Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kini, iain disamakan dengan kiblat

Ijazah 14 iain disamakan dengan ijazah universitas al-azhar, mesir. tapi mahasiswa iain mengalami hambatan penguasaan bahasa arab. (pdk)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BABAK baru bagi Institut Agama Islam Negeri atau populer dikenal sebagai IAIN itu. Mulai tahun ini ijazah mereka disamakan dengan ijazah Universitas Al Azhar, Kairo. Kabar baik ini dibawa sendiri oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali, sepulang dari Mesir, dua pekan lalu. Dan itu berarti, kata H. Zaini Dahlan, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, "Kurikulum IAIN kita memang sudah diakui sejajar dengan di Al Azhar." Maka, sejumlah kemudahan bagi mahasiswa IAIN yang akan melanjutkan ke Al Azhar diperoleh. Dulu mahasiswa IAIN harus menjalani tes bila melanjutkan ke Al Azhar, tapi kini tak perlu. Tak perlu terjadi sebagaimana pengalaman Azman Ismail, 31, yang pada 1980 melanjutkan ke Al Azhar. Waktu itu Azman cuma diterima di Fakultas Ushuluddin tingkat III. "Saya tidak mau, karena saya sudah lulus sarjana dari Ar Raniri," tuturnya. Akhirnya, entah bagaimana, ia diterima di tingkat IV. Kini semua sarjana IAIN bisa langsung duduk di tingkat IV Al Azhar, sesuai engan Jurusannya. Sudah sejak dulu, menurut rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, orientasi mahasiswa IAIN memang ke Al Azhar. "Al Azhar selama ini dianggap kiblat pendidikan agama Islam yang baik," kata Mu'in Umar rektor itu. Dan sebenarnya fakultas-fakultas di IAIN kurikulumnya boleh dikatakan menvontek dari sana. Bahkan. kata Mu'in, yang juga alumnus Al Azhar, literatur wajib di IAIN kebanyakan buku-buku hasil tulisan orang Al Azhar. Di Al Azhar, kata Mu'in pula, terjadi pertemuan kebudayaan Barat dengan Timur. Dari universitas yang sudah berusia lebih dari seribu tahun ini - Al Azhar berdiri pada 970-an - bila datang suatu pemikiran tentang Islam dijamin akan menjadi topik pembicaraan kalangan Islam seluruh dunia. "Maka, disamakannya ijazah IAIN dengan Al Azhar ini sungguh membanggakan," tambahnya. Membanggakan atau tidak, sebenarnya ada masalah yang harus diatasi. Yakni, soal bahasa Arab. Bukan rahasia lagi, penguasaan bahasa Arab mahasiswa IAIN kurang. Menurut Ibrahim Husen, guru besar Syariah di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, banyak lulusan IAIN yang melanjutkan ke Al Azhar harus mengulang dari tingkat yang lebih rendah. Pasalnya, mereka kurang menguasai bahasa Arab. Bahkan, banyak dosen IAIN, yang dikirim ke Al Azhar untuk memperdalam ilmunya, yang kemudian hanya sempat memperdalam bahasa Arab-nya. Mungkin karena itu dari 14 IAIN kita (1 berdiri pada tahun 1 960-an, empat pada tahur 1970-an) belum menelurkan pemikir-pemikir agama Islam yang tangguh Setldaknya, menyrut M. Sadali rektor IAIN Syarif Hidayatullah- IAIN tertua bersama Sunan Kalijaga "Sarjana IAIN kita belum ada yang menulis buku dalam bahasa Arab atau Inggris hingga diakui secara internasional." Tak jelas adakah Sadali mengharapkan, dengan dipersamakannya ijazah IAIN dengan Al Azhar, lantas muncul cendekiawan IAIN bertaraf internasional. Tapi Ibrahim Husen, alumnus Al Azhar angkatan 1960,sedikit pesimistis. "Selama ini, biasanya, mahasiswa IAIN yang bisa baca kitab hanya mereka yang datang dari pesantren," kata Ibrahim. Ini mengandung tantangan. Jangan-jangan, karena ditenma kuliah di Al Azhar tanpa tes, mahasiswakita hanya akan seperti yang digambarkan Azman: "Masuk kuliah tak mengerti apa apa. Cuma bingung." Itu sebabnya, Menteri Munawir pekan lalu berpesan, "Agar IAIN blsa menjawab tantangan zaman." Yakni, terutama,memperbaiki pengajaran bahasa Arab-nya. "Ilmu Agama Islam harus dikaji dengan penguasaan bahasa Arab. Baik Fiqh, Hadis maupun Tafsir Alquran tak akan terjamah tanpa bekal penguasaan bahasa Arab yang cukup," kata Menteri. Bagaimanapun persamaan dari Al Azhar - yang kini dipimpin oleh Syaikh yadil Haq Ali yadil Haq - itu menaikkan citra IAIN. "Universitas Al Azhar hingga hari ini masih dianggap sumber pendidikan agama Islam di dunia," kata Afwan, atase pendidikan dan kebudayaan kita di Kairo. Maka, diharapkannya, kecenderungan pandangan sebagian orang kini, yang melihat segala sesuatu yang luar negeri lebih baik daripada yang dalam negeri, bisa terimbangi. Dan sebenarnya kebanggaan terhadap IAIN, yang dulu sering dicemooh "lulusannya sulit mencari pekerjaan", kata Zaini Dahlan, kini sedang tumbuh. Tahun lalu misalnya, IAIN Sunan Kalijaga memberikan gelar doktor kepada Simuh, yang mempertahankan keislaman pandangan pujangga jawa Ranggawarsita - yang oleh sementara orang dianggap lebih cenderung ke kebatinan (TEMPO, I November 1983, llmu dan Teknologi). Atau, upaya IAIN Syarif Hidayatullah, yang dimulai semasa dipimpin Rektor Harun Nasution, untuk selalu membuka dialog tentang masalah-masalah keagamaan yang muncul di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus