Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kenapa Penyelundupan Narkoba dari Malaysia ke Indonesia Sulit Diberantas?


BNN menggagalkan penyelundupan sabu dari Tawau, Malaysia, di perairaian Talisayan. Mengapa penyelundupan dari Malaysia marak?

 

13 Februari 2025 | 00.00 WIB

Petugas menata barang bukti narkotika dalam konferensi pers pengungkapan jaringan narkotika dan pemusnahan barang bukti di Kantor BNN RI, Jakarta, 7 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Petugas menata barang bukti narkotika dalam konferensi pers pengungkapan jaringan narkotika dan pemusnahan barang bukti di Kantor BNN RI, Jakarta, 7 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Penyelundupan narkoba dari Malaysia ke Indonesia terus berlangsung meski aparat penegak hukum kerap melakukan penindakan.

  • Lemahnya pengawasan terhadap kawasan perbatasan, masalah kemiskinan, hingga makin canggihnya para penyelundup menjadi faktor utama penyebabnya.

  • Berbagai pihak meminta pemerintah mengambil tindakan komprehensif agar narkoba tak makin deras masuk dari Negeri Jiran.

BADAN Narkotika Nasional (BNN) menggagalkan penyelundupan sabu yang disita dari empat terduga pelaku yang berupaya membawa barang haram itu dari Tawau, Malaysia, ke Kalimantan Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kepala BNN Marthinus Hukom menyatakan pihaknya menangkap para pelaku di perairan Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pelaku menggunakan kapal untuk mengangkut dua karung berisi sabu yang dikemas dalam bungkus teh berlabel Guanyinwang. Satu dari empat orang tersebut, menurut dia, adalah anak 16 tahun yang diduga direkrut untuk membantu distribusi narkotik tersebut. "Kami menangkap mereka di laut sebelum barang bukti sampai ke daratan," kata Hukom dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 7 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Penyelundupan narkoba melalui jalur laut atau yang biasa disebut jalur tikus di wilayah perbatasan ini bukanlah fenomena baru. Dalam wawancara dengan Tempo pada Senin, 10 Februari 2025, Hukom mengungkapkan bahwa wilayah perbatasan Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan, memiliki ribuan titik masuk yang sulit diawasi sepenuhnya.

Apalagi, menurut dia, banyak nelayan yang ternyata terlibat sebagai kurir penyelundupan narkotik. Bayaran yang mereka terima, kata Hukom, bisa mencapai Rp 40 juta per kilogram. Dengan membawa 20 kg saja, mereka bisa memperoleh hingga Rp 800 juta—jumlah yang jauh lebih besar dibanding penghasilan mereka sebagai nelayan atau petani tambak. "Mereka ditawari menyelundupkan barang dengan imbalan yang sangat besar," ujarnya saat ditemui di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur.

Selain cakupan wilayah yang sangat luas, mantan Kepala Datasemen Khusus 88 Antiteror itu menyatakan jaringan narkotik di perbatasan saat ini makin canggih. Sindikat penyelundup, kata dia, menerapkan sistem sel terputus agar pergerakan mereka tidak mudah terdeteksi. Dia mencontohkan kasus penyelundupan di Aceh yang diungkap BNN beberapa waktu lalu. Distribusi narkotik, menurut dia, dilakukan secara bertahap dengan beberapa kendaraan dan orang yang berbeda. “Satu masuk dulu, satu menyusul, setelah di perjalanan satu menyusul lagi. Jadi mereka memisah, tapi terkontrol satu orang di atas.” 

Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom memberikan keterangan dalam sesi wawancara dengan Tempo, di kantor BNN, Jakarta, 10 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Bukan hanya itu, para pelaku kini juga lebih melek teknologi dengan menggunakan aplikasi komunikasi terenkripsi agar sulit disadap. Bahkan, setelah narkoba sampai ke tujuan, sopir yang mengantar akan segera digantikan orang lain, membuat rantai distribusi makin sulit dilacak. Hukom pun mengatakan tidak tertutup kemungkinan ada keterlibatan oknum aparat dalam jaringan peredaran narkoba ini. "Sangat mungkin, apalagi di kampung-kampung narkoba. Bukan hanya menggunakan, tapi juga terlibat dalam distribusi. Ini yang sedang kami petakan," ujarnya.

Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lamijo, pun sepakat dengan Hukom. Menurut dia, penyelundupan narkoba di perbatasan Indonesia-Malaysia sangat sulit diberantas karena banyaknya titik penyeberangan ilegal yang dimanfaatkan sindikat. "Orang lokal lebih tahu jalur mana yang sering ada operasi dan mana yang tidak. Ini yang membuat penyelundupan sulit dideteksi," ucapnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu, 12 Februari 2025.

Lamijo menjelaskan, penyelundupan narkoba ke Indonesia banyak terjadi melalui jalur laut dan sungai di Kalimantan serta Sumatera. Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, serta Jambi menjadi salah satu titik rawan karena berbatasan langsung dengan Malaysia. Selain itu, pengawasan di perbatasan laut masih lemah karena keterbatasan teknologi dan personel. "Operasi pengawasan belum maksimal. Para penyelundup mengetahui jam-jam operasi petugas dan memanfaatkannya untuk masuk secara ilegal."

Modus operandi para penyelundup, menurut Lamijo, juga terus berkembang. Selain disamarkan dalam bungkus teh, kata dia, kini sudah ada narkoba yang diselundupkan berbentuk cair menyerupai minuman. Jaringan internasional dari Timur Tengah dan Afrika terus berinovasi dalam mengelabui petugas. "Teknologinya makin canggih. Bentuk dan modusnya selalu berubah sehingga penegak hukum sering tertinggal selangkah."

Lamijo pun menyoroti soal kelemahan regulasi yang ada di Indonesia. Menurut dia, beberapa jenis narkoba baru yang diselundupkan belum diatur dalam Undang-Undang Narkoba di Indonesia sehingga pelaku bisa lolos dari jerat hukum. 

Untuk menangani masalah ini, Lamijo menilai pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis. Salah satunya mengawasi perbatasan berbasis teknologi seperti yang diterapkan di Malaysia dan Cina. Lalu, menurut dia, perlu penguatan koordinasi antara aparat keamanan dan masyarakat lokal untuk meningkatkan deteksi dini. Selanjutnya adalah mempercepat harmonisasi regulasi agar hukum selalu selangkah di depan modus operandi para pelaku. 

Terakhir, Lamijo menambahkan, melakukan upaya pencegahan dengan kampanye peningkatan peran keluarga agar anggotanya tidak terlibat penyalahgunaan narkoba. "Salah satu cara paling efektif adalah meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak-anak dari paparan narkoba. Jangan sampai kita hanya mengandalkan aparat karena jaringan internasional ini lebih pintar dalam beradaptasi."

Barang bukti narkotik ditampilkan dalam konferensi pers di kantor BNN, Jakarta, 7 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Sementara itu kriminolog Universitas Indonesia, Erni Rahmawati, menilai kondisi sosial ekonomi masyarakat di perbatasan Indonesia-Malaysia yang miskin membuat jaringan internasional makin mudah merekrut kurir warga lokal. Dia menambahkan, jaringan narkotik biasanya beroperasi dengan struktur sel yang kompleks. Setiap kelompok beroperasi secara independen tanpa saling mengenal. Perekrutan anggota baru pun menggunakan metode bola salju alias snowball. Anggota yang sudah ada akan merekrut anggota lain yang dia kenal sehingga makin sulit bagi aparat untuk membongkar keseluruhan jaringan. 

Ditambah lagi jaringan ini memanfaatkan teknologi canggih, seperti aplikasi pesan terenkripsi dan transaksi menggunakan mata uang kripto. Hal itulah yang menurut Erni makin mempersulit aparat dalam melacak komunikasi dan aliran dana mereka. Selain itu, ia tak menutup mata masih banyak aparat penegak hukum di Indonesia yang justru terlibat dalam jaringan narkotik. “Bisa jadi ada oknum-oknum koruptif yang ingin mencari keuntungan sendiri." 

Erni menegaskan pendekatan yang efektif harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup peningkatan kerja sama internasional, penguatan pengawasan, penegakan hukum yang lebih tegas, serta pemberdayaan masyarakat. "Sepertinya jawaban ini klise, ya, tapi tentunya peningkatan kerja sama internasional perlu ditingkatkan." 

Menurut dia, kerja sama antara Indonesia dan Malaysia menjadi kunci untuk membongkar jaringan narkoba internasional. Pertukaran informasi serta operasi gabungan perlu dilakukan untuk menangkap para pelaku di berbagai titik rantai distribusi narkoba.

Erni juga sepakat soal pengawasan perbatasan sudah saatnya menggunakan teknologi modern, seperti drone dan radar. Hal itu, menurut dia, penting untuk mendeteksi lebih awal aktivitas mencurigakan di jalur-jalur rawan penyelundupan. 

Konferensi pers pengungkapan jaringan narkotik dan pemusnahan barang bukti, di kantor BNN, Jakarta, 7 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Dari sisi hukum, Erni menekankan penegakan hukum harus lebih tegas dan tidak pandang bulu. Ia juga menyinggung perlunya revisi hukum agar tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup untuk menghindari hukuman. Sementara itu, pengawasan terhadap aparat yang bertugas dalam pencegahan narkoba juga harus ditingkatkan untuk meminimalkan adanya kemungkinan terjadinya praktik korupsi.

Namun, menurut dia, upaya pemberantasan narkoba tidak cukup hanya mengandalkan aparat hukum. Masyarakat di sekitar wilayah perbatasan juga perlu dilibatkan secara aktif. Mereka bisa menjadi mata dan telinga bagi petugas dengan melaporkan aktivitas mencurigakan di lingkungan mereka. Upaya ini perlu diimbangi dengan program edukasi tentang bahaya narkoba serta sanksi hukum bagi mereka yang terlibat.

Selain itu, program jangka panjang untuk rehabilitasi pecandu serta reintegrasi mantan narapidana narkoba menjadi faktor penting. "Negara perlu memiliki program rehabilitasi yang efektif dan memastikan mantan pengguna tidak kembali ke lingkungan yang sama setelah menjalani hukuman," kata Erni. Tanpa adanya langkah konkret untuk membantu mereka kembali ke masyarakat, tutur Erni, siklus peredaran narkoba akan sulit diputus.

Erni juga menyoroti faktor-faktor struktural yang turut mempengaruhi peredaran narkoba, yaitu kemiskinan dan korupsi. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk memberikan pendidikan yang lebih baik, terutama dalam memahami bahaya narkoba. "Jadi, untuk memaksimalkan pengawasan yang lebih efektif secara jangka panjang tidak bisa hanya dilakukan dengan penguatan perbatasannya, tapi juga harus menutup berbagai celah yang memungkinkan peredaran narkoba tetap berlangsung." 

Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, juga sepakat soal adanya permasalahan di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Meski terdapat kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia untuk memerangi peredaran narkotik lintas negara, menurut dia, pelaksanaannya kerap menghadapi hambatan. Sebut saja keterbatasan anggaran dan potensi keterlibatan oknum aparat yang bermain dalam jaringan ilegal ini.

Di samping itu, Hikmahanto menilai ada modus baru dengan melibatkan anak-anak untuk menjadi kurir dalam penyeludupan narkoba. Hal itu, selain untuk makin menyamarkan kejahatan lintas negara ini, menurut dia, untuk memperkecil hukuman jika mereka ketahuan. “Modus menggunakan anak kecil, kalau dihukum bisa lebih ringan."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus