KEKEJAMAN, bahkan di desa pun semakin menjadi-jadi. Seorang warga Desa Winduaji, Brebes, Jawa Tengah, Sabtu pekan lalu -- hanya karena pertentangan dua pemimpin agama di desanya -- mati dikeroyok lawannya. Jamal, 28 tahun, nama warga itu, dikubur hidup-hidup setelah dipukuli dengan pecahan botol. Jumat malam, 27 Januari lalu, pintu rumah Jamal diketuk orang. Begitu ia membuka pintu, seorang laki-laki yang kepala dan mukanya ditutup sarung membentaknya "Ayo, ikut aku ke pondok." Yang dimaksud pondok tak lain dari Pondok Pesantren Al Ikhlas, sekitar 50 meter dari rumah itu. Jamal menolak. Hanya dengan mengangkat tangan, tamu misterius itu memberi aba-aba kepada komplotannya. Bersamaan dengan itu, puluhan orang, juba dengan penutup muka, bermunculan dari segala sudut rumah. "Ada yang masuk menerobos lewat genting," ujar Ngadiroh, istri Jamal. Jamal, yang cuma tamatan SD itu, diseret gerombolan keluar rumah. Disaksikan istrinya, ia dipukuli beramai-ramai dengan pecahan botol. Setelah tak berdaya, tubuh Jamal digotong gerombolan itu entah ke mana. Polisi, yang dilapori Ngadiroh, baru menemukan mayat Jamal keesokan harinya dalam keadaan telanjang di kubur, 1 km dari rumahnya. Diduga, malam itu korban dikubur hidup-hidup. Dokter Adi Pramono, yang memeriksa korban, menemukan butir-butir tanah lembut di paru-paru korban. Selain itu, di mulut dan hidungnya juga ada sejumput tanah. Sampai pekan lalu, polisi telah menangkap 11 penduduk yang diduga sebagai pelaku. "Tapi sampai kini motif pembunuhan itu belum ketahuan," kata Kapolsek Paguyangan, Lettu. Wiyono. Sebuah sumber TEMPO menyebut pembunuhan itu berlatar belakang pertentangan antara Kiai Abdul Wahid, pemimpin Pondok Pesantren Al Ikhlas, dan bekas muridnya, Habib Umar. Sejak keluar dari pondok itu pada 1985, Habib Umar mengaku sebagai orang pintar yang bisa membuat orang menjadi kaya. Syaratnya, "pasien" harus memberi imbalan Rp 100-Rp 200 ribu. Penduduk yang terpedaya mendatangi pondok Habib untuk minta berkah. Tercatat sebagai korban antara lain Sakwid, Toip, Tardjo, dan Tumeri. Ternyata, Habib bohong, dan mereka tak pernah menjadi kaya. "Sudah saya serahkan Rp 200 ribu pada Habib Umar, biar jadi kaya. Tapi sampai dua tahun nasib saya begini terus," kata Tumeri. Kiai Abdul Wahid, yang merasa malu akibat ulah bekas muridnya itu, mencoba menegur Habib. Menurut Kiai Wahid, tindakan Habib itu telah menyimpang dari aqidah Islam. Tapi Habib Umar tersinggung. Pada 20 Januari lalu, puluhan pengikut Habib, antara lain Jamal, mendatangi rumah Kiai Wahid, ketika ulama itu tak di rumah. Mereka merusakkan rumah ulama itu. Sebelum pergi, gerombolan itu mengucurkan darah ayam di depan pintu rumah Kiai Wahid. Darah itu ditafsirkan anak buah Kiai Wahid sebagai ancaman atas jiwa pimpinan mereka. Di bawah pimpinan Mufatih mereka menangkap Jamal dan menyerahkannya ke Kepala Desa Winduaji, Suwarto. Kasus itu diteruskan ke polisi. Tapi karena kekurangan bukti, polisi melepaskan Jamal. Bebasnya Jamal sempat mengkhawatirkan kepala desa. Karena itu, Suwarto meminta Jamal mengungsi ke desa tetangga. "Saya minta Jamal jangan pulang dulu sebelum emosi masyarakat reda " kata Suwarto. Tapi entah kenapa, setelah lima hari mengungsi, tukang bubut itu kembali muncul di desanya. Malam itu juga ia dihabisi. "Dia pulang hanya untuk mengantar nyawanya," ujar Suwarto, prihatin.Syahril Chili dan Slamet Subagyo (Biro Yogyakarya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini