Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terjerat di Jilid Keempat

Untuk keempat kalinya Abu Bakar Ba’asyir didakwa melakukan terorisme. Jaksa yakin kali ini dia tak akan lolos.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga lembar kertas itu sudah diserahkan Abu Bakar Ba’asyir ke tim pembelanya Rabu pekan lalu. Bertulisan tangan, isinya bantahan Ba’asyir atas tuduhan yang diarahkan kepada dirinya. Pemimpin Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, itu memerlukan waktu sepekan untuk menyusun surat pembelaan yang rencananya akan dibacakannya di ruang sidang. ”Sebagian isinya akan kami pakai untuk eksepsi,” kata pengacara Ba’asyir, Ahmad Michdan, yang tergabung dalam Tim Pembela Muslim (TPM). Ba’asyir kini mendekam di Rumah Tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.

Sejak dua pekan lalu, Ba’asyir menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pria 72 tahun ini dituduh melakukan sejumlah kejahatan. Ia, misalnya, disebut mendalangi pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar. Juga dituduh menggerakkan perampokan Bank CIMB Niaga Medan, Agustus silam, yang menewaskan seorang polisi. Ba’asyir diringkus polisi pada Agustus lalu di Ciamis, beberapa saat sebelum peristiwa perampokan Bank CIMB.

Senin pekan lalu, jaksa membacakan dakwaannya terhadap Ba’asyir. Lewat surat dakwaan setebal 93 halaman, jaksa menjerat Ba’asyir dengan tujuh lapis pasal Undang-Undang Terorisme. Intinya, ia dituduh merencanakan kegiatan terorisme, mengajak orang lain melakukan terorisme, serta membantu tindakan terorisme. ”Ancamannya hukuman mati,” kata ketua tim jaksa Andi Muhammad Taufik kepada Tempo.

Menurut jaksa, Ba’asyir telah mengumpulkan uang sekitar Rp 1 miliar untuk membiayai pelatihan militer di Jantho. Sebagian uang tersebut digunakan untuk membeli puluhan senjata api laras panjang berikut ribuan amunisinya. Uang dikumpulkan Ba’asyir lewat Ubaidillah (Ubaid) alias Luthfi Haidaroh.

Ubaid pernah dipenjara karena menyembunyikan Noor Din M. Top. Kini Ubaid tengah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas tuduhan menggalang dana atas perintah Ba’asyir. ”Dana itu, menurut Ubaid, setengahnya digunakan untuk keperluan logistik pelatihan militer Jantho,” kata Ashluddin Hayani, pengacara Ubaid, kepada Tempo.

Ba’asyir dituduh menggunakan Jamaah Ansharut Tauhid untuk mengumpulkan dana. Jamaah Ansharut merupakan organisasi ketiga yang dibentuk Ba’asyir setelah Jamaah Islamiyah dan Majelis Mujahidin Indonesia. Di tiga organisasi ini Ba’asyir duduk sebagai amir alias pemimpin tertinggi.

Jamaah Ansharut itulah yang disebut-sebut ”kendaraan” Ba’asyir untuk mengumpulkan alumni Kamp Hudaibiyah, Filipina Selatan. Mereka antara lain Abu Tholut, Dulmatin, dan belakangan Toni Togar. Dulmatin sendiri telah tewas diterjang peluru Detasemen Khusus 88 Antiteror saat penggerebekan di Pamulang, Maret tahun lalu. ”Ba’asyir menunjuk Dulmatin dan Tholut untuk menggelar pelatihan itu,” kata Andi.

l l l

Ini bukan pertama kalinya Ba’asyir disidang karena kasus terorisme. Pada 1983, bersama Abdullah Sungkar, ia pernah ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena menolak Pancasila sebagai ideologi negara. Ba’asyir dan Abdullah kemudian kabur ke Malaysia dan di sana mendirikan Jamaah Islamiyah. Saat kasusnya dibuka kembali pada 2002, ia lolos karena Undang-Undang Subversif tak berlaku lagi. ”Ustad Ba’asyir mendapat amnesti dari pemerintah,” kata Michdan.

Pada 2002, Ba’asyir kembali ditangkap karena diduga terlibat dalam peledakan bom Bali pada 2001. Peristiwa itu sendiri dikenal dengan nama ”Bom Bali Pertama”. Ia kemudian divonis dua setengah tahun penjara. Hukuman tersebut bukan karena Ba’asyir terbukti terlibat dalam pengeboman, tapi karena pelanggaran dokumen keimigrasian.

Pada 2006, Ba’asyir kembali ditangkap karena diduga terlibat dalam kasus bom Bali kedua yang terjadi pada 2005. Tapi lagi-lagi tuduhan terorisme gagal dijeratkan kepada dirinya. Lewat putusan peninjauan kembali, Mahkamah menyatakan Ba’asyir hanya melanggar pasal pidana, tidak melakukan terorisme.

Tiga vonis yang membebaskan Ba’asyir dari tuduhan teroris inilah yang akan dipakai TPM sebagai senjata menghadapi kasus Ba’asyir kali ini. ”Tuduhan melakukan terorisme kepada Ba’asyir dalam pengadilan jilid empat ini omong kosong,” kata Michdan. ”Ustad tak pernah terbukti secara sah terlibat terorisme.”

Tapi Andi menegaskan pengadilan kali ini berbeda dengan tiga pengadilan Ba’asyir sebelumnya. ”Kali ini dia tak akan lolos,” ujar Andi yakin. Selama enam bulan diperiksa, Ba’asyir sendiri melakukan gerakan tutup mulut, tak menjawab satu pun pertanyaan penyidik. Tapi, atas perlawanan Ba’asyir ini, Andi menyatakan itu tak jadi masalah. ”Kami punya banyak bukti dan saksi yang menunjukkan dia terlibat terorisme,” kata Andi.

Saksi itu antara lain Ubaid, Syarif Usman, dan Hariadi Usman. Syarif dan Hariadi kini tengah menja­lani persidangan. Mereka didakwa ikut menyumbang pelatihan militer ini. Di pengadilan Ba’asyir nanti, jaksa yakin mereka akan mengaku menggelontorkan duit untuk pelatihan militer atas perintah Ba’asyir.

”Senjata” lain yang disiapkan jaksa adalah kesaksian Pamriyanti dan Anton Sujarwo. Selain ikut dalam pelatihan militer di Aceh, keduanya terlibat dalam perampokan Bank CIMB Medan serta penyerangan kantor Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang. ”Mereka mengaku mendapat perintah fa’i, mencari uang dengan merampok, dari Ba’asyir,” kata Andi.

Lalu ada barang bukti telak lainnya: rekaman pelatihan militer di Jantho. Menurut Andi, Ubaid mengaku membuat video ini atas perintah Ba’asyir. Video itu sendiri digunakan Ba’asyir sebagai laporan penggunaan uang kepada para donatur, di antaranya Syarif dan Ha­riadi. Jaksa bahkan juga memiliki video yang memperlihatkan Ba’asyir tengah menonton video pelatihan militer itu. ”Video-video saja cukup untuk menjeratnya,” kata Andi.

Menurut Andi, Ba’asyir juga terus mengikuti perkembangan pelatihan militer di Jantho. Itu dibuktikan dengan adanya komunikasi telepon (call detail record/CDR) antara Ba’asyir dan Ubaid dengan memakai telepon seluler. Andi mengistilahkan ini sebagai ”bukti telak”. ”Ini bukti dia intens memantau perkembangan pelatihan militer,” ujar Andi. Selain adanya CDR Ba’asyir-Ubaid, jaksa memiliki catatan komunikasi Ubaid dengan para koordinator lapangan di Jantho, termasuk Dulmatin.

Ba’asyir membantah semua tuduhan ini. Menurut Ba’asyir, dia mengetahui pelatihan militer itu dari orang lain dan berita di televisi. Dalam surat yang diserahkannya kepada tim pembelanya, ia menyebutkan penangkapan dan pelatihan militer di Aceh itu merupakan rekayasa Densus 88. ”Saya juga tidak kenal Dulmatin,” kata Ba’asyir.

Secara khusus, dalam suratnya yang diberikan kepada tim pembelanya, Ba’asyir menjelaskan perihal Jamaah Ansharut Tauhid. Organisasi ini, ujar Ba’asyir, bukan organisasi teroris, tapi untuk syiar dan menegakkan perintah Allah. Michdan mengakui Ba’asyir memang menggalang uang lewat Jamaah Ansharut, tapi bentuknya sedekah dari jemaah dan untuk berdakwah, misalnya membeli mobil ambulans agar bisa melayani orang miskin. ”Sebagian uang disedekahkan kepada fakir miskin,” kata Michdan.

Michdan menyebut pelatihan militer itu adalah inisiatif Dulmatin. Ba’asyir, kata Michdan, mengetahui ada pelatihan itu lewat berita televisi. ”Seseorang juga melapor kepada Ba’asyir bahwa pelatihan itu digunakan para relawan untuk berjihad di Palestina,” kata Michdan.

Menurut Michdan, Ba’asyir sendiri menyetujui karena pelatihan itu merupakan i’dad, latihan fisik mempersiapkan diri menghadapi musuh Islam. Hanya, kata Michdan, Ba’asyir menyayangkan kenapa pelatihan itu menggunakan senjata api. ”Menggunakan senjata api itu tindakan ilegal,” kata Michdan menirukan Ba’asyir.

Mustafa Silalahi


Membidik dari Sedekah dan Senjata

Jaksa menyebut, sepanjang Maret 2009-Maret 2010, sejumlah orang, termasuk Abu Bakar Ba’asyir, mengumpulkan uang untuk membiayai misi jihad mereka. Menurut jaksa, uang atas nama sedekah diserahkan ke Ubaid atas perintah Ba’asyir. Ba’asyir berkeras menolak soal adanya sedekah yang dijadikan polisi dan jaksa untuk menjeratnya dengan undang-undang antiterorisme ini.

Mereka yang Bersedekah

Total:
Rp 1.039.500.000

Abu Bakar Ba’asyir:
Rp 5 juta
US$ 5.000
Rp 120 juta

Syarif Usman:
Rp 100 juta
Rp 100 juta

Hariyadi Usman:
Rp 150 juta

Thoyib (Bendahara Jamaah Ansharut Tauhid):
Rp 60 juta
Rp 25 juta
Rp 75 juta
Rp 10 juta

Hafid:
Rp 60 juta
Rp 20 juta

Aman Abdurrahman:
Rp 20 juta
US$ 100

Yudo (JAT Jawa Timur):
Rp 17 juta

Arif Abdul Majid (Amir JAT Jawa Tengah):
Rp 25 juta

Jaja:
Rp 115 juta
Rp 13 juta

Abdul Hakim (Amir JAT Bima, NTB):
Rp 20 juta

Joko Daryono:
Rp 10 juta

Lainnya:
Rp 140 juta

Uqbah:
Rp 40 juta

Ke Mana Sedekah Mengalir

Dulmatin: Rp 687 juta

Rp 325 juta
Untuk membeli 24 pucuk senjata api jenis M-16. AK-47, pistol revolver + magasin + peluru. Sisanya untuk biaya operasional pelatihan militer di Juntho.

Rp 15 juta
Biaya survei lokasi pelatihan militer Ubaid, Abu Tholut, dan Dulmatin.

Rp 43 juta
Membeli mobil Toyota Kijang.

Membeli handycam dan 3 kaset mini DV.

Biaya operasional lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus