Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDARAAN alat berat masih mondar-mandir di area PT Conch North Sulawesi Cement pada Rabu pekan lalu. Itu bertolak belakang dengan perintah Bupati Bolaang Mongondow, Yasti Soepredjo Mokoagow, agar pabrik semen asal Cina tersebut menghentikan aktivitas pembangunan.
Puluhan pekerja asing juga tampak lalu-lalang di mes pabrik itu. Sebagian ada yang duduk-duduk. Yang lain sibuk menyelesaikan bangunan pabrik dan barak untuk karyawan. "Perusahaan berjanji akan melengkapi izin dulu," kata Yasti pada Kamis pekan lalu. "Ternyata mereka masih jalan."
Yasti mengatakan tak bisa bergerak lebih jauh. Sang Bupati "tersandera" karena Kepolisian Daerah Sulawesi Utara menjadikan dia tersangka pada akhir Juli lalu. Polisi menuduh politikus Partai Amanat Nasional ini menggerakkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk merusak fasilitas perusahaan. Salah satunya mes karyawan.
Awal Juni lalu, Yasti bersama 70-an anggota Satuan Polisi Pamong Praja mendatangi area pabrik Conch North Sulawesi di Desa Inobonto. Siang itu, ia hendak memastikan kelengkapan izin perusahaan tersebut.
Tak lama setelah dilantik menjadi bupati pada akhir Mei lalu, Yasti mendapat laporan bahwa izin pabrik semen itu belum lengkap. Menurut dia, perusahaan belum mengantongi sejumlah izin, seperti wilayah izin usaha pertambangan, izin usaha pertambangan eksplorasi, dan izin usaha operasi produksi dari Gubernur Sulawesi Utara. Perusahaan juga belum mendapat izin mendirikan bangunan untuk mes tenaga kerja.
Bupati bolak-balik mengundang Conch North Sulawesi untuk menunjukkan izin perusahaan. Namun manajemen pabrik itu selalu mengelak. Hingga akhirnya Yasti pun datang ke lokasi. "Perusahaan ternyata tidak bisa menunjukkan izin," ujar Yasti. Karena itu, Bupati meminta perusahaan menghentikan operasi.
Yasti juga memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja menyegel dan membongkar mes karyawan. Insiden pembongkaran itulah yang menjadi dasar polisi menjadikan perempuan 49 tahun ini sebagai tersangka. Polisi juga menetapkan 27 anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang membongkar bangunan itu sebagai tersangka.
Keputusan polisi memicu reaksi warga Bolaang Mongondow. Awal Agustus lalu, seribuan orang berunjuk rasa. Massa memenuhi halaman kantor Bupati untuk memberikan dukungan kepada Yasti. Mereka menyebut penetapan tersangka itu sebagai keberpihakan polisi kepada pengusaha.
Juru bicara Polda Sulawesi Utara, Komisaris Besar Ibrahim Tompo, mengatakan penetapan Yasti sebagai tersangka sudah sesuai dengan prosedur. "Dari hasil pemeriksaan jelas bahwa ada perintah untuk merusak," kata Tompo. Polisi membidik Yasti dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan terhadap barang. Ancaman hukumannya lima tahun penjara.
DI tengah rapat pada akhir Mei lalu, suara Yasti Soepredjo Mokoagow meninggi. "Kalau melanggar aturan, kenapa dibiarkan?" ucap seorang peserta rapat menirukan Yasti, Rabu pekan lalu. "Jangan karena alasan investasi mereka bisa menabrak aturan," ujar Yasti, yang pagi itu baru delapan hari menjabat bupati.
Yasti hari itu memimpin rapat soal penerimaan pajak daerah. Saat membuka pertemuan, ia mengatakan ingin menggenjot pendapatan dari pajak perusahaan yang berinvestasi di Bolaang Mongondow. Suasana rapat menjadi tegang ketika perwakilan badan perizinan mengatakan ada permasalahan izin di Conch North Sulawesi.
Conch North Sulawesi, anak usaha Anhui Conch Group, masuk ke Bolaang pada awal 2015. Mereka menggandeng PT Sulenco Bohusami Cement sebagai mitra lokal. Dengan nilai investasi sekitar Rp 10 triliun, Conch-Sulenco membangun pabrik semen di lahan seluas 600 hektare di Desa Solog-Inobonto I. Mereka menargetkan produksi 4,2 juta ton semen per tahun.
Pada 30 April 2015, kedua perusahaan meneken nota kesepahaman (MOU). Dalam MOU tersebut, Sulenco menyatakan telah memperoleh izin persetujuan prinsip pembangunan pabrik semen di Bolaang Mongondow.
Sulenco Bohusami, yang semula bernama Sulenco Wibawa, masuk ke Desa Solog sejak 1994. Perusahaan ini mendapat izin prinsip pembangunan pabrik semen dari Gubernur Sulawesi Utara pada 8 Januari 1996. Ketika krisis ekonomi melanda pada 1998, pembangunan pabrik Sulenco berhenti. Mereka baru "siuman" setelah digandeng Conch North Sulawesi.
Conch North Sulawesi mendapat izin prinsip penanaman modal asing pada medio Juni 2015. Izin yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing itu bersifat sementara. Conch North Sulawesi tetap harus melengkapi izin usaha. Perusahaan ini juga sudah mendapat izin mendirikan bangunan untuk mes karyawan. Masalahnya, dari sekitar 30 barak, ada delapan bangunan plus satu gudang bahan peledak yang belum memiliki izin.
Dalam rapat tersebut, Bupati Yasti mendapat laporan bahwa Conch North Sulawesi belum memiliki 13 izin pendukung pembangunan dan tambang. Di samping izin menambang, perusahaan itu disebut belum memiliki izin penggunaan air tanah dan pengolahan limbah serta izin penggunaan tenaga kerja asing. Izin yang belum keluar, menurut pejabat kabupaten yang menghadiri rapat tersebut, sebagian besar berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Pada April lalu, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan juga menyurati Conch North Sulawesi. Kementerian meminta perusahaan menghentikan pembangunan pelabuhan terminal khusus. Perusahaan ini sedang membangun dermaga untuk bongkar-muat di pantai Desa Inobonto. Dalam surat yang dipaparkan di hadapan Yasti itu, Kementerian menyebutkan Conch North Sulawesi belum mengantongi izin pembangunan dermaga.
Yasti tambah marah begitu tahu Conch North Sulawesi sudah sembilan kali ditegur Badan Lingkungan Hidup Bolaang Mongondow. Teguran pertama dikirim pada 20 Oktober 2015. Isinya, pemerintah kabupaten mendesak agar pembangunan di area pabrik dihentikan karena belum memiliki dokumen amdal.
Conch North Sulawesi dan Sulenco jalan terus. Sampai pemerintah kabupaten mengirimkan surat terakhir pada 10 April lalu, perusahaan tetap membangun. Bupati Yasti kembali menyurati perusahaan tersebut. Ia menekankan akan turun ke lapangan jika perusahaan tidak menanggapi.
Pada 29 Mei lalu, perwakilan Conch-Sulenco datang ke kantor Bupati Bolaang. Namun Yasti menolak menemui mereka. Alasannya, yang datang hanya anggota staf biasa. Bupati meminta petinggi Conch-Sulenco yang datang. Dua hari kemudian, manajemen kedua perusahaan hadir di kantor bupati.
Dalam pertemuan tersebut, Yasti meminta Conch-Sulenco menunjukkan semua izin pembangunan pabrik semen mereka. "Tapi mereka tak bisa menunjukkan izin tersebut," kata pejabat lain yang hadir di rapat tersebut. Yasti, menurut sumber ini, meminta perusahaan menghentikan dulu pembangunan sembari melengkapi izin. Selain itu, Yasti meminta Conch-Sulenco membongkar sendiri mes yang belum memiliki izin.
Sampai sepekan setelah pertemuan, perusahaan belum juga menghentikan pembangunan dan membongkar barak. Yasti kemudian mengeluarkan surat penetapan pembongkaran delapan mes yang tak memiliki IMB. Pada 4 Juni lalu, Yasti juga berkoordinasi dengan polisi untuk pembongkaran.
Yasti bersama timnya mendatangi pabrik tersebut pada 5 Juni lalu. Di sana sudah banyak warga sekitar yang menunggu. Mereka mendukung rencana pembongkaran.
Menurut Yasti, sebelum membongkar, ia sekali lagi memastikan soal perizinan perusahaan. "Bahkan, ketika saya di lokasi, mereka tetap tidak bisa menunjukkan izin," ucapnya. Sang Bupati kemudian memerintahkan pembongkaran itu.
Keesokan harinya, Conch North Sulawesi melaporkan perkara ini ke Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Hari itu juga polisi menahan 27 anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan menetapkan mereka sebagai tersangka. "Saya minta mereka bilang diperintah Bupati," kata Yasti. "Saya tak mau anak buah kena masalah karena perintah saya." Polisi malah menetapkan Yasti sebagai tersangka.
Tempo bolak-balik menghubungi Sutanto Adrian, Direktur Sulenco. Namun dia tidak merespons. Begitu pula juru bicara perusahaan itu, Suharjo Makalalag. Sedangkan juru bicara Conch North Sulawesi, Gunawan Mokoagow, menolak berkomentar panjang. Ia hanya mengatakan, "Kami sudah berdamai dengan Bupati."
Menurut Yasti, setelah penahanan anak buahnya, ia dan perusahaan meneken delapan poin kesepakatan. Di antaranya perusahaan segera melengkapi izin, memperhatikan komposisi pekerja asing dan lokal, serta mencabut laporan ke polisi.
Komisaris Besar Ibrahim Tompo mengatakan kesepakatan damai dengan perusahaan tidak bisa menggugurkan perkara. Upaya pemerintah daerah untuk menangguhkan penahanan anggota Satuan Polisi Pamong Praja pun kandas. "Ini agar menjadi perhatian. Kepala daerah tak boleh sewenang-wenang menggunakan pengaruhnya," ujar Tompo.
BUDHY NURGIANTO (BOLAANG MONGONDOW), SYAILENDRA PERSADA (JAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo