Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tergelincir Tanah Menara

Dua petinggi Jamsostek diduga melakukan korupsi saat menyelesaikan sengketa tanah. Cuma karena salah persepsi?

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN itu berdiri menjulang tinggi di sisi selatan Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Gedung berlantai 25 itu berdinding kaca dan berkilat-kilat bila disiram sinar matahari. Itulah Menara Jamsostek milik PT Jamsostek, perusahaan yang mengelola dana asuransi tenaga kerja di Indonesia. Tapi jelas bukan karena saking tinggi dan menterengnya, menara itu kerap diterpa masalah. Bahkan setelah para penyewa menyesaki lantai-lantai di dalamnya.

Persoalan yang muncul diduga gara-gara ulah para petinggi perusahaan milik negara ini. Tahun lalu, misalnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencurigai adanya penggelembungan dana proyek pembangunan gedung, dari Rp 340 miliar menjadi lebih dari Rp 400 miliar. Hingga saat ini penyidikan kasus itu terus berlanjut, dengan tersangka mantan direktur utama Abdillah Nusi dan kawan-kawan.

Belum tuntas kasus itu dikuak, dugaan korupsi datang lagi. Pekan lalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya kembali mengungkap adanya dugaan korupsi dalam kasus pembelian tanah Menara Jamsostek. Polisi bahkan sudah menetapkan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi dan seorang direkturnya sebagai tersangka yang merugikan negara Rp 18,5 miliar. Kedua tersangka dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Mereka diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Ancaman hukumannya 20 tahun penjara.

Menurut Kepala Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Anton Wahono, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dari 20 orang saksi, di antaranya dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sudah cukup. Salah satunya adalah surat teguran yang pernah diberikan oleh BPK kepada Jamsostek.

Kasus itu berpangkal pada tanah yang ditempati Menara Jamsostek sekarang. Dulu lahan ini milik sebuah perusahaan kontraktor, PT Biro Bangunan Sudardjo. Perusahaan ini lalu menjual tanahnya, seluas 3,6 hektare, kepada PT Lipoprofi dengan harga Rp 2,5 miliar. Namun, pada saat hampir bersamaan, PT Biro Bangunan Sudardjo juga mengalihkan hak kuasa penuh atas tanah itu kepada D. Sidharta Sindubrata (almarhum) dengan harga Rp 1,7 miliar. Inilah kemudian yang menjadi biang persoalan.

PT Jamsostek (dulu Perum Astek) mendapatkan sebagian tanah itu, 1,6 hektare, dengan harga sekitar Rp 6 miliar dari Lipoprofi pada 1988. Sisanya? Oleh Lipoprofi dipecah dan dijual ke pihak lain. Jamsostek sendiri kemudian memperkuat hak kepemilikan tanahnya dengan mengurus sertifikat hak guna bangunan ke Badan Pertanahan Nasional.

Merasa juga memiliki hak atas tanah itu, mendiang Sidharta pun menjualnya ke PT Bina Daya Cipta Rp 6 miliar. Transaksi dilakukan antara Sidharta dan Direktur Utama Bina Daya Cipta, Moehammad Abdurrachman. Hanya, Abdurrachman mengaku kaget karena ternyata tanah yang dibelinya tersebut telah dikuasai oleh Jamsostek. Akhirnya dia menggugat perusahaan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Siapa yang menang? Tidak ada. Gugatan tersebut berakhir dengan perjanjian damai di luar sidang, pada April 2002. Setelah melalui proses tawar-menawar, Jamsostek bersedia membayar ganti rugi kepada perusahaan Abdurrachman sebesar Rp 18,5 miliar—jauh di bawah nilai gugatan yang mencapai Rp 156 miliar.

Dari situlah dugaan korupsi mencuat. Di mata Ajun Komisaris Besar Polisi Anton Wahono, penyelesaian lewat musyawarah sebelum vonis jatuh patut diduga melanggar hukum. Alasannya? Badan Pemeriksa Keuangan saat itu telah memberi tahu Jamsostek agar gugatan itu tak dibayar, karena dasar hukum yang dipakai Bina Daya Cipta tak kuat. Mereka hanya memiliki surat ukur tanah. Padahal, kata Anton, surat ini tak memiliki kekuatan hukum dan dapat dimiliki setiap orang atas tanah mana pun. Dalam suratnya kepada Jamsostek, BPK juga tak bisa menerima alasan Jamsostek yang bersedia damai hanya demi pertimbangan bisnis. BPK bahkan menganjurkan Jamsostek supaya meneruskan proses hukum.

Bukan cuma itu, dua petinggi PT Jamsostek itu juga disangka melakukan korupsi karena membayar uang damai Rp 8,2 miliar kepada mendiang Andriana Siegens. Seperti Bina Daya Cipta, Andriana juga mengaku memiliki tanah yang sekarang dikuasai Jamsostek. Proses damai ini dicurigai oleh polisi. Sebab, sebetulnya gugatan itu telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena penggugat tak punya bukti autentik mengenai pemilikan tanah.

Dalam kasus damai dengan Bina Daya Cipta, Komisi Masyarakat untuk Penyelidikan Korupsi (ICW) pun mempunyai kecurigaan serupa. Karena itulah, lembaga ini ikut melaporkannya ke polisi. Indikasi adanya korupsi bisa dilihat dari jumlah "uang damai" yang diserahkan ke Bina Daya Cipta. Menurut ICW, Jamsostek tampaknya menetapkan angkanya tanpa memperhitungkan harga tanah pada waktu itu.

ICW pun menyimpan bukti yang menunjukkan Jamsostek sudah menetapkan angka Rp 20 miliar sebelum vonis gugatan jatuh. "Jangan-jangan yang dikeluarkan memang Rp 20 miliar tapi yang diberikan (ke M. Abdurrachman) cuma Rp 18,5 miliar, dan sisanya dibagi-bagi," ujar Fahmi dari ICW kepada Endri Kurniawati dari TEMPO.

Kecurigaan itu kian menganga karena diduga bukti kepemilikan Bina Daya Cipta atas tanah itu tidak kuat. Malah, ICW menduga bos perusahaan ini, Abdurrachman, menggunakan surat-surat palsu ketika membeli tanah dari Sidharta. Karena itu, jual-beli itu mestinya batal demi hukum dan Bina Daya Cipta tak berhak mendapatkan uang damai dari Jamsostek.

Menghadapi tuduhan miring, Direktur Utama Jamsostek Ahmad Djunaidi cukup tenang. Kepada pers, dia mengakui, Menara Jamsostek memang banyak masalah sejak awal didirikan. Sebagai orang yang ditunjuk meneruskan biduk perusahaan, ia tak punya pilihan lain kecuali melanjutkan pembangunan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengannya untuk menghindari kerugian lebih besar, termasuk masalah yang berhubungan dengan kepemilikan tanah.

Djunaidi pun mengaku terpaksa menempuh jalan damai dalam kasus melawan PT Bina Daya Cipta. Sebab, penyelesaian melalui jalur hukum membutuhkan waktu bertahun-tahun, sementara biaya perawatan gedung relatif besar, yakni Rp 350 juta. Lagi pula, sengketa tanah itu sudah diselesaikan melalui putusan perdamaian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, April 2002. "Cuma, dalam memandang cara penyelesaian tanah tersebut, terjadi perbedaan persepsi," kata Djunaidi.

Pihak Bina Daya Cipta pun menganggap wajar mendapatkan uang damai itu. Hanya, Direktur Utama perusahaan ini, Abdurrachman, 55 tahun, yang dituduh ICW memalsu surat ini, menganggap kasus yang menimpa petinggi Jamsostek tak terkait dengan dirinya. Dugaan pemalsuan surat, katanya, merupakan urusan internal perusahaan. Apalagi yang mengadukan masalah ini ke kantor polisi adalah salah satu direktur Bina Daya Cipta, rekan Abdurrachman sendiri. "Demi Allah, saya tak pernah memalsu surat maupun tanda tangan," kata Abdurrachman. Dia juga mengaku pernah diperiksa polisi, tapi prosesnya sudah dihentikan, karena tak cukup bukti.

Lebih dari itu, kata Abdurrachman, bukti kepemilikan atas tanah Jamsostek yang dipunyainya autentik dan lengkap—bukan cuma selembar surat ukur tanah seperti yang dikatakan polisi. Sebab itu, klaimnya pada Jamsostek pun sah. Tapi ia siap bila polisi atau pengadilan memanggilnya lagi untuk diperiksa. "Kita lihat saja nanti, mana yang benar dan salah. Insya Allah, saya benar," katanya.

Jadi, benarkah terjadi korupsi? Sejauh ini polisi masih terus menyelidiki. Yang jelas, Anton Wahono tak peduli surat itu palsu atau tidak. "Saya hanya melihat dugaan korupsi yang merugikan negara," katanya.

Wicaksono, Ardi Bramantyo, Istiqomatul Hayati (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus