Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pisau Dapur Versus Pistol

Tjan muhamad menusuk koptu (pol) subardo hingga luka parah, ketika kedua anaknya hendak ditangkap. bermula dari soal kaca pecah. tjan dan anaknya divonis 8 dan 6 bulan penjara. (krim)

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN pisau di tangan Tjan Muhamad muncul dari dalam rumah. Lalu, teriaknya: "Iki polisine, to, sing arep mateni anakku. Pateni bae." Maksudnya "Ini, 'kan, polisi yang hendak membunuh anak saya? Bunuh saja. "Kemudian Tjan menikamkan pisau itu ke punggung Koptu (Pol) Subardo, hingga polisi itu masuk rumah sakit. Sebagian surat dakwaan Jaksa Suharno itu dibacakan di Pengadilan Negeri Wonosobo, Jawa Tengah, akhir April lalu. Tapi Majelis Hakim sidang perkara penganiayaan ini tak sepenuhnya bersetuju dengan Jaksa yang menuntut hukuman 6 tahun penjara. Tjan hanya kena 8 bulan. Kedua anaknya, Sarpan dan Kuat, masing-masing mendapat 6 bulan penjara - semuanya potong masa tahanan. Sementara itu, Paryoto, anak sulung Tjan, dibebaskan. Majelis Hakim menganggap Paryoto, Kepala Desa Kalibening, Wonosobo, dalam perkara ini tak melakukan penganiayaan. Justru ia mencoba melerai yang berkelahi. Menurut Jaksa, setelah pisau tertancap, Paryoto, Sarpan, dan Kuat ramai-ramai memukuli si polisi. Ketika itulah Serda (Pol) Sukisnarso, rekan Subardo, terpaksa melepaskan tembakan tiga kali, dua ke atas, dan satu mengenai paha Sarpan. Ceritanya, suatu hari bulan Oktober tahun lalu, kaca jendela Paryoto ada yang pecah. Ia melaporkan hal itu kepada polisi. Beberapa hari kemudian, setelah mengadakan pengusutan, polisi menduga Sarpan dan Kuat-lah - dua adik Paryoto yang juga tinggal di rumah itu - yang punya ulah. Mereka dibawa ke polisi, tapi keduanya tak mengakui tuduhan tersebut. Kedatangan dua polisi di hari perkelahian itu adalah untuk kesekian kalinya mereka hendak membawa Sarpan, 24, dan Kuat, 20, ke kantor polisi untuk diusut. Lain lagi kesaksian Paryoto. Karena kedua polisi datang tanpa surat perintah, ia menghalangi kedua adiknya dibawa. "Sebab, dua kali adik saya dibawa ke kantor polisi pulangnya muka mereka bengkak-bengkak, habis dipukuli," katanya di depan sidang. Maka, ketika Serda Sukisnarso nekat, lelaki bertubuh sedang dan berkulit gelap itu pun nekat, menggunakan meja sebagai penghalang. Dan ketika itulah, kata kepala desa itu, serda tersebut mengeluarkan pistolnya. Tjan, bapak mereka, mendengar tembakan, keluar dari dalam rumah. Ia melihat paha Sarpan luka, si bapak masuk kembali, dan keluar dengan pisau dapur di tangan. "Bukan golok, seperti dituduhkan Jaksa," kata Tjan kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. "Waktu itu saya terbawa emosi, saya tak rela anak saya ditembak." Ia pun membantah mengatakan seperti yang dituduhkan Jaksa, menyuruh bunuh saja polisi itu. Keempat tersangka pun membeberkan di depan sidang, mereka dipukuli, ditendang, dan disulut rokok. Tjan, orang tua berusia 60 tahun itu, terpaksa dirawat di rumah sakit karena kaki kanannya retak dipukul dengan besi. "Di rumah sakit tangan saya ini diborgol, padahal saya tak mungkin lari, jalan saja tidak bisa," tuturnya. Lalu Paryoto, bapak tiga anak, kedua jari kakinya ditindih kaki meja yang diduduki dua polisi, dan remuk. Majelis Hakim yang diketuai Djunisar, S.H. menganggap tuduhan Jaksa tak terbukti. Ketiga tersangka hanya dituduh melakukan penganiayaan biasa - ini yang memberatkan terhadap petugas kepolisian. "Tindakan para terdakwa hanya untuk mempertahankan agar Sarpan dih Kuat tak dibawa polisi," kata Djunisar. Selain itu, luka Sukisnarso tidak berat, tak memenuhi kriteria pasal 351 KUHP - yakni luka tidak berat karena sudah sembuh, dan tidak merusakkan kesehatan. Dan polisi tak bisa membuktikan ada surat tugas penangkapan. "Seandainya polisi bijaksana penangkapan tak perlu dilakukan, karena yang dituduh memecahkan kaca masih saudara sendiri," kata Djunisar pula. Lalu, bagaimana sebenarnya soal kaca pecah itu? Tak jelas. Paryoto menduga mungkin ada warganya yang tak suka kepadanya. Pernah suatu ketika ia dilaporkan melahap uang bantuan desa, hingga diperiksa oleh Inspektorat Wilayah. "Tapi tak benar, dan saya dinyatakan bersih," katanya. Kini pihak Paryoto, yang dibela oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hanya bisa berharap, "Polisi yang menganiaya saya, ayah, dan kedua adik saya ditindak dan diadili."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus