CINTA tanah air bisa membingungkan. Di musim panas 1798, sebuah koran Amerika, The Gazette of the United States, menulis: "Patriotisme berarti menulis mendukung pemerintah pendurhakaan berarti menulis menentangnya". Kalimat sengit itu tercetak jelas di surat kabar suara kaum Federalis yang berkuasa. Semangatnya kemudian dikukuhkan oleh "Undang-undang Orang Asing & Pendurhakaan". Dan hari itu, di negeri Thomas Jefferson, Amerika bukan lagi sebuah wadah kebebasan. Seluruh republik muda itu memang seperti dalam demam yang mengigau. Kecurigaan kepada orang asing naik bersama suhu tinggi nasionalisme. Negeri yang baru merdeka dari penjajahan itu sedang mengukuhkan diri di tengah dunia yang tegang. Di bawah John Adams, presiden kedua yang menggantikan George Washington, Amerika masih harus hidup di antara pergulatan Inggris dan Prancis dalam perang yang panjang. Semula, rakyat tak merasa ingin terlibat dalam urusan Eropa yang 3.000 mil di seberang Atlantik. Pemerintah mereka yang dipimpin kaum Federalis juga melihat bahwa perang cuma akan menguras uang Republik. Utusan pun dikirim ke London, dan sebuah kesepakatan tercapai untuk membiarkan kapal Amerika negeri yang netral jadi pengangkut barang. Tapi, di tengah suasana netral yang enak itu, para anggota himpunan RepublikenDemokratik (cikal bakal Partai Republik), lebih bersimpati kepada Prancis. Negeri ini baru membebaskan diri melalui sebuah revolusi besar, yang antara lain diilhami Revolusi Amerika dan kaum Republiken melihat Prancis sebagai kawan sepaham. Tapi sial bagi mereka: perkembangan mendorong orang Amerika ke arah yang lain. Prancis sedang menang. Dalam posisi itu, ia bukan saja bisa bersikap congkak kepada negeri baru yang dianggapnya lebih condong ke Inggris itu. Juga bajak laut Prancis menggerogoti perdagangan Amerika. Ketika Presiden Adams mengirim utusan untuk berunding, Talleyrand, menteri luar negeri Prancis, mengajukan syarat: ia minta $ 250.000 sebelum perundingan bisa berlangsung. Seluruh Amerika pun marah. Seorang penulis sejarah menulis, bahwa peristiwa itu membangkitkan sikap antiasing di Amerika yang intensitasnya "tak tertandingi sampai dengan histeria antiBolsyewik yang berkecamuk di tahun 1920an." Kecurigaan bangkit di tiap sudut. Desasdesus santer, bahwa Prancis akan menyerbu Amerika. Bahkan bekas presiden yang biasanya bijaksana itu, George Washington, percaya bahwa sepasukan kecil tentara Prancis telah mendarat, dan mereka akan dibantu oleh "kaum Jakobin" Amerika untuk menumbangkan pemerintahan. Dan siapa kaum "Jakobin" itu? Tentu saja kaum Republiken yang proPrancis, yang oleh Washington disebut (dalam percakapan tertutup) sebagai "kutuk buat negeri ini". Tak mengherankan bila The Gazette di musim panas 1798 itu menuliskan semboyan yang kemudian diulangi oleh kaum fanatik di mana saja bahwa "siapa yang tidak menyetujui kita berarti melawan kita". Bersikap tak memihak itu haram. Menulis sesuatu yang menentang pemerintah berarti "pendurhakaan". Begitu gampangan dan begitu menakutkan: bila patriotisme berarti mendukung pemerintah yang berkuasa, "pemerintah" pun harus dianggap sama harkatnya dengan "tanah air". Negara berarti sama dengan negeri. Pejabat berarti sama dengan Republik. Sikap antiasing dan api nasionalisme dengan segera mengobarkan wasangka kepada orang sebangsa sendiri. Psikologi "keadaandarurat" mendorong agar lawan politik ditiadakan. Tapi ternyata "ancaman Prancis" itu cuma sederet petai hampa. Hanya Jefferson, di tengah igauan demam panas itu, yang menyadari buruknya suasana yang disebutnya sebagai the reign of witches (berkuasanya para dukun santet) itu. Ia memang seorang Republiken, yang duduk sebagai wakil presiden, sekadar mendampingi presiden yang Federalis, tanpa kekuasaan apa-apa. Dan ia orang yang dicurigai. Ia memang menyukai Prancis ia pernah tinggal di sana selama beberapa tahun. Tapi bukan hanya karena itu ia menentang "Undang-undang Orang Asing & Pendurhakaan". Sejak dulu ia menentang kekuasaan pemerintah pusat yang terlampau besar, dan yakin bahwa undang-undang yang mengancam kebebasan bersuara itu melanggar konstitusi. Maka dengan sekuat tenaga ia menentangnya. Tak mudah. Baru ketika ia akhirnya ia menjadi presiden dan partainya menang di Kongres, undang-undang itu berhenti berlaku. Syahdan, tahun 1802, redaktur koran The New York Wasp diadili: ia menyerang Presiden Jefferson. Pada saat itu muncullah Alexander Hamilton, tokoh Federalis terkemuka, membela sang redaktur. Tanpa hak untuk mengecam presiden, kata Hamilton, "orang-orang baik akan membisu, korupsi dan tirani akan terus, selangkah demi selangkah dalam perampasan kekuasaan." Betapa ironis: dulu, ketika ia seorang menteri yang kuasa, Hamilton mendukung undang-undang "anti-pendurhakaan" yang lebih keras . . .. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini