Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keletihan menggurat di wajah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah. Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya memeriksanya selama tujuh jam, Jumat dua pekan lalu. Tak banyak yang diungkapkan Chandra kepada wartawan yang mencecarnya dengan pertanyaan seusai pemeriksaan itu. ”Silakan tanya penyidik,” katanya.
Polisi memeriksa Chandra sebagai saksi dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Kasus pembunuhan ini mencuat ketika Nasrudin tewas ditembak orang tak dikenal di kawasan Modernland, Tangerang, 14 Maret lalu. Dua peluru tepat mengenai kepala pria 41 tahun itu. Sehari kemudian, dia meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
Dua bulan kemudian, polisi mengungkap kasusnya. Seorang tersangka akhirnya dapat dibekuk di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dari sinilah terungkap pelaku pembantaian Nasrudin. Dalam kasus ini polisi menetapkan sembilan tersangka. Tiga di antaranya orang penting, yakni Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Antasari Azhar, Komisaris PT Pers Indonesia Merdeka Sigid Haryo Wibisono, dan mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Wiliardi Wizard.
Dalam perkembangan penyidikan, Antasari mengaku mengenal Nasrudin dan Rhani Juliani—istri siri Nasrudin, yang bekerja sebagai caddy golf. Secara tak sengaja, ketiganya pernah bertemu di Kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan, pada Mei 2008.
Selama pemeriksaan, Chandra dicecar dengan 30 pertanyaan seputar penyadapan terhadap nomor Nasrudin dan Rhani. Menurut sumber Tempo, saat diperiksa, Chandra membawa surat perintah penyadapan yang ditandatanganinya. Ketika itu Chandra mengaku penyadapan dilakukan atas perintah lisan Antasari. Ada lima nomor yang diminta agar disadap, dua di antaranya digunakan Nasrudin dan Rhani, sisanya nomor teman main golf Nasrudin. ”Perihal penyadapan itu diketahui polisi dari telepon genggam Antasari,” ujar sumber itu.
Selain menjalani pemeriksaan, Chandra menyerahkan isi rekaman itu kepada penyidik polisi. ”Isinya soal percintaan saja,” kata si sumber. Ketika itu keterangan Chandra langsung dikonfrontasikan dengan Antasari.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Muhamad Iriawan, penyidik juga memeriksa Direktur Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Ibrahim serta lima penyelidik teknologi informasi yang melakukan penyadapan. Dari keterangan mereka, kata Iriawan, terbukti Antasari-lah yang memerintahkan penyadapan tersebut.
Iriawan menjelaskan, penyadapan itu dilakukan mulai Januari 2009. Setelah satu bulan, Komisi tidak menemukan indikasi soal korupsi di dalamnya. Namun, Antasari meminta agar penyadapan dilanjutkan. Setelah satu bulan berjalan, hasilnya tetap nihil. Tidak ditemukan pembicaraan soal korupsi. Akhirnya penyadapan dihentikan sekitar awal Maret lalu.
Pengacara Antasari, Juniver Girsang, membantah tudingan bahwa kliennya memerintahkan penyadapan. Dia mengatakan, Antasari hanya meminta supaya nomor-nomor itu dideteksi karena kerap meneror istrinya, Ida Laksmiwati. ”Untuk mengetahui siapa pemilik telepon ini,” ujar Juniver.
Permintaan untuk mendeteksi itu, kata Juniver, lantaran Antasari sudah curiga bahwa nomor yang mengganggu istrinya itu milik Nasrudin. ”Karena saat itu hubungan mereka (Antasari dengan Nasrudin) kurang baik,” katanya. Tapi, setelah dideteksi, ternyata nomor-nomor itu bukan milik Nasrudin.
Juniver berdalih penyadapan itu tak berkaitan dengan kliennya. Alasannya, Antasari tidak berwenang melakukan penyadapan. Kliennya itu, Juniver melanjutkan, hanya meminta agar nomor yang meneror istrinya itu dideteksi. ”Bukan disadap,” ujarnya. Lagi pula, kata dia, harus ditelusuri prosedurnya. ”Memangnya bisa dengan perintah lisan?” ujarnya.
Menurut Iriawan, dengan adanya penyadapan ini, semakin kuat dugaan keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin. ”Kalau tidak ada hubungannya, ngapain disadap?” katanya. Namun, Iriawan menolak membeberkan isi percakapan yang telah disadap itu.
Chandra, yang semula mengatakan penyadapan itu atas perintah Antasari, belakangan meralat pernyataannya. Dikatakan, penyadapan itu disampaikan Antasari kepada penyidik Komisi dalam suatu pertemuan, tempat Chandra hadir di dalamnya. Sehingga Chandra kemudian membuat surat perintah tersebut. Namun, surat perintah itu tidak mencantumkan nama, hanya ada nomor. ”Semua sudah sesuai aturan,” kata Chandra.
Iriawan tak mempersoalkan bantahan tersebut. ”Itu hak Chandra,” katanya. Yang jelas, keterangan dari penyelidik Komisi sudah jelas bahwa penyadapan itu atas perintah Antasari. Menurut Iriawan, dengan kuatnya indikasi keterlibatan Antasari, polisi menargetkan berkasnya segera dilimpahkan ke kejaksaan pekan depan.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Gayus Lumbuun, menilai telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan penyadapan. ”Soal teror tidak masuk ranah pidana korupsi,” katanya. Mestinya pimpinan Komisi ketika itu bisa membedakan tugas dari masalah pribadi.
Kendati demikian, Gayus mengatakan, kesalahan ini bukanlah pelanggaran berat. ”Ini soal teknis saja,” ujarnya. Artinya, kata dia, ada salah penafsiran dalam menggunakan kewenangan Komisi untuk menyadap. Karena itu, Gayus berharap, masalah penyadapan ini tidak digunakan sebagai senjata untuk melemahkan Komisi.
Soal dugaan penyalahgunaan wewenang ini, Iriawan mengaku belum menelusurinya. Lagi pula pasal yang digunakan menjerat Antasari masih Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana.
Sejak Antasari menjadi tersangka kasus pembunuhan, posisi Komisi Pemberantasan Korupsi mulai makin sering ”digoyang”. Pro-kontra kewenangan dan kinerja komisi antikorupsi ini tanpa seorang pemimpin menjadi perdebatan. Bahkan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat sempat melontarkan wacana agar komisi ini menunda pengambilan keputusan strategis sebelum kepemimpinan Komisi kembali normal.
Pendapat Dewan ini mendapat reaksi keras berbagai kalangan, terutama empat pimpinan Komisi lainnya, yang menganggap tak ada masalah dengan jabatan Ketua Komisi yang nonaktif. ”Sistem kepemimpinan kami kolegial,” kata Chandra. Menurut dia, jabatan ketua hanya soal seremonial dan protokoler.
Selain perdebatan tentang ”pincang”-nya Komisi, muncul perdebatan soal ”keistimewaan” yang dimiliki Komisi dalam menangani kasus korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memang memberi kewenangan besar. Misalnya, Komisi dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; mengambil alih penyidikan kasus korupsi yang ditangani kepolisian atau kejaksaan; dan dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan.
”Goyangan” terhadap Komisi makin terasa setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyambangi kantor Komisi, sepekan sesudah Chandra diperiksa polisi. Badan Pengawasan melakukan audit. ”Kami akan mengaudit kinerja dan pertanggungjawaban keuangan,” kata Ketua BPKP Didi Widayadi di Komisi, Kamis pekan lalu.
Dalam audit tersebut, turut diperiksa penggunaan alat penyadap. Untuk memeriksa hal itu, Badan Pengawasan bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Departemen Komunikasi dan Informatika untuk mengaudit teknologi dan teknik secara finansial maupun nonfinansial.
Wakil Ketua Komisi Bibit Samad Riyanto mengatakan, kinerja Komisi sudah sesuai dengan aturan. Khusus penggunaan alat sadap, Bibit mengatakan lembaga itu memiliki perjanjian kontrak dengan pembuatnya. ”Kami hanya tahu bagaimana cara menjalankannya,” ujarnya.
Rini Kustiani, Ramidi, Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo