Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tersendat gengsi

Pemerintah memberikan dana bantuan hukum kepada terdakwa yang tidak mampu. tetapi pelaksanaannya di sumatera utara masih seret. (hk)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DANA bantuan hukum dari pemerintah, ternyata, tidak mudah dinikmati. orang-orang yang tidak mampu. Tutin Nasution, misalnya, yang pekan-pekan ini menunggu vonisnya, terpaksa sendirian membela dirinya dari ancaman hukuman mati di Pengadilan Negeri Padangsidempuan. Tutin, 30, yang hanya sempat sekolah sampai kelas V SD, terpaksa berkata, "Saya miskin dan tidak mampu menyewa pembela." Ia tidak tahu bahwa pasal 56 KUHAP, sebenarnyalah, mewajibkan hakim menyediakan pengacara cuma-cuma bagi terdakwa yang diancam hukuman lebih dari lima tahun seperti dirinya. Senasib dengan Tutin, Stepanus Silitonga, guru SD Santa Xaverius. Ia dihukum 14 tahun penjara di Pengadilan Negeri Padangsidempuan, karena terbukti membunuh rekannya sesama guru, juga tanpa pembela. Pada waktu membacakan pembelaannya, April lalu, Stepanus bahkan tidak sanggup meneruskan uraiannya, karena tidak kuasa menahan tangisnya. Persidangan semacam itulah dituding pengacara LBH Medan, Syafruddin Kalo, sebagai proses yang mengandung cacat yuridis. "Sebab, undang-undang mewajibkan hakim - dalam perkara-perkara semacam itu - menunjuk pengacara bagi terdakwa yang tidak mampu," ujar Syafruddin. Pengacara yang ditunjuk harus menjalankan tugasnya dengan cuma-cuma. Hanya saja, sesuai dengan petunjuk pelaksanaan bantuan hukum dari menteri kehakiman, 1980, pemerintah memberi penggantian ongkos transpor dan biaya administrasi sebesar Rp 100.000. Tapi, rupanya, soal dana Kp 100.000 itulah yang menjadi halangan bagi Pengadilan Negeri Padangsidempuan untuk melaksanakan perintah KUHAP. Hakim Dj. Purba, yang mengadili perkara Tutin dan Stepanus, mengakui kesulitanitu. "Kami serba salah: bila tidak menunjuk pengacara, melanggar KUHAP, tapi bila kami menunjuk, dana bantuan hukum sering tersendat turunnya dari Kanwil Departemen Kehakiman," ujar Purba. Sebab itu, dalam perkara Tutin, Purba hanya meminta persetujuan tersangka untuk tidak didampingi pembela. "Anda rela tidak didampingi pembela?" tanya Purba ketika itu kepada Tutin di persidangan. Setelah Tutin mengangguk, Purba melanjutkan pemeriksaan. Ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Mukmin Yus Siregar, mengaku sering memohon dana bantuan hukum ke Kanwil Kehakiman di Medan. Tapi, begitulah, "Entah kenapa dana itu tidak turun juga." Tahun lalu, satu sen pun dana itu tidak mengalir, tutur Yus. Akibatnya, menurut Ketua, ia menjadi malu kepada beberapa orang pengacara yang sampai kini tidak menerima dana yang Rp 100.000 itu. "Kalau para pembela itu terus-terusan diminta gratis, ke mana muka akan kami surukkan?" ujar Yus Siregar lagi. Tapi kepala Kanwil Kehakiman Sumatera Utara, Dimyati Hartono, mengatakan bahwa dana bantuan hukum dari instansinya lancar-lancar saja adanya. Semua dana untuk wilayah Sumatera Utara, yang dua tahun ini berjumlah Rp 41 juta, kata Dimyati, sudah cair dan telah dipertanggungjawabkan ke Jakarta. "Hanya saja, untuk kasus-kasus tertentu, memang ada kesulitan, karena pengadilan yang memohon dana tidak memenuhi prosedur," ujar Dimyati. Prosedur yang sering tidak dipenuhi dalam permohonan itu, menurut Dimyati, adalah "keterangan tidak mampu" si terdakwa yang dikeluarkan kepala desa dan camat. Surat tanda terdakwa benar-benar miskin itu bisa pula dikeluarkan instansi lain, seperti polisi, kejaksaan, atau dinas sosial. "Jika semua syarat lengkap, pasti dana itu bisa cair," ujar Dimyati. Namun, dalam praktek, terdakwa yang tidak mampu tidak gampang mendapatkan surat itu. Stepanus Silitonga, misalnya, tidak bisa mengurus surat itu, karena tidak seorang pun famili nya yang mau mengurusinya, begitu ia di tahan polisi. Bahkan, katanya, istri yang telah memberinya enam anak pun ikut-ikutan menghilang, begitu ia masuk tahanan. "Jadi, tidak ada yang bisa mengurus surat itu," ujar Stepanus. Direktur Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Roesli, membantah keluhan itu. "Selama ini di semua daerah tidak ada hambatan," ujar Roesli, yang mengaku belum mendapat laporan tentang kasus di Pengadilan Negeri Padangsidempuan. Tentang "surat tanda miskin", menurut Roesli, halangan biasanya terletak pada tersangka sendiri yang enggan disebut miskin. "Itu soal gengsi," ujar Roesli. Ah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus