Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Solo - Pengacara Hotman Paris Hutapea melalui Tim Hotman 911 diminta keluarga korban untuk menangani kasus santri tewas dianiaya di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Santri asal Solo, AKPW, 13 tahun, diduga meninggal karena dianiaya oleh kakak kelasnya, MG, 15 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator kuasa hukum keluarga AKPW, Thomas mengemukakan ada permintaan orang tua korban kepada Tim Hotman 911 untuk mengawal kasus itu. "Pimpinan kami, Pak Hotman Paris Hutapea pun menyetujui permohonan dari orang tua korban, dan saat ini secara legalitas telah menjadi kuasa hukum dari keluarga korban," ujar Thomas ketika ditemui wartawan di sebuah kafe di Jebres, Solo, Jawa Tengah, Senin, 23 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thomas akan segera berkoordinasi dengan jajaran Kepolisian Resor (Polres) Sukoharjo ihwal sejauh mana proses hukum berjalan. Berdasarkan informasi Polres Sukoharjo, berkas perkara telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sukoharjo dan MG telah berstatus anak berhadapan dengan hukum atau ABH dalam kasus penganiayaan. Dia juga sudah ditahan.
"Alhamdulilah, dalam perkara ini pihak kepolisian bisa bekerja secara profesional. Kami menghormati penegak hukum karena kasus ini dapat ditangani secara cepat," kata Thomas.
Namun, Thomas mengungkapkan masih ada yang mengganjal, terutama soal penyebab penganiayaan terhadap korban. Informasi yang diperoleh kuasa hukum keluarga korba masih simpang siur. "Ada yang bilang masalah rokok, ada yang bilang masalah uang," tutur dia.
Orang tua korban telah memastikan bahwa anak 13 tahun itu bukan perokok. Korban juga tidak pernah membawa banyak uang.
"Itu juga menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi kami juga untuk menindaklanjuti, menelusuri secara jelas dan pasti mengenai apa yang menjadi penyebab meninggalnya korban," tutur dia.
Ia mengatakan keluarga korban berharap agar segera digelar rekonstruksi agar kasus itu dapat dibuka secara jelas. Mereka juga berharap kasus tersebut dapat segera ditindaklanjuti hingga pada akhirnya nanti bisa mendapatkan putusan hukuman yang maksimal dan seberat-beratnya sebagai bentuk pertanggungjawaban dari terduga pelaku.
"Kami juga berkoodinasi dengan pihak terkait, antara lain KPAI, Komnas HAM, serta LPSK, untuk pendampingan terhadap keluarga korban," kata dia.
Soal dugaan ada kelalaian dari pihak pondok pesantren, tim kuasa hukum masih menunggu koordinasi dengan kepolisian. Menurutnya yang paling penting saat ini adalah mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi terlebih dulu.
Meskipun pelaku juga masih di bawah umur, Thomas mengatakan ABH tersebut tetap bisa diproses secara hukum, tidak selesai lewat jalur Restorative Justice. "Kami sudah banyak menerima perkara anak, dengan terduga pelaku juga anak, dengan vonis yang diberikan maksimal. Memang pelaku anak jerat hukumnya berbeda dengan pelaku dewasa, tetapi diatur dalam undang-undang juga, itu sebagai ancaman hukuman tetap diterapkan," ucap dia.
Ayah korban, TW mengungkapkan harapannya agar kasus penganiayaan santri hingga meninggal tersebut dapat segera ditindaklanjuti tanpa ada fakta yang ditutup-tutupi. Ia juga berharap pelaku mendapatkan hukuman maksimal. "Harapan kami, pelaku mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya dan semoga semua yang terkait, yang terlibat mau membantu membuka kasus ini tanpa harus menutup-nutupi," kata TW.
Pilihan Editor: Identifikasi 7 Mayat di Kali Bekasi, Polisi Minta Warga yang Kehilangan Anggota Keluarga Melapor ke Posko