Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menebar Aroma Perang Lewat Satelit

Al-Jazeera dan CNN mengandalkan teknologi VSAT dalam meliput Perang Irak.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang bocah lelaki Irak terkulai tak berdaya. Tangan kanannya buntung dan sekujur wajahnya menghitam akibat luka bakar yang parah. Sebuah selang infus menancap di ujung kaki. Bocah itu—yang tak disebutkan namanya—terpejam. Diam tak sadarkan diri. Juru kamera Al-Jazeera meng-close-up wajahnya.

Pada saat bersamaan, 60 juta pasang mata di seluruh dunia menatap tayangan Al-Jazeera itu. Secara real time, dunia melahap liputan eksklusif yang menyayat rasa kemanusiaan. Teknologi komunikasi satelit yang terus berkembang membuat Perang Irak terasa begitu dekat. Bocah buntung dengan wajah terbakar memasuki berjuta rumah di seluruh dunia.

Al-Jazeera telah menjadi ikon pemberitaan soal Perang Irak. Trade mark sebagai stasiun televisi "bangsa Arab" memudahkan Al-Jazeera dalam mengakses pelbagai peristiwa di medan Perang Irak. Situs pencari Google bahkan menyebutkan "Al-Jazeera" telah menjadi kata yang paling banyak masuk ke mesin pencari mereka. Selama ini, kata "sex" selalu menjadi favorit pada search engine terpopuler itu.

Sukses besar Al-Jazeera tak diraih mudah. Untuk menghasilkan tayangan yang mendunia, stasiun televisi ini telah menanamkan ratusan juta dolar untuk infrastruktur teknologi broadcasting mereka. Sistem komunikasi satelit yang andal menjadi tulang punggung liputan para wartawan di lapangan. Teknologi VSAT (very small aperture terminal), perangkat komunikasi satelit yang berukuran kecil, menjadi perlengkapan standar 20 wartawan Al-Jazeera yang meliput Perang Irak. "Kami yang terbaik dalam peliputan Perang Irak," ujar Muhammad Jasim, Direktur Al-Jazeera.

Seperti Al-Jazeera, Cable News Network (CNN) juga mengandalkan sistem komunikasi satelit. CNN menyewa beberapa transponder satelit yang mencakup wilayah Timur Tengah. Untuk mencapai kantor pusat pemberitaan di Atlanta, Amerika Serikat, CNN menggunakan tiga satelit secara simultan: satelit Arabsat 2A (milik Arab Satellite Communication), satelit PAS9 (milik PanAmSat), dan satelit NSS-803 (milik New Skies Corporation).

Secara teknis, CNN menggunakan frekuensi C band (4 - 6,5 gigahertz) dalam komunikasi satelit mereka. Dari wilayah Irak, VSAT para wartawan CNN akan mengirim sinyal up-link ke transponder satelit Arabsat 2A. Dari sini, sinyal akan langsung ditransmisikan ke satelit PAS9. Kemudian satelit milik PanAmSat Corporation itu mengirim sinyal down-link ke markas besar CNN di Atlanta. Sedangkan satelit NSS-803 menjadi back-up bila terjadi gangguan teknis pada sistem komunikasi saat pengiriman berita berlangsung.

Sampai di sini, urusan pengiriman berita ke kantor pusat CNN selesai. Bila penanggung jawab redaksi CNN memutuskan berita yang diterima akan menjadi tayangan langsung, mereka langsung meneruskan suara dan gambar ke pelanggan. Secara teoretis, waktu yang dibutuhkan dari tempat kejadian menuju televisi pelanggan CNN tak lebih dari dua detik. Sebuah layanan komunikasi satelit real time yang mengagumkan.

Tapi, pada awal Perang Irak meletus, pemberitaan stasiun televisi Al-Jazeera mengungguli stasiun berita lainnya. Ini sebuah prestasi yang mengagumkan. Soalnya, stasiun televisi yang bermarkas di Doha, Qatar, ini baru berdiri pada 1 November 1996. Usia yang sangat muda untuk ukuran stasiun televisi broadcasting ternama.

Secara teknis, jaringan sistem komunikasi Al-Jazeera sungguh luar biasa. Maklumlah, stasiun milik pemerintah Qatar ini boleh dibilang tak pernah kekurangan dana operasional. Untuk mendukung penyiaran ke seluruh dunia, Al-Jazeera menyewa transponder di enam satelit: Arabsat 2A, Eutelsat Hot Bird III, Eutelsat W2, Echostar III, Echostar IV, dan Nilesat 1001. Wilayah cakupan televisi berbahasa Arab ini meliputi Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Eropa, hingga Amerika Utara.

Sebagai sebuah teknologi, komunikasi satelit sebenarnya barang lawas. Bahkan ide menempatkan sebuah satelit di orbit bumi telah diutarakan ahli fisika Sir Isaac Newton pada 1687. Ide brilian ini baru terealisasi pada 1 Oktober 1957, saat Rusia (ketika itu masih bernama Uni Soviet) berhasil meluncurkan Sputnik 1 ke orbitnya. Hanya, saat itu sistem komunikasi satelit baru pada fase percobaan untuk kepentingan militer.

Dalam peperangan kali ini, pemberitaan CNN mulanya sangat kedodoran. Meski memiliki pelbagai perangkat sistem komunikasi yang canggih, stasiun ini tak memiliki akses langsung ke medan pertempuran. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kisah CNN yang sempat menjadi acuan berita pada Perang Teluk 1991. Saat itu trio wartawan CNN—Peter Arnett, Bernard Shaw, dan John Holliman—melambungkan stasiun televisi ini dengan berita langsung dari jantung perang saat pesawat tempur Amerika membombardir Irak. Presiden Irak Saddam Hussein ketika itu mengizinkan CNN masuk ke Irak agar dunia mengetahui nasib korban sipil Irak.

Untuk mengatasi keterbatasan akses, dalam perang ini CNN menerjunkan 31 wartawan ke tank Abrams milik Amerika. Mereka mengikuti gerakan pasukan dan menyiarkan langsung situasi perang dari balik tank. Tentu saja, teknik pengambilan gambar seperti ini akan dijejali dengan bias pemberitaan. Untunglah, pasca-kejatuhan Saddam, para wartawan CNN bisa lebih leluasa meliput pelbagai peristiwa penting di Kota Bagdad. Bahkan mereka juga menyiarkan secara langsung proses penghancuran patung raksasa Saddam yang terletak di tengah Bagdad

Tapi, di Indonesia, Al-Jazeera tetap merajai pemberitaan soal Perang Irak. Bahkan The Washington Post, koran ternama di Amerika Serikat, pekan lalu menulis berita khusus soal orientasi pemirsa televisi di Indonesia. Menurut Post, masyarakat Indonesia lebih mempercayai berita Al-Jazeera ketimbang CNN. Al-Jazeera dianggap sebagai stasiun televisi berita yang "lebih jujur" ketimbang CNN.

Meluasnya pemirsa Al-Jazeera di Indonesia tak terlepas dari peran stasiun televisi di Indonesia. TV7, stasiun yang pertama kali merelai secara langsung tayangan Al-Jazeera, menjadi primadona penonton di Indonesia. Menurut juru bicara TV7, Uni Zulfiani Lubis, setiap hari ada 15 juta pemirsa TV7 yang menyimak tayangan langsung Perang Irak dari Al-Jazeera. Buntutnya, peringkat berita Irak di TV7 meningkat tajam. Untuk itu, TV7 tak perlu mengeluarkan biaya besar. "Tarif dari Al-Jazeera murah, kok. Sehari tak sampai 5.000 dolar," ujar Uni. Belakangan, stasiun televisi SCTV dan Metro TV ikut merelai siaran Al-Jazeera.

Meliput dan menyiarkan secara langsung sebuah peperangan bukanlah pekerjaan mudah. Selain membutuhkan koordinasi teknis yang rumit, siaran langsung juga membutuhkan dukungan dana yang kuat. Menurut Kepala Teknis Pemberitaan CNN, Eason Jordan, mereka menghabiskan dana sekitar US$ 35 juta (sekitar Rp 315 miliar) untuk meliput Perang Irak ini. Sekitar 40 persen dari dana itu dihabiskan untuk keperluan sistem komunikasi pemberitaan. "Tapi, bisa jadi dana yang dibutuhkan akan makin membengkak," ujar Jordan.

Setiyardi (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus