Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tembakan cinta segi tiga tembakan cinta segitiga

Letnan sunaryo menghabisi calon mertua dan atasannya yang dianggap menghambat rencana perkawinannya dengan serda polwan yuli patona. ia dipaksa mengawini bekas pacarnya, evi, yang telah dinodainya.

11 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEPATAH cinta itu buta benar-benar berlaku bagi Letnan Sunaryo, 30 tahun. Gara-gara mempertaruhkan "cinta segitiga", ia tega memberondong calon mertua dan atasannya. Aklbatnya, perwira pertama lulusan Akabri 1985 itu harus menghadapi putusan majelis hakim pekan lalu, yaitu dihukum seumur hidup dan dipecat dari keanggotaan ABRI. Insiden berdarah yang disidangkan Mahkamah Militer III Ujungpandang yang dipimpin Letkol. Soemaryanto, S.H. itu bermula dari aksi Sunaryo, sekitar delapan jam usai upacara HUT ABRI Oktober lalu. Sunaryo nekat menghamburkan peluru pisol EM-46 miliknya ke arah Lettu. Surachyo sampai meninggal, Ny. Mujima, dan Kapten Haryadi, wakil komandan batalyonnya, ketiganya dianggap menghambat rencana perkawinannya dengan Serda. Polwan Yuli Patona, pacar baru setelah Evi. Kisah bermula dari perkenalan Sunaryo dengan Evi di asrama Linud 700, Kodam Wirabuana, Ujungpandang. Perkenalan kedua insan itu terus berlanjut. Orangtua Evi, Lettu. Surachyo dan Ny. Mujima,berharap keduanya segera menikah karena hubungan mereka berdua boleh dibilang sudah seperti layaknya sepasang suami-istri. Namun, bekas Dan-Ton Kompi C Linud 700 Kodam Wirabuana itu diam-diam juga main asmara dengan Serda. Polwan Yuli Patona. Asmara bukan cuma sampai tingkat apel ke asrama polwan di Jalan Botolempangan, Ujungpandang. Keduanya bahkan udah meminta izin ke atasan masing-masing yaitu Pangdam VII Wirabuana dan Kapolda Sulselra Ujungpandang, untuk menikah. Tentu saja niat perkawinan itu membuat berang keluarga Surachyo. Orangtua Evi awal Oktober 1988 mulai mendesak Sunaryo agar bertanggung jawab dan menikahi anak gadisnya yang sudah dinodai itu. Batas kesabarannya memuncak pada HUT ABRI 5 Oktober 1988. Sore itu, Surachyo dan Nyonya Mujima mendatangi rumahnya. Karena yang dicari tak ada, maka mereka mampir di rumah sebelah, milik Kapten Hasan. Selang beberapa menit, atas bantuan Hasan, Sunaryo dipanggil untuk menemui Surachyo dan istrinya. Pertemuan berakhir dengan ketegangan. Sunaryo menolak mengawini Evi. Ia menganggap cintanya tak perlu diakhiri dengan perkawinan, karena Evi yang digauli beberapa kali itu ternyata tidak hamil. Namun, Surachyo dan istrinya tetap mendesak dan mengingatkan surat pernyataan Sunaryo yang bersedia mengawini Evi sekembali dari bertugas di Timor Timur. Dengan perasaan kecewa keduanya lalu meninggalkan tempat pertemuan, rumah Kapten Hasan. Pertikaian rupanya tidak berhenti di mulut. Baru beberapa meter melangkah dari halaman rumah Kapten Hasan, kedua orangtua yang kecewa itu dihujani tembakan oleh Sunaryo. Tiga peluru bersarang di dada dan menewaskan Surachyo saat itu juga. Sedang istrinya, Nyonya Mujima, luka parah ditembus dua peluru di paha kiri dan kanan. Di tengah aksinya merobohkan lawan, muncul Kapten Haryadi -- wakil komandan batalyonnya. Ia berniat menolong kedua korban yang tidak berkutik itu. Tapi malang. Peluru Sunaryo lebih cepat menembus dada kirinya hingga mematahkan tulang rusuknya. Setelah melumpuhkan orang yang menghalang-halanginya, Sunaryo langsung melarikan diri meninggalkan kesatuan. Ketika dilakukan penggerebekan, Sunaryo tidak memberikan perlawanan sedikit pun. Ia pasrah dan menyerahkan diri kepada regu penangkap, sambil menyodorkan sepucuk pistol yang dipakai menghabisi calon mertua dan merobohkan atasannya. Sunaryo di persidangan mengaku tidak sadar sewaktu menembak ketiga orang itu. Pikirannya kalut karena didesak Surachyo dan istrinya supaya segera mengawini Evi. Padahal, hatinya sudah bulat untuk menikahi Yuli. Di sidang, ia juga membuka kedok. Ketika mendaftar masuk Akabri, ia mengaku bujangan. Padahal, sebenarnya ia sudah punya istri dan seorang anak. Karena kesalahannya membunuh calon mertua dan mencederai atasannya, semula Sunaryo dituntut oleh Oditur Letkol. F.A. Suardi dengan hukuman 20 tahun. Namun, kemudian hakim memutuskan hukuman seumur hidup. Bersamaan dengan ketukan palu hakim, ratusan pengunjung langsung riuh rendah bertepuk tangan. Sunaryo, yang didampingi penasihat hukum Letkol. Adi Saputra, memang menyatakan naik banding. Kalau tidak ada "temuan" baru yang bisa membatalkan putusan mahkamah militer itu, kiranya Sunaryo harus tetap menjadi penghuni tembok penjara. Sementara itu, pacarnya, Yuli, yang setia menghadiri persidangan dengan pakaian preman, di depan majelis pernah berniat akan menunggu Sunaryo, kapan pun ia bebas dari penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus