahir di sana, otomatis akan menjadi warga negara Italia. Betty tak keberatan. Percekcokan terjadi, menurut Giuseppe, karena kesibukan Betty menyanyi. Wanita itu kerap alpa memberi anaknya susu. Pernah Tata sakit, Betty lupa pula membeli obat, sehingga bobot Tata melorot satu kilo dalam tiga hari. "Saya bilang, kalau kamu tak mengurusi saya atau dirimu, tak apa, tapi bagaimana bisa kamu menelantarkan anakmu sendiri." Ia mengaku melarang Betty menyanyi karena tak ingin anaknya kelak tahu pekerjaan ibunya. Sebagai gantinya, Giuseppe memberi Betty Rp 400.000 sesuai dengan honor menyanyinya. Tetapi Betty sangat keras, tak mau dilarang, sehingga muncul percekcokan. Belakangan, Betty membuat surat perjanjian tadi. "Perjanjian itu dibuat Betty. Bukan saya," kata Giuseppe. Siapa yang berhak atas anak itu? Menurut ahli hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Surastri Isminingsih, status anak di luar perkawinan, baik tempat tinggal maupun kebangsaannya, mengikuti ibunya. Namun, dengan perjanjian yang disepakati bersama tadi, "Betty kehilangan haknya. Perjanjian itu mempersulit Betty sendiri. Jalannya sudah buntu," kata Surastri. Di Pinto Giuseppe sendiri masih berharap Betty dan anaknya kembali kepadanya. Apalagi, katanya, bekas istrinya kini sudah meninggal dunia. Jika Betty menolak, ia akan mengajukan permohonan agar pemerintah Indonesia mengizinkan anaknya ikut bersamanya. "Saya akan menyediakan tiket open, jika Betty ingin kembali kepada saya kapan saja," kata Giuseppe. Sri Pudyastuti R. (Jakarta) dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini