PINTU penemuan jenis padi unggul kini semakin terbuka lebar. Baru-baru ini, Monsanto, perusahaan besar bioteknologi di Amerika Serikat, menyatakan akan memberikan berbagai hasil penelitiannya tentang kode genetika tanaman padi. Hal itu dimaksudkan agar negara lain, terutama negara berkembang, bisa mengembangkan budi daya varietas padi, khususnya padi emas yang mengandung pro-vitamin A.
Tentu saja komitmen Monsanto sangat melegakan, terlebih bagi para peneliti padi di Indonesia. Apalagi, sejak April 2000, perusahaan itu acap dikecam karena menyimpan kuat-kuat berbagai hasil terobosan ilmiah berupa peta genetika padi yang diperolehnya.
Dan yang paling penting dari perubahan sikap Monsanto, perusahaan itu akan memberikan teknologinya berikut lisensi tanpa keharusan membayar royalti. "Kami ingin memperkecil waktu dan biaya dalam proses pengurusan lisensi yang diperlukan untuk membawa padi emas ke petani dan penduduk di negara berkembang," kata Hendrik Verfaillie, Chief Executive Officer Monsanto.
Boleh jadi sikap pemurah Monsanto berkaitan dengan terobosan sebelumnya yang direncanakan oleh dua penemu padi emas, yakni Ingo Potrykus, peneliti dari Institute for Plant Sciences, Swiss, dan Peter Bayer, peneliti dari University of Freiburg, Jerman. Kedua peneliti itu, pada Mei 2000, sesumbar hendak menyebarkan hasil penemuan mereka secara gratis dengan alasan kemanusiaan.
Alasan itu agaknya bisa dimaklumi. Soalnya, padi emas yang mengandung pro-vitamin A atau beta karotin sangat berguna bagi penduduk negara berkembang, yang tidak cuma membutuhkan perut kenyang setelah mengonsumsi beras dari padi, tapi juga vitamin A.
Sebagaimana diketahui, kekurangan vitamin A bisa berakibat serius. Jutaan anak di dunia meninggal dan 300 ribu lainnya menderita kebutaan setiap tahun gara-gara tak cukup mendapatkan vitamin A dari makanan yang dikonsumsi. Biasanya kasus itu terjadi di negara berkembang yang penduduknya tak mendapatkan pasokan buah dan sayuran yang cukup.
Padi emas sendiri muncul pada 1999. Disebut emas lantaran warnanya kuning keemasan. Ia mempunyai kadar karotin yang berlimpah. Itu sebagai hasil rekayasa genetis berupa "penyusupan" gen tanaman rerumputan dafodil dan gen salah satu jenis bakteri.
Dengan adanya transfer teknologi padi emas secara gratis, tentu upaya mengembangkan dan mengadaptasi bibit beras kuning itu akan semakin gampang. Lebih dari itu, sederet data kode genetis padi lainnya yang ditawarkan Monsanto juga akan semakin membuka lebar-lebar berbagai kemungkinan pengembangan varietas baru padi unggul.
Bagaimanapun, kode genetis merupakan himpunan informasi yang amat penting. Dari data itu pula bisa diketahui ciri-ciri positif dan negatif suatu jenis padi. Dengan demikian, tinggal diupayakan budi daya untuk memperoleh varietas padi yang memiliki berbagai keunggulan: dari kelebihan berupa daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit, mengandung vitamin tertentu, sampai bulir padi yang padat, sehingga produksi bisa meningkat.
Selain itu, peta genetis padi bisa digunakan untuk memahami ciri dan sifat jenis tanaman biji-bijian lainnya, misalnya jagung, gandum, sorgum, rye, ataupun barley. Apalagi struktur gen padi diperkirakan 37 kali lebih kecil ketimbang gandum dan enam kali lebih kecil dari jagung.
Namun, rencana mengglobalnya padi emas secara gratis bukannya tak diikuti kekhawatiran. Setidaknya, ada kekhawatiran, keberhasilan teknologi padi emas diduga akan memicu kelebihan vitamin A. Sebelumnya, reaksi senada mencuat terhadap produk jagung dan gandum dari hasil modifikasi genetis. Para penentang menganggap makanan yang berasal dari dua jenis tanaman itu hanya cocok untuk mutan atau semacam Frankenstein.
Sementara ini, mungkin kecemasan itu bisa dianggap berlebihan. Namun, tak bisa dimungkiri, gejala serius seperti mual berkepanjangan, kerapuhan tulang, atau kebotakan bisa muncul bila orang keracunan vitamin A.
Untuk itu, seyogianya pengembangan teknologi padi emas dilakukan secara cermat. Bila perlu, uji cobanya juga melibatkan ahli gizi tanaman pangan. Yang jelas, lembaran baru untuk rekayasa genetis di bidang pertanian itu merupakan peluang emas.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini