Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tersebab Iuran Tenis Hakim

Sejumlah hakim di daerah mengeluhkan iuran-iuran dari pusat. Pangkal soal kriminalisasi juru bicara Komisi Yudisial.

6 Desember 2018 | 00.00 WIB

Kejuaraan Nasional Tenis Beregu Piala Ketua Mahkamah Agung di Denpasar, September 2018.
Perbesar
Kejuaraan Nasional Tenis Beregu Piala Ketua Mahkamah Agung di Denpasar, September 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Gaji hakim Andika—bukan nama sebenarnya—selalu terpotong setiap bulan untuk sejumlah iuran. Tiga pungutan wajib itu meliputi iuran untuk Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP), pembayaran rutin sebagai anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), dan biaya untuk jurnal Ikahi. ”Meski tidak pernah bermain tenis, kami tetap membayar,” kata hakim di Pulau Sumatera ini, Selasa pekan lalu.

Total satu bulan Andika harus merelakan Rp 135 ribu terpotong dari gajinya, yang mencapai Rp 11 juta. Rinciannya: Rp 60 ribu untuk iuran persatuan tenis dan Rp 75 ribu untuk pembayaran rutin anggota beserta jurnal Ikahi. Selain untuk pembayaran tersebut, gaji Andika terpotong lagi Rp 65 ribu untuk iuran di pengadilan tingkat pertama.

Andika sesungguhnya tak mempersoalkan besaran iuran tersebut. Namun ia bersama hakim-hakim lain menanyakan esensi dari pungutan yang harus mereka bayarkan per bulan itu. ”Esensinya tenis dilembagakan untuk pencari keadilan itu apa?” ucapnya. Jika dihitung-hitung, dari iuran tenis saja bisa terkumpul Rp 420 juta tiap bulan. Angka itu berdasarkan jumlah hakim di seluruh Indonesia yang mencapai 7.000 orang dikali Rp 60 ribu.

Mahkamah Agung menggelar Kejuaraan Nasional Tenis Beregu Piala Ketua Mahkamah Agung tiap tiga tahun sekali. Kejuaraan ini rutin dilaksanakan sejak 1950-an. Pada September lalu, perlombaan tenis ke-17 ini digelar di Denpasar. Pengadilan tinggi wajib mengirim delegasi masing-masing untuk mengikuti kejuaraan tersebut.

Setiap hendak mengirim delegasi, menurut Andika, pengadilan tinggi di tempatnya memberlakukan pungutan tambahan kepada tiap anggota senilai Rp 250 ribu-Rp 1 juta. Para delegasi membutuhkan ongkos dan akomodasi selama di tempat pertandingan sebesar Rp 100-200 juta. ”Besarannya tergantung tiap daerah,” ucapnya.

Di tiap kantor pengadilan, menurut dia, juga disarankan membangun lapangan tenis. Andika tak tahu dari mana asal uang yang dialokasikan untuk membangun lapangan itu karena anggaran pengadilan tak besar.

Selama ini Andika dan hakim-hakim lain tak pernah bersuara atas iuran-iuran tersebut. Sebab, jika ada salah satu hakim mempertanyakan esensi dari iuran tenis, Mahkamah Agung langsung melakukan ”pembinaan”. Tahun lalu, kata dia, seorang hakim di Jambi mengkritik pengadilan agar tidak sekadar memberikan maklumat, tapi juga keteladanan.

Dalam kritik melalui Facebook, hakim tersebut juga meminta Mahkamah Agung menghentikan iuran tenis hingga fasilitas mobil mewah saat kunjungan daerah. Namun Mahkamah Agung justru melakukan ”pembinaan” terhadap hakim tersebut. ”Pembinaan jangan diartikan diberi sanksi, itu salah. Pembinaan itu melakukan proses penyadaran, memberikan pengertian,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah ketika itu.

Belakangan ini sejumlah hakim di daerah kembali mengeluhkan iuran untuk membiayai kejuaraan nasional tenis beregu memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung itu ke Komisi Yudisial. Hakim-hakim juga berkeberatan terhadap iuran setiap kali ada kunjungan pejabat tinggi Mahkamah ke daerah.

Selain menyinggung iuran tenis, seperti diberitakan Kompas pada 12 September lalu dengan judul ”Hakim di Daerah Keluhkan Iuran”, menurut juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, untuk menerima kunjungan pejabat MA, setiap pengadilan tinggi dan pengadilan tinggi agama diminta membayar Rp 8 juta. Sedangkan pengadilan kelas I B dipungut Rp 10 juta. Mereka harus mengumpulkan sekitar Rp 200 juta.

Menindaklanjuti keluhan tersebut, lembaga pengawas hakim itu melakukan investigasi. Pernyataan Farid itu lantas dilaporkan 64 hakim agung yang menjadi pengurus Persatuan Tenis Warga Pengadilan ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Farid dilaporkan melakukan pencemaran nama atas hakim-hakim yang tergabung di PTWP itu. Status kasus ini sudah naik ke penyidikan. Polisi sudah memeriksa Farid pada Rabu pekan lalu.

Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan pihaknya menganggap kasus dugaan pencemaran nama oleh Farid Wajdi berada di ranah sengketa pers, bukan delik pidana. Dewan Pers juga telah memberikan penilaian yang menyatakan bahwa Farid Wajdi melakukan tugas sebagai juru bicara Komisi Yudisial. Dewan Pers meminta jika ada yang berkeberatan terhadap pemberitaan tersebut dapat melalui hak jawab atau hak koreksi.

Menurut Andika, sebenarnya banyak sekali maklumat Mahkamah Agung yang meminta iuran kepada hakim jauh dari kepentingan para pencari keadilan. Selain iuran-iuran itu, Andika mengatakan, ada maklumat Mahkamah yang bagus tapi dalam implementasinya justru membingungkan hakim-hakim di daerah. Ia mencontohkan maklumat Mahkamah Agung menyangkut sertifikasi akreditasi pengadilan.

Misalnya, kata dia, sertifikasi akreditasi penjaminan mutu yang didengung-dengungkan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali tersebut memang bisa memperbaiki kualitas pengadilan. Masalahnya, menurut dia, Mahkamah Agung atau pengadilan-pengadilan belum mengajukan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran untuk perbaikan sarana-prasarana guna menunjang perbaikan mutu tersebut. ”Akhirnya ketua pengadilan harus ke sana-kemari mencari anggaran,” ujar Andika.

Hal inilah, menurut Andika, yang memicu para hakim terpaksa mencari uang di luar gaji. ”Sempat ada rekan kami, ketua pengadilan tinggi, yang hampir bunuh diri karena bingung harus mencari uang untuk menunjang sertifikasi,” kata hakim menengah ini.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menyangkal pernyataan Farid Wajdi soal setoran uang Rp 200 juta setiap kali ada kunjungan pejabat Mahkamah ke daerah. Dalam setiap kunjungan ke daerah, pimpinan pengadilan tinggi hingga pimpinan MA dibiayai melalui sejumlah alokasi.

Suhadi, yang turut menemani 64 hakim melaporkan Farid ke Polda Metro Jaya, mengatakan turnamen tenis adalah program kerja yang harus dijalankan dalam setiap masa pengabdian sejak 1953. Dia membenarkan iuran PTWP hanya Rp 60 ribu per bulan. ”Sebagai informasi, penyelenggara nasional itu ditanggung oleh PTWP pusat tiga tahun satu kali,” ucapnya.

Suhadi pun menyayangkan Komisi Yudisial yang tidak mengkonfirmasi terkait dengan keluhan hakim-hakim itu ke Mahkamah Agung. ”Seharusnya, kalau ada iktikad baik, ada penghubung antara MA dan KY,” katanya.

Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan lembaganya tetap akan menginvestigasi keluhan sejumlah hakim tersebut. ”Kalau ada yang berkaitan dengan itu, secara kelembagaan tetap jalan,” ujar Jaja di kantor Polda Metro Jaya, Rabu pekan lalu.

Jaja mengaku telah bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali terkait dengan kasus ini. Namun ia enggan mengungkap isi pertemuan tersebut. ”Hubungan kami santai saja,” kata Jaja.

Berbeda dengan Jaja, anggota Komisi Yudisial, Maradaman Harahap, mengatakan belum mengetahui ihwal adanya keluhan dari para hakim mengenai iuran PTWP. ”Saya belum memperoleh informasi yang lengkap,” ujarnya.

LINDA TRIANITA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Linda Trianita sedang menempuh Magister Kebijakan Publik di Universitas Indonesia. Alumni Executive Leadership Program yang diselenggarakan oleh Asian American Journalists Association (AAJA) Chapter Asia pada 2022 fellowship dari Google News Initiative. Menyabet Juara 1 Kategori Investigasi ExcEl Award (Excellence in Election Reporting in Southeast Asia) 2021 dan 6 Finalis Kategori Media Besar Global Shining Light Awards 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus