Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini kecewa terhadap hasil pembangunan perumahan yang tidak diselesaikan sesuai dengan harapan dan tawaran pengembang yang bersangkutan. Pembangunan jalan, gerbang utama perumahan, penerangan jalan atau lingkungan, jembatan selokan menuju rumah, dan fasilitas lain yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun, atau sejak persetujuan perjanjian kredit perumahan, tidak diselesaikan.
Persoalan ini tentu menjadi kekecewaan warga yang menempati perumahan tersebut dengan kondisi fasilitas yang belum diselesaikan pihak terkait. Masalah ini beberapa kali kami sampaikan kepada perwakilan pengembang dan Bank Tabungan Negara (BTN), yang membiayai pembelian rumah secara kredit. Namun, hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai penyelesaian fasilitas perumahan tersebut. Karena itu, kami meminta pengembang perumahan menyelesaikan fasilitas umum, juga meminta BTN bertanggung jawab mendesak pengembang agar menuntaskan pembangunan.
BTN adalah bank yang telah mengucurkan dana pembelian rumah kepada pengembang. Kami pemilik rumah sebagai nasabah berkewajiban membayar kredit rumah tersebut kepada BTN. Seharusnya BTN mengucurkan dana setelah semua pembangunan, baik rumah maupun fasilitas yang menunjang keamanan dan kenyamanan penghuninya, selesai.
Sebagai nasabah, kami berharap BTN bertanggung jawab menyelesaikan pembangunan perumahan Bumi Malayu Selaras. Kami berharap BTN ke depan tidak mengucurkan dulu dana kredit perumahan jika pembangunan belum selesai 100 persen. Sebab, rakyat kecil atau nasabah yang menjadi korban.
Yana Heryana, Garut, Jawa Barat
Pendidikan Kita
PENDIDIKAN Indonesia terjebak pada hal-hal yang mekanistis, kurang berfungsi untuk pemekaran nalar dan akal sehat. Maka kontribusi anak didik dalam menjaga nilai-nilai kebinekaan sungguh mengkhawatirkan. Apalagi di era banjir informasi saat ini, yang begitu mudahnya dimanipulasi kaum politikus dengan beragam alasan dan kepentingan tertentu.
Dalam buku Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia (1999), Donald B. Calne mempersoalkan ampuhnya sistem kekuasaan totaliter di Jerman pada pertengahan abad ke-20. Bagaimana mungkin negeri beradab yang telah melahirkan banyak filsuf, seniman, dan pujangga kelas dunia itu terperangkap oleh anarkisme dan rasisme yang dikenal paling ganas dalam sejarah peradaban umat manusia? Apakah benar nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan bersumber dari pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah? Mengapa kaum cendekiawan begitu mudah diperalat oleh penguasa totaliter untuk melegitimasi kepentingan kekuasaannya?
Apa yang disampaikan Calne sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Nilai-nilai pendidikan yang semestinya sanggup memberikan kualitas terbaik untuk memperkuat nalar dan akal sehat ternyata mudah dininabobokan oleh kecerdasan otak penguasa. Lalu apakah pendidikan kita cukup dipertanggungjawabkan untuk menjaga nilai-nilai pluralitas dan kebinekaan yang diamanatkan para bapak bangsa kita?
Pertanyaan tersebut mesti dijawab oleh dunia pendidikan kita di tengah arus informasi yang tak menentu, tumpang-tindih antara fakta dan ilusi, realitas dan hoaks, bahkan kebenaran dan kebohongan. Ketika informasi begitu mudah dimanipulasi dengan beragam alasan dan kepentingan, dusta dan kebencian dapat dikembangkan sesuai dengan selera pasar, hingga muncullah adagium di tengah masyarakat: “Ketika akal dan hati nurani dilenyapkan, manusia akan buta mata hatinya (budek), hingga tak mampu membedakan mana suara Tuhan dan mana suara hantu.”
Chudori Sukra, Serang, Banten
Kabel Listrik Semrawut
SELAKU warga perumahan Taman Meruya Ilir, Kembangan, Jakarta Barat, saya mengeluhkan kabel dan tiang listrik yang kian semrawut. Makin hari, seiring dengan bertambahnya penyedia layanan Internet dan televisi kabel, makin banyak kabel yang malang-melintang di depan rumah warga. Saking banyaknya, saya yakin tidak semua kabel tersebut berfungsi.
Tumpukan kabel tersebut juga membahayakan. Beberapa waktu lalu, salah satu kabel tersangkut pohon tumbang di Jalan Mawar Putih, Kelurahan Meruya Utara, Kembangan. Akibatnya, kabel tersebut tergesek dan menimbulkan kobaran api. Warga harus memadamkannya dengan alat seadanya. Sisa kabel tersebut teronggok hingga kini.
Anehnya, tidak ada satu pun warga yang melaporkan kehilangan jaringan Internet atau televisi. Kami menduga kabel yang terbakar itu milik salah satu penyedia layanan yang sudah tidak beroperasi.
Kami berharap pemerintah DKI Jakarta menertibkan kabel yang centang-perenang tersebut. Selain membahayakan, tumpukan kabel tersebut merusak pemandangan dan keindahan lingkungan.
M. Sujamal, Meruya Ilir, Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo