Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sir, Saya Perampok

Kawanan edi ompong, 26, perampok spesialis orang-orang asing terutama di jak-sel, digulung polisi. bermodal sedikit bahasa inggris dan keyakinan bahwa orang asing takut golok. pantang menjarah pribumi. (krim)

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG belum terdengar keresahan orang asing di Jakarta. Tapi belum lama ini polisi menangkap perampok spesialis. Kawanan Edi Ompong, 26, memang masih mengandalkan golok dan celurit. Cuma mereka memilih-milih sasaran: rumah orang asing - begitulah setidaknya pengakuan Edi. Suatu hari di April lalu, misalnya, Edi, yang berperawakan sedang berkulit cokelat, menerobos masuk rumah McDonald di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Senjata dihunus dan orang asing yang bekerja di perusahaan pengeboran minyak Schlumberger itu menyerah. Sejumlah pakaian dan mobil jip CJ 7 dibawa kabur. Korban ditinggalkan dalam keadaan kaki dan tangan terikat tali sepatu, mulut disumpal sarung bantal. Lain waktu, dia dan kawan-kawan memanjat pagar tembok rumah di Jalan Ampera - juga di Jakarta Selatan - yang didiami Pierre Arfeulliere, orang Prancis. Pintu dicongkel, dan Edi kena batunya, alarem berbunyi. Edi lari. Belum lama ini ia bersama empat anak buahnya diringkus. Empat anggota komplotan yang lain, menurut Mayor Sutarno, Kepala Satserse Polres Jakarta Selatan, pekan lalu, masih dikejar. "Orang asing takut sekali kalau melihat benda tajam. Kalau sudah diacungi golok, dia nurut saja apa yang kita mau," katanya kepada Bunga Surawijaya dari TEMPO. Pengetahuan tentang ini diperoleh Edi dari seorang kenalan yang bekerja sebagai penjaga malam di rumah orang asing. Teman itu, katanya, merasa heran karena tuannya tiba-tiba lari ketakutan ketika suatu hari ia mengasah arit. Dan itulah awal mula ia jadi perampok, 1981, ketika tak kunjung memperoleh pekerjaan dengan ijazah STM-nya. Pernah, memang, ia bekerja di sebuah bengkel dan di sebuah perakitan mobil. Tidak kerasan, karena tenaganya hanya dihargai Rp 34.000 sebulan. Ia lalu mencoba-coba menjadi sopir mikrolet. Di sini, keadaannya bertambah buruk. Sebab, sebagai 'sopir tembak' - yang hanya bisa membawa mobil bila sopir yang sesungguhnya berhalangan - ia paling hanya memperoleh Rp 1.000 sehari. Beberapa kenalan - dalam lingkungan sopir-sopir mikrolet - dikontak, dan mereka setuju membentuk "klub". Edi, anak kesembilan dari 10 bersaudara keluarga purnawirawan ABRI (terakhir bapaknya berpangkat peltu) itu, ditunjuk sebagai pimpinan. Entahlah mengapa begitu gampang "klub" ini terbentuk. Dan jadilah mereka perampok spesialis. "Kami hanya beroperasi di Jakarta Selatan, sebab di sini memang banyak orang asing tinggal," kata pemuda yang, sungguh, tutur sapa dan gayanya, jauh dari galak ini, bisa sedikit-sedikit bahasa Inggris - cukup buat modal menggasak. Sebelum mereka terjun di malam harinya, rumah yang dijadikan sasaran biasanya diamat-amati dulu. Suatu kali mereka pernah salah sasaran. Penghuni rumah, yang semula dikira orang asing, ternyata penduduk pribumi. Padahal, Edi dan kawan-kawan sudah telanjur mematok niat untuk berpantang menyatroni bangsa sendiri - ini pengakuannya, lho. Toh, malam itu mereka terpaksa mengambil cincin dan sebuah tape kecil, benda berharga yang lain tak disentuh barang sedikit. Juga, katanya, seandainya di rumah orang asing ada pembantu yang mengenakan perhiasan, Edi mengaku tak ingin mengganggunya. "'Kan mereka itu orang sengsara," alasannya. Belum jelas berapa rumah orang asing yang sudah disatroni. Setidaknya, menurut catatan polisi, sejak Maret sudah enam korban dijarah. Hasilnya, selain alat elektronik, seperti pesawat televisi dan video, juga perhiasan dan barang berharga lain, serta uang - yang sekali sabet bisa jutaan rupiah. Mobil biasanya hanya dibawa untuk mengangkut barang. Setelah itu, biasanya ditinggalkan begitu saja di suatu tempat. "Kalau lagi ada duit, sih kami mencarter mobil sendiri," kata Edi. Dan setiap habis operasi, Edi - yang berwajah romantis dan suka bertualang - biasanya melancong ke Bali, Surabaya, Medan, atau Ujungpandang, naik pesawat. Bujangan yang pintar memetik gitar ini, menurut catatan polisi, sudah enam kali ditahan karena pencurian dan pengeroyokan. Ia mengaku anti kekerasan, apalagi sampai membunuh korban. "Saya 'kan punya ijazah. Sekali waktu mungkin bisa buat cari kerja. Tapi kalau sudah membunuh orang, habislah masa depan saya," ujarnya. Tampaknya ia perampok yang lemah lembut, tapi pengadilanlah nanti yang, mungkin, bisa bercerita banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus