Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tergelincir Bisnis Bola Mikasa

Seorang pengusaha Korea diadili karena membajak merek bola Mikasa. Tapi, di perkara perdatanya, ia memanen ganti rugi hampir Rp 1 miliar.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANG CHAN NAM, 59 tahun, mungkin tak menduga karir bisnisnya akan tergelincir di sini. Pengusaha Korea yang juga Direktur Utama PT Kones Taeya Industry itu kini terpaksa menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Bekasi. Ia dituduh memproduksi sekitar 17 ribu bola merek Mikasa secara tidak sah. Akibatnya, Sunrise and Co. Pte. Ltd selaku pemegang lisensi Mikasa mengalami kerugian senilai Rp 1,7 miliar. Sebenarnya, Kones dan perwakilan Sunrise Singapura di Indonesia sudah menjadi mitra bisnis sejak 1995. Sebagai pemegang lisensi bola merek Mikasa milik Myojyo Rubber Industry Co. Ltd. di Jepang, Sunrise juga menjadi agen tunggal untuk memasarkan bola tersebut di wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Sunrise mengorder pembuatan bola voli dan bola kaki bermerek Mikasa kepada Kones. Setidaknya sudah 80 ribu bola voli dan bola kaki dipesan Sunrise dari Kones. Harga pesanan bola itu sebesar US$ 3 untuk bola voli dan US$ 5 untuk bola kaki. Berdasarkan kesepakatan, Kones hanya boleh memproduksi bola Mikasa sesuai dengan order dari Sunrise. Pemasaran bola tetap di tangan Sunrise. Ternyata, pada 1998, Myojyo menemukan banyak bola Mikasa berlabel Sunrise di Mesir, Arab Saudi, Jerman, Italia, dan Panama. Dari segi mutu dan ukuran, bola yang bertebaran di luar wilayah pemasaran Sunrise itu lebih buruk ketimbang bola asli Mikasa. Bola yang beredar itu tak cuma bola voli dan bola kaki, tapi juga bola basket, yang tak termasuk dalam perjanjian lisensi antara Myojyo dan Sunrise. Kecuali itu, bola kakinya pun bertuliskan Federasi Sepak Bola Sedunia (FIFA), padahal Mikasa belum memperoleh sertifikat FIFA. Myojyo, yang merasa citra bisnisnya menjadi rusak, lantas meminta Sunrise mengklarifikasi kasus tersebut. Usut punya usut, ternyata itu semua ulah Kones. Sewaktu pabrik Kones di Cibitung, Bekasi, digerebek polisi pada Oktober 1998, di pabrik itu didapati bola palsu serupa. Ada 10 ribu bola kaki, 6.000 bola voli, dan 600 bola basket. Dari bola sejumlah itu saja, Sunrise ditaksir merugi sampai Rp 1,7 miliar. Itu sebabnya Sunrise memerkarakan Sang Chan Nam. Di persidangan, terungkap bahwa ternyata selain memproduksi bola Mikasa pesanan Sunrise, Kones juga menjalankan bisnis curang. Ia memproduksi bola sejenis berdasarkan pemesanan dari tiga pengusaha alat-alat olahraga di Jakarta. Rupanya, tiga pengusaha itu kemudian memasarkan bola dimaksud di dalam dan luar negeri. Pada Mei 1998, misalnya, Kones memproduksi sekitar 16 ribu bola pesanan salah seorang pengusaha. Tapi, karena terjadi kerusuhan Mei 1998, bola itu tak kunjung diambil oleh pemesan. Diduga bola itulah yang ada di gudang ketika digerebek polisi. Namun, di persidangan, Sang Chan Nam mengaku memproduksi 7.800 bola pada tahun 1997 berdasarkan permintaan sebuah perusahaan di Arab Saudi. Setahun kemudian, ia juga memproduksi 17 ribu bola. Tapi, katanya, produksi itu belum ada pemesannya. Menurut Sang, ia memproduksi bola di luar kesepakatan dengan Sunrise tak lain agar perusahaannya selalu siap bila sewaktu-waktu ada pesanan dari pihak lain. Hal itu, katanya, juga berguna supaya Kones tak cuma bergantung pada Sunrise. Lagi pula, kalau proses produksi sampai terhenti, bisa-bisa Kones yang punya 420 pekerja itu akan rugi besar. Belakangan, jaksa Agus Winoto menuntut pengadilan agar menghukum Sang dengan penjara selama dua setengah tahun plus denda Rp 100 juta. Kendati Sang tak pernah ditahan, tentu vonis yang akan diketuk hakim itu bisa merontokkan karir bisnis Sang di Indonesia. Sekalipun demikian, Sang tak kehilangan jurus. Ia menggugat perwakilan Sunrise di Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sunrise dituntutnya untuk membayar ganti rugi Rp 3 miliar gara-gara tak membayar 30 ribu bola yang sudah dipesan pada Mei dan Juni 1998. Bahkan, setelah kejadian bola palsu di atas, Sunrise memutuskan hubungan bisnis dengan Kones. Menghadapi gugatan itu, Sunrise pun melayangkan tuntutan rekonvensi. Menurut Sunrise, pihaknya sama sekali tak pernah mengikat perjanjian dengan Kones untuk produksi 30 ribu bola itu. Sunrise justru menuduh Kones yang wanprestasi, karena tak menanggapi klaim kerusakan bola sebelumnya. Berdasarkan itu, Sunrise menuntut ganti rugi US$ 8 juta dari Kones. Ternyata, pada 31 Juli 2000, majelis hakim yang diketuai Musa Simatupang memenangkan Kones. Sunrise dihukum untuk membayar ganti rugi hampir Rp 1 miliar kepada Kones. Tampaknya, pertikaian bisnis bola antara Kones dan Sunrise masih akan panjang. Hps, Edy dan Dewi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus