Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mirza Adityaswara
Pasar keuangan kini sedang membicarakan Garuda Indonesia. Bukan tentang kualitas pelayanannya yang terus membaik, melainkan tentang harga saham perdananya yang turun. Publik yang tidak terbiasa mengikuti ”valuasi” di pasar modal pasti bertanya-tanya mengapa harga saham yang terlihat ”murah” malah turun pada saat dilepas di pasar perdana. Pada hari perdagangan ketiga, harga saham Garuda anjlok 24 persen, dari harga perdana Rp 750 menjadi Rp 560.
Media juga menyoroti tiga sekuritas badan usaha milik negara sebagai penjamin emisi yang harus menyerap sekitar Rp 2 triliun dari jumlah initial public offering (IPO) Rp 4,7 triliun tersebut. Bukan hanya itu. Rencana awal, jumlah penawaran IPO Garuda 9,36 miliar lembar saham, tapi kemudian diturunkan ke 6,34 miliar lembar saham karena lemahnya permintaan investor.
Penjualan saham perdana seperti apa yang dapat dianggap sukses? Apa penyebab kurang lakunya saham Garuda? Apakah karena kondisi pasar yang sedang lemah? Apakah ribut-ribut soal IPO Krakatau Steel berpengaruh terhadap proses IPO Garuda? Setelah sekarang harganya turun, bagaimana sebaiknya melihat nilai saham Garuda untuk investasi jangka panjang?
Kriteria IPO yang sukses
Ada lima hal yang menandai keberhasilan suatu IPO, yaitu emiten berhasil mendapat dana, investor perdana memperoleh untung yang wajar, nilai kepemilikan pemegang saham pengendali meningkat, penjamin emisi tidak rugi, dan IPO tersebut membuat investor serta para calon emiten bergairah masuk ke pasar modal.
Faktor pertama, manajemen Garuda mulai berhasil memperbaiki citranya sebagai maskapai yang sebelumnya sering terlambat menjadi cukup tepat waktu. Berdasarkan survei Skytrax, Garuda telah mencapai empat bintang, yang artinya satu kelas dengan 29 maskapai lainnya, seperti British Airways dan Qantas. Bintang lima diraih oleh hanya tujuh maskapai, di antaranya Singapore Airlines dan Cathay Pacific.
Restrukturisasi keuangan berhasil mengurangi utang Garuda 38 persen. Jumlah pesawat bertambah dari 48 menjadi 84 dalam periode 2007-2010. Garuda membukukan laba bersih pada 2007, 2008, dan 2009. Yang dibutuhkan setelah restrukturisasi utang adalah tambahan dana segar untuk ekspansi. Garuda perlu melakukan ekspansi usaha sambil sekaligus meningkatkan efisiensi biaya agar dapat bersaing dengan maskapai asing yang sudah terbang langsung ke berbagai kota di Indonesia. Bisnis rute domestik juga harus dijaga karena pesaing dalam negeri, seperti Lion Air, sudah mengambil pangsa pasar Garuda. Maka sangat disayangkan bahwa dana IPO yang diperoleh Garuda tidak bisa maksimal.
Faktor kedua, agar emiten mendapat dana, investor harus tertarik membeli saham perdana tersebut dengan cara memberi potensi keuntungan. Pasar modal bukanlah lembaga sosial. Biasanya investor perdana diusahakan bisa mendapat keuntungan 10-20 persen. Agar ada potensi keuntungan, harga saham dalam bentuk ”valuasi” yang ditawarkan tidak boleh mahal. Emiten dan pemegang saham pengendali tidak boleh egois dengan berprinsip ”yang penting sudah mendapatkan dana”. Jangan lupa bahwa mungkin dua tahun ke depan, emiten akan kembali memerlukan para investor tersebut untuk penambahan modal. Apalagi jika pembeli saham BUMN tersebut adalah dana pensiun dan asuransi BUMN. Sudah selayaknya dana yang dikelola untuk para pensiunan tersebut diberi potensi keuntungan, bukan dirugikan.
Faktor ketiga, ketika suatu BUMN melakukan IPO, saham pemerintah nilainya naik dan turun sesuai dengan fluktuasi harga saham di pasar. Pemerintah harus berupaya agar harga saham setelah IPO secara bertahap terus naik. Jika setelah IPO harga saham turun drastis 24 persen, artinya nilai kepemilikan saham pemerintah juga turun 24 persen. Karena itu, penentuan harga IPO menjadi penting. Selama pemerintah masih menjadi pemegang saham pengendali, pemerintah tidak perlu khawatir dikritik jika harga saham naik 30 persen setelah IPO. Pemerintah justru harus khawatir kalau harga saham turun.
Faktor keempat, IPO yang baik adalah jika saham dibeli oleh investor, bukan diserap oleh penjamin emisi. Salah satu tujuan IPO adalah untuk keterbukaan, dan perbaikan tata kelola perusahaan. Transparansi tersebut hanya dapat diperoleh jika saham emiten dibeli oleh investor, karena secara reguler mereka mengikuti perkembangan emiten dan mendorong terjadinya perbaikan kinerja. Jika karena IPO kurang laku, sehingga penjamin emisi harus menyerap—bahkan menderita kerugian—di masa datang emiten tersebut akan kesulitan meyakinkan pasar untuk membantu mencari modal tambahan.
Faktor kelima, masih banyak BUMN yang memerlukan tambahan modal. BUMN di sektor perbankan, semen, konstruksi, tambang, listrik, gas, dan sebagainya dalam beberapa tahun ke depan memerlukan tambahan dana dari pasar modal. Karena itu, penting sekali membuat setiap IPO BUMN sukses. Suksesnya suatu IPO akan mengundang emiten lain masuk ke bursa efek dan memperbanyak investor yang berpartisipasi.
Dari penjelasan lima hal di atas, faktor valuasi saham menjadi faktor utama IPO Garuda kurang menarik investor. Tentu saja, ada pengaruh negatif dari faktor pasar saham di Indonesia yang sedang melemah karena kekhawatiran atas kenaikan inflasi dan suku bunga.
Valuasi saham
Masyarakat awam masih sering salah melihat mahal-murahnya saham dari harga per lembar. Harga Rp 500 dianggap murah dan harga Rp 50 ribu dianggap mahal. Padahal menilai saham seharusnya dari ”valuasi”-nya. Yang paling populer adalah rasio valuasi Price to Earning Ratio (atau PER). Semakin tinggi semakin mahal. PER rata-rata emiten di Indonesia sekitar 13 kali. Saham seperti Astra International yang harganya mencapai Rp 50 ribu tampak mahal, padahal secara valuasi cukup murah karena PER-nya hanya 12 kali. Adapun Garuda di harga IPO Rp 750 terlihat murah, padahal itu tidak murah karena valuasi PER-nya 26 kali, dua kali lipat dari rata-rata PER pasar Indonesia. Bersamaan dengan IPO Garuda, ternyata rights issue Bank Mandiri cukup sukses padahal ditawarkan pada harga Rp 5.000. Kinerja Bank Mandiri memang bagus, tapi investor bersedia membeli karena valuasi Mandiri yang menarik, PER-nya 10 kali.
Mungkin karena mengalami trauma dikritik dalam kasus IPO Krakatau Steel, harga IPO Garuda ditetapkan di atas Rp 500 tanpa mempertimbangkan bahwa di harga Rp 750 tersebut PER Garuda 26 kali, sedangkan PER Krakatau Steel pada saat IPO di harga Rp 850 sekitar 11 kali. Kalau sekadar ingin menawarkan harga IPO Garuda di atas Rp 1.000, pada masa persiapan bisa dilakukan reverse stock atau penggabungan saham. Misalnya, harga saham IPO suatu emiten berdasarkan valuasi yang wajar seharusnya Rp 400, tapi supaya tidak dikritik terlalu murah, dilakukan reverse stock dengan dikalikan 3 menjadi Rp 1.200. Dan agar nilai kapitalisasinya tidak berubah, jumlah lembar saham harus dibagi 3.
Investor yang memegang saham Garuda sebaiknya berfokus pada potensi perbaikan kinerja emiten. Pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia naik pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat. Dengan mendapat dana IPO, rasio utang Garuda akan membaik, sehingga perusahaan bisa melakukan ekspansi usaha lebih leluasa. Bagi investor jangka panjang, disarankan jangan melihat valuasi Garuda hanya memakai metode PER, tapi memakai Adjusted EV/EBITDAR atau Enterprise Value to Earnings Before Interest Tax Depreciation Amortization and Rent. Di harga IPO Rp 750 tersebut, valuasi Garuda memakai metode Adjusted EV/EBITDAR sekitar 6,8 kali. Angka itu lebih murah dibanding maskapai Cina yang rata-rata di atas 9 kali dan Air Asia yang 7,6 kali. Jadi, dalam jangka panjang, ada harapan saham Garuda akan naik kembali, dengan catatan harga minyak relatif stabil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo