Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Meredam Jurus Sakit Terdakwa

Terdakwa kasus dana Bulog, Sapuan, tak bisa diadili karena sakit. Alasan serupa akan terjadi pada peradilan Soeharto.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALASAN sakit agaknya menjadi jurus ampuh terdakwa untuk menghindari peradilan. Selasa pekan lalu, persidangan perdana terdakwa kasus penggelapan dana Yanatera Bulog senilai Rp 35 miliar, Sapuan, urung berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gara-garanya, Sapuan dikabarkan sedang sakit hipertensi dan bronkitis.

Menurut pengacara Sapuan, Mohammad Assegaf, kondisi kesehatan kliennya yang semakin memburuk itu berdasarkan surat keterangan Dokter Izhar Sapawi dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Walhasil, majelis hakim yang dipimpin Lalu Mariyun menunda sidang sampai Selasa pekan ini.

Persoalannya: bagaimana bila pada sidang kedua Sapuan tak hadir jua? Tidakkah itu akan membuat perkaranya terkatung-katung? Gejala serupa tak mustahil terjadi pada pengadilan mantan presiden Soeharto, yang rencananya akan dimulai pada akhir Agustus 2000. Apalagi, selama ini, banyak terdakwa, terutama dalam perkara korupsi, menggunakan alasan sakit agar tak perlu duduk di kursi pesakitan.

Muslihat itu berlangsung mulus lantaran pengadilan bersikap konvensional dengan mengharuskan persidangan bersifat lengkap. Artinya, sebagaimana diakui Lalu Mariyun, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan ketua majelis hakim pada perkara Soeharto, terdakwa harus hadir.

Boleh jadi pendapat itu berdasarkan penafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mencantumkan hak terdakwa untuk membela diri dan melarang terselenggaranya peradilan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Jadi, bila terdakwa sakit, baik jaksa maupun hakim harus menunggunya sampai sembuh.

Tapi, menurut ahli hukum pidana di Universitas Gadjah Mada, Bambang Purnomo, seharusnya hakim tak menerima mentah-mentah alasan sakit terdakwa. Bila terdakwa berkali-kali tak menghadiri persidangan, meskipun dibekali surat keterangan dokter, kata Bambang, hakim mestinya menguji lagi kesehatan terdakwa melalui dokter independen.

Argumentasi Bambang cukup beralasan. Para penegak hukum tentu masih ingat kasus ketidakhadiran Nur Usman, terdakwa pembunuhan anak tirinya, Roy Bharya, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 1985. Dengan berbekal surat keterangan sakit dari Dokter Wunardi di Rumah Tahanan Salemba, Nur Usman sampai 13 kali tak menghadiri sidang.

Setelah dua kali diuji oleh tim dokter dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ternyata Nur Usman dinyatakan sehat. Akibatnya, Nur Usman bisa dihadirkan di persidangan. Namun, bersamaan dengan itu, ia juga harus dilepaskan demi hukum karena masa penahanannya telah habis.

Itu untuk perkara pidana umum. Untuk perkara pidana khusus seperti korupsi, menurut Bambang, persidangan malah bisa berlangsung secara in absentia. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1971. In absentia tersebut, kata Bambang, bisa karena terdakwa tidak hadir—meski ada di rumah sakit—bisa pula lantaran terdakwa buron atau tak diketahui alamatnya.

Persidangan korupsi tanpa kehadiran terdakwa pernah diterapkan Pengadilan Negeri Stabat, Sumatra Utara. Meski terdakwa kasus korupsi Rp 5,8 miliar, Zulkifli Harahap, tak pernah menghadiri persidangan, majelis hakim yang diketuai Syamsiar Ketaren memvonis mantan Bupati Langkat itu dengan hukuman 10 bulan penjara.

Namun, hakim Syamsiar tak sependapat bila peradilan Zulkifli dianggap in absentia. "Peradilan in absentia itu kalau terdakwa tak dikenal. Ini terdakwanya ada, tapi tak bisa hadir di persidangan karena sakit," kata hakim yang menghukum Zulkifli pada 20 Juli 2000 itu.

Menghadapi kemungkinan itu, hakim Lalu Mariyun masih enggan menjelaskan sikapnya bila terdakwa Sapuan tak bisa hadir lagi pada sidang kedua dengan alasan sakit. "Kami tak mau berandai-andai. Lihat saja persidangannya nanti. Kalau terdakwa tak datang juga, baru kami akan memutuskan," kata Lalu.

Sementara itu, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, I Gde Sudharta, berpendapat, bila Sapuan sampai berkali-kali tak menghadiri sidang dengan alasan serupa, seyogianya hakim meminta tim dokter netral untuk memeriksanya. "Untuk memastikan terdakwa betul-betul sakit atau pura-pura," ujar Sudharta.

Giliran Mohammad Assegaf yang menilai pemeriksaan kembali oleh dokter yang ditunjuk hakim itu berlebihan. "Terdakwa kan tidak hadir dengan alasan jelas dan dibenarkan hukum," ujarnya. Assegaf menambahkan, alasan sakit Sapuan diperkuat dengan keterangan Kepala LP Cipinang dan dokter di LP tersebut.

Happy S., I G.G. Maha Adi, R. Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus