Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Mati Serbuk Setan

Sudah lima terdakwa narkotik dihukum mati di Tangerang. Yang paling penting, tentu, pembasmian jaringan peredarannya di dalam negeri.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGADILAN tampaknya semakin bersikap keras terhadap terdakwa kasus narkotik. Buktinya, di Pengadilan Negeri Tangerang, Jawa Barat, sudah ada tiga perkara narkotik dengan lima terdakwa divonis mati sejak 25 Januari 2000 (lihat infografis). Kelima terdakwa sama-sama warga negara asing dan ditangkap di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, setelah penerbangan dari Bangkok.

Rentetan vonis mati itu pula yang kini membuat Meirika Franola alias Ola, 30 tahun, merasa cemas menghitung hari. Betapa tidak. Wanita asal Cianjur, Jawa Barat, itu pada 3 Agustus 2000 telah dituntut hukuman mati oleh jaksa Mursidi di pengadilan yang sama. Ola diadili dengan tuduhan mengedarkan narkotik dengan jumlah tak tanggung-tanggung, 1,6 kilogram heroin dan 4 kilogram kokain.

Ola ditangkap polisi pada 12 Januari 2000 ketika sedang bersantap di McDonald's Bandara Soekarno-Hatta. Waktu itu, dua sepupunya, Rani dan Deni, sudah bersiap-siap hendak berangkat ke London. Dari Rani, petugas menyita 3,5 kilogram heroin, sementara dari Deni sebanyak 3 kilogram kokain. Rencananya, mereka akan membawa serbuk setan itu ke Inggris melalui Hong Kong.

Pada hari itu juga, polisi menggerebek sebuah rumah di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Lima orang tersangka pengedar narkotik tewas terhantam timah panas petugas. Satu di antaranya adalah Tony alias Tadjudin, warga Nigeria, yang juga suami Ola. Tony diduga menjadi koordinator bagi sebagian warga Nigeria yang menjadi pengedar narkotik di Indonesia.

Dengan menilik jumlah dan kualitas narkotik pada perkara Ola, tak aneh bila Ola merasa khawatir menyambut vonis mendatang dari majelis hakim yang diketuai Asep Iwan Iriawan. Sampai-sampai, di persidangan, wanita yang pernah menjadi disc jockey diskotek itu mengenakan busana serba hitam berikut sepatu bot hitam.

Pengacaranya, Duni Nirbayati, merasa yakin bahwa Ola tak akan divonis mati. "Dia hanya diperalat oleh Tony. Kalau melawan, dia disiksa. Tony juga selalu memberi pinjaman uang, sehingga Ola menjadi tergantung," kata Duni. Kedua sepupu Ola, menurut Duni, juga dipaksa oleh Tony.

Duni pun mengaku tak habis pikir dengan tuntutan jaksa, yakni hukuman mati plus denda Rp 1 miliar. Sedangkan dua sepupu Ola masing-masing dituntut hukuman seumur hidup plus sejumlah denda subsider kurungan. "Bagaimana mungkin terdakwa dihukum mati ditambah dengan denda?" ujar Duni.

Ola sendiri, yang dulu rambutnya dicat pirang, mengaku sangat berharap pengadilan tak menghukum mati. Sembari menyesali kasusnya, dia mengaku kini selalu memikirkan anak lelakinya, Bode. Anak berusia dua tahun itu berasal dari perkawinannya dengan Tony. "Mudah-mudahan hakim meringankan hukuman supaya saya bisa mengurus Bode," tuturnya.

Toh, jaksa Mursidi menganggap tuntutan mati itu seimbang dengan bobot kasus Ola. Lagi pula, tak ada hal meringankan pada Ola. Menurut jaksa, Ola sudah enam kali mengedarkan narkotik. Bubuk mematikan itu diperoleh dari Argentina, lantas dibawa ke Thailand dan Pakistan. Dari situ, narkotiknya dimasukkan ke Indonesia, untuk kemudian diedarkan ke Inggris.

Itu sebabnya jaksa menduga Ola tergolong bagian dari salah satu mata rantai sindikat peredaran narkotik internasional. Hal itu berbeda dengan dua sepupunya, yang hanya menjadi kurir. Karena itu, jaksa menuntut mereka dengan hukuman seumur hidup, bukan hukuman mati.

Namun, jaksa mengaku semula berniat menuntut Ola dengan hukuman seumur hidup. Tapi Jaksa Agung Marzuki Darusman memerintahkan agar terdakwa kasus itu dituntut hukuman mati. Akankah pengadilan mengabulkan tuntutannya? Ketua majelis hakim Asep Iriawan, meski membenarkan bahwa Ola hanya disuruh suaminya, belum bersedia menjelaskan sikapnya.

Yang pasti, ketua majelis hakim Silvester Djuma, yang memvonis mati Thomas Dhaniel, berpendapat bahwa hukuman itu sudah tepat. Sebab, jenis narkotik yang dibawa terdakwa tergolong kelas satu. Modus kejahatannya juga canggih, yakni memasukkan heroin ke dalam kapsul-kapsul untuk kemudian ditelan, sehingga kapsul berisi heroin itu tersimpan di dalam perut terdakwa.

Apalagi, kata Silvester, transit narkotik internasional ke Indonesia ternyata semakin menjadi-jadi. Sedangkan peredarannya di sini pun terus merebak. Karena itu, diharapkan vonis mati "bisa menjadi salah satu jalan untuk memberantas penggunaan narkotik," kata ketua majelis hakim Tusani Djafri, yang memvonis mati kakak-adik Til dan Bir Bahadur.

Hps, Rian

Vonis Mati Narkotik di PN Tangerang

No.TerdakwaWarga Negara Barang Bukti Tanggal Vonis
1.Nar Bahadur Tamang dan Bala TamangNepal554 gram heroin25 Januari 25 2000
2.Til Bahadur dan Bir BahadurNepal1,750 gram heroin17 Februari 2000
3.Thomas DhanielAngola1,125 gram heroin9 Augustus 2000

Di tingkat banding, vonis perkara nomor 2 diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus