PAGI itu setelah "menyeruput" kopi panasnya, dengan seragam hijau lumut dan topi hansip, Bakri berangkat menunaikan tugasnya. Ia adalah Polisi Hutan Teritorial (Polhutter) yang bertugas di wilayah Kesatuan Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) Bahoro di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pemuda 23 tahun, yang tamat SD ini, terlihat gagah menenteng pedang sepanjang 60 cm. Tak ragu-ragu, Polhuter muda itu menerobos hutan jati seluas tiga ribu hekar yang menjadi tanggung jawabnya. Padahal, jalanan di pagi itu masih basah dan gerimis masih menyiram daun-daun jati di hutan itu. Tapi baru satu setengah kilo berjalan, ia mendengar suara pohon ditebang. Kreek. . . krekk . . . bum. Bakri bergegas. Setahun bekerja di hutan, ia hafal suara itu: pasti ada pencurian kayu jati. Benar. Tak jauh dari situ, delapan pencuri sedang menebangi pohon jati berusia 15 tahun, dengan diameter 20 cm dan tinggi sekitar 30 meter. "He . . . he . . . berhenti, berhenti," teriak Bakri sembari menghunus pedangnya. Si pencuri tak mengubris, dengan santainya terus menebang. "Ayo . . . tangkap kalau berani," kata salah seorang maling kayu itu, sembari berkacak pinggang. Kawanan maling malah mengepung Bakri. Akibatnya, Bakri mundur teratur dan lari. Ia melapor ke Suwarni, 50 tahun, Polhutter senior yang tak lain ayahnya sendiri. Ayah dan anak ini, bersenjatakan pedang, segera berangkat ke lokasi pencurian. Rupanya, sosok "jawara" Suwarni cukup ditakuti. Giliran kawanan maling kayu itu yang segera kabur. Tapi tak lama kemudian dua dari kawanan maling itu -- Samsuri alias Sambling dan adiknya, Parto alias Kepek -- muncul lagi dengan senjata lengkap -- sebuah kapak bertangkai kayu panjang. Sambling inilah "raja" maling kayu di kawasan itu. Sebaliknya Suwarni, yang sudah delapan tahun bekerja sebagai waker (penjaga) hutan, juga cukup "kondang" keberaniannya. Duel tak terelakkan lagi. Bakri lawan Kepek dan Suwarni meladeni Sambling. Suatu ketika, Bakri terjatuh dan ayahnya berusaha membantu. Malang bagi Suwarni, kapak Sambling, yang tajam dan mengkilap, menghantam tangan dan kepalanya. Bapak tiga anak itu roboh. "Aduh . . . bapakmu mati, Nak," teriak Suwarni kesakitan. Darah mengucur deras dari lukanya. Pegawai yang cuma bergaji Rp 24 ribu sebulan itu mati di hutan yang setiap hari dijaganya. Tapi si raja maling, Sambling, juga harus membayar "utangnya" hari itu. Kepalanya terkena sabetan pedang Bakri. "Jawara" hutan jati itu, yang selama, ini konon sakti dan tak mempan senjata, tewas. Sementara itu, sekujur tubuh Kepek luka-luka dan kuping kanannya hilang. Bakri juga robek pada tangan, punggung, dan bahunya. Kepek, 30 tahun, yang kini dirawat di RSU Tuban, mengaku membunuh Suwarni. "Jawara" itu, katanya, kejam pada penduduk yang mencari makan di hutan. Suwarni, kata Kepek, pernah menggebuk penduduk dengan gagang pedang, padahal, penduduk itu cuma mencuri ranting -- yang di pasar laku Rp 300. Bakri, yang juga dirawat di rumah sakit tersebut, membenarkan ayahnya keras terhadap pencuri-pencuri itu. Akibatnya, pada 1985, Suwarni pernah dihajar perampok kayu. Tapi, kata Bakri, ayahnya selamat dan langsung diangkat jadi polisi hutan teritorial KRPH Bahoro. Di kawasan yang termasuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jatirogo, Tuban, seluas 17 ribu hektar, tingkat pencurian kayu ati tergolong paling tinggi. "Paling sedikit senilai Rp80 juta kayu jati hilang dalam setahun," ujar sumber TEMPO di KPH Jatirogo. Dan kalau lagi beroperasi, tak kepalang tanggung, kawanan itu bisa sampai 30 orang. Sebagian pencoleng kayu itu, seperti juga Sambling, berasal dari Desa Sidonganti, Kerek, Tuban. Desa seluas seribu hektar yang terletak di tepi hutan jati Jatirogo ini berpenduduk hampir empat ribu jiwa. Mata pencarian penduduk, seperti juga di desa-desa tetangganya, memang cuma mencari kayu hutan itulah. Areal sawah hanya 41 hektar. Tanah ladang yang ada juga tak subur dan berbatu-batu. Tanpa mencuri kayu mereka tak mungkin hidup. "Padi tak bisa hidup subur, hasilnya hanya untuk beberapa bulan. Selebihnya, ya, mencuri kayu," ujar Kepek. Kepala Desa Sidonganti, Aji, mengakui wilayahnya miskin dan tak subur untuk pertanian. Karena itu pula Aji sangat memahami kalau penduduknya banyak yang mencuri kayu. Celakanya, kayu itu kini sudah ada pemiliknya. "Tapi saya tak berani melarang mereka," kata Aji. Para penduduk yang mencuri itu memang terkenal nekat. Pada 1987, seorang pamong desa dihabisi mereka karena melarang penduduk mencuri kayu. Korban di pihak polisi hutan tak hanya Suwarni. Almarhum hanyalah korban ketiga di hutan Jatirogo. Belum di kawasan lain. Besar kemungkinan daftar korban semakin hari akan semakin bertambah panjang.Toriq Hadad dan Zed Abidien (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini