Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Gibran Huzaifah pergi ke Silicon Valley pada Januari tahun lalu tak sia-sia. Setelah dia mengikuti program Google Launchpad Accelerator, pertumbuhan konsumen perusahaan rintisan yang ia bangun naik hingga sepuluh kali lipat. "Dari aspek bisnis, pendapatan eFishery meningkat diimbangi peningkatan jumlah konsumen yang saat ini sekitar 500 pengguna," kata Gibran, CEO eFishery, Senin pekan lalu.
Produk startup bidang teknologi pemberi pakan ikan ini pun turut berkembang. Perusahaan ini menyesuaikan aplikasi Android dan arsitektur teknologi yang sudah mereka miliki dengan ilmu yang diperoleh dari program di Amerika Serikat. Mereka terus melakukan inovasi prototipe melalui riset pengguna. Tampilan aplikasi dibenahi agar lebih mudah digunakan konsumen. "Proses riset pengguna ini juga kami dapatkan di program itu," ucap Gibran, 27 tahun.
Perusahaan Gibran adalah satu dari 20 perusahaan startup asal Indonesia yang mengikuti Google Launchpad Accelerator di Kampus Google-sebutan untuk kompleks kantor pusat Google di Mountain View, California, Amerika. Program bimbingan yang diluncurkan dua tahun lalu dan sudah memasuki angkatan keempat ini ditujukan bagi perusahaan startup tahap akhir dari pasar negara berkembang. Salah satunya Indonesia.
Perusahaan rintisan yang lolos seleksi mengikuti bimbingan selama dua pekan di San Francisco dan Silicon Valley, dilanjutkan enam bulan bimbingan di negara asal. Setiap perusahaan mendapatkan kucuran dana dari Google sebesar US$ 50 ribu tanpa ikatan apa pun.
Gibran mengakui program itu telah memberi ilmu, jaringan, cara melakukan riset pengguna, dan kemampuan membangun aplikasi. "Kami juga mendapatkan pengetahuan mengenai teknologi dan produk Google yang dapat diterapkan pada eFishery," ujarnya.
Perusahaan startup alumnus angkatan pertama lainnya, Kurio, yang bergerak di bidang aplikasi penyedia berita, mendapatkan manfaat serupa. CEO Kurio, David Wayne Ika, mengatakan mentoring itu membantu tahap awal perkembangan bisnisnya. "Produk kami sudah banyak perbaikan dan penambahan fitur baru," kata David, 36 tahun, Ahad pekan lalu.
Selama di Negeri Abang Sam, timnya memperoleh pembekalan teknik, pemasaran, dan pemahaman lebih dalam tentang beragam produk Google. Melalui program itu, ia dapat mengoptimalkan aplikasi Android. "Itu lebih sesuai dengan keadaan infrastruktur jaringan di Indonesia sehingga lebih optimal."
Menurut David, manfaatnya tidak dalam bentuk peningkatan penjualan, tapi lebih pada aspek pengembangan produk, pembelajaran, dan dukungan tim Google dari berbagai keahlian. Ia mengklaim aplikasi Kurio telah diunduh dan diinstal 3 juta orang, dan sekitar 40 persennya pengguna aktif.
Adapun Setipe.com, situs layanan kencan online yang juga alumnus angkatan pertama, mengembangkan ulang beberapa komponen bisnisnya berkat teknologi yang ditawarkan Google. Pendiri Setipe.com, Razi Thalib, mengatakan perusahaannya lebih berfokus mengembangkan aplikasi Android, yang bisa membawa keuntungan. "Ada beberapa hal yang menarik perhatian kami, misalnya machine learning, tapi terpaksa kami tunda eksplorasi ke sana karena kami memprioritaskan pendapatan," ujarnya.
Menurut Razi, bertukar pikiran dengan sesama pengusaha, apalagi yang punya pengalaman serupa, memberikan perspektif jangka panjang. Dampak paling besar setelah mengikuti program itu, kata dia, adalah berfokus pada monetisasi dan desain ramah pengguna.
Perusahaan startup yang berdiri pada 2013 ini telah melakukan merger dan akuisisi dalam bentuk stock swap dengan perusahaan asal Singapura, Lunch Actually, Mei lalu. Kini penggunanya mencapai 900 ribu dan telah menerima 219 undangan pernikahan. "Setipe tetap menjadi brand utama yang kami gunakan sebagai ’pintu utama’. Banyak cross-selling yang kami lakukan bergantung pada demografi dan kebutuhan member," ucap Country Head Lunch Actually Indonesia itu.
Pengalaman yang sama ditemui tiga perusahaan startup Indonesia yang lolos mengikuti Google Launchpad Accelerator angkatan keempat, yakni Nadipos, Cicil, dan Sirclo. Mereka mengikuti program itu bersama 30 perusahaan rintisan dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin di Launchpad Space, Howard Street, San Francisco, 17-28 Juli lalu. Di ruangan lantai empat seluas empat kali lapangan bulu tangkis itu, saban hari mereka mengikuti mentoring, dan lokakarya hingga mendengarkan pemaparan dari pelbagai pakar.
Nadipos, yang berdiri pada 2014, adalah perusahaan penyedia aplikasi pengelolaan restoran yang meliputi penjualan, stok, operasional, manajemen pelanggan, dan keuangan. Menurut CEO dan CTO Nadipos, Tarun Agarwal, perusahaannya mendapat banyak masukan dari para mentor, antara lain tentang cara memperbaiki produk. "Dari Google, kami mendapat soal user experience, bagaimana menggunakan teknologi agar bisa lebih simpel dan ramah pengguna," ujarnya saat ditemui di Launchpad Space, Selasa tiga pekan lalu.
Tarun mengatakan mentoring berfokus pada tiga bidang, yaitu orang, produk, dan strategi bisnis. Tapi yang paling dibutuhkan perusahaannya adalah soal orang dan produk. "Mereka memberi banyak saran bagaimana bisa lebih mudah jualan lewat online," kata Tarun, yang mengklaim sudah memiliki klien 250 restoran. Ia mematok harga paket aplikasi Rp 3-20 juta dengan langganan Rp 2 juta per tahun.
Cicil, perusahaan berbasis teknologi finansial yang memberikan kemudahan akses pembiayaan bagi mahasiswa untuk membeli kebutuhan penunjang kuliah, merasa mendapatkan mentor sesuai dengan kebutuhan perusahaan, yakni pengembangan produk. Menurut Edward Widjanarko, pendiri Cicil, perusahaan yang baru berdiri delapan bulan lalu itu perlu memperkaya teknologi, antara lain untuk otomatisasi verifikasi calon anggota. Pihaknya tak mungkin menilai calon anggota untuk kredit Rp 2 juta dengan metode bank profesional karena biayanya mahal.
Banyak teknologi Google yang bisa ia manfaatkan agar produk Cicil lebih mudah diakses anggota, seperti pengenalan gambar. "Tidak perlu membandingkan KTP satu per satu. Ini solusi praktis yang bisa kami gunakan," ujar Edward.
Sedangkan Sirclo, perusahaan teknologi yang membuat perangkat lunak untuk bisnis berjualan online, mendapatkan peluang melihat perkembangan startup di negara lain yang beberapa langkah lebih maju. Selain belajar manajemen organisasi yang sudah membesar, perusahaan yang kini memiliki sekitar 60 karyawan ini belajar tentang pengalaman pengguna, pengembangan produk dan tampilan, serta pemasaran. "Kami banyak belajar," kata Brian Marshal, pendiri dan CEO Sirclo.
Google menerjunkan 40 mentor lintas disiplin dari lingkup internal perusahaan teknologi itu untuk membantu perusahaan rintisan. Juga mendatangkan 120 mentor dari perusahaan lain, yang diterbangkan dari pelbagai negara. "Mereka mewakili perusahaan terkemuka di Silicon Valley. Ada Uber, Intel, Pinterest dan mereka adalah profesional papan atas di perusahaannya," ucap Roy Glasberg, pendiri sekaligus Manajer Umum Google Global Accelerator.
Ia mengatakan program yang dimulai di India, Indonesia, dan Brasil pada 2015 itu untuk membantu perusahaan startup memecahkan tantangan. Dua tahun kemudian, program ini telah melibatkan 33 perusahaan rintisan dari 17 negara. Ia melihat program itu membuahkan hasil. Sejumlah perusahaan startup alumnus program itu mampu mendapatkan pendanaan dan bertumbuh pesat.
Glasberg memuji perusahaan startup Indonesia yang dengan cepat membangun perusahaannya. "Semua solusi yang dibangun di Indonesia relevan di seluruh Asia Tenggara. Mengapa tidak memandangnya sebagai pasar?" ujarnya seraya menyebutkan kendala utama perusahaan startup, termasuk di Indonesia, adalah pendanaan, dukungan pemerintah, dan akses ke pasar.
Untuk menembus pasar lebih luas, tampilan yang ramah pengguna merupakan masalah utama sebagian besar perusahaan rintisan. Kebanyakan perusahaan startup butuh dukungan mentor untuk implementasi teknologi, terutama untuk meningkatkan platformnya. Menurut salah seorang mentor, Yohan Totting, pada tahap awal, sebagian besar perusahaan startup berfokus pada implementasi produk sehingga platform ramah pengguna diprioritaskan belakangan. "Karena itu, kami menyarankan lebih banyak mentor user experience, yang membantu penggunaan platform mereka lebih ramah pengguna," kata pakar teknologi web dari Bandung ini.
Soal pengembangan aplikasi, ia mengatakan tak cukup hanya membuatnya lalu selesai, tapi harus terus diperbarui. "Dengan dukungan Google akan lebih mudah ketimbang mencari informasi sendiri, belajar sendiri, sehingga bisa lebih cepat implementasinya," ujarnya. SAPTO YUNUS (SAN FRANCISCO), DANANG | FIRMANTO (JAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo