LA ONGA, 46, nelayan dari Pulau Kelong (Riau) dan perantau laut
dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebenarnya bukan gembong
penyelundupan timah. Tapi oleh pengadilan di Tanjung Pinang, 18
Oktober lalu, ia dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Oleh hakim R.
Subagio Prasetyo SH, ia dipersalahkan telah menakhodai sebuah
kapal motor jenis R 10 yang hendak menyelundupkan lebih dari 11
ton timah dari Pulau Panjang, Bangka ke Singapura sekitar bulan
Apri lalu.
Air mata kelihatan menitik dari mataa Onga setelah hakim
mengetukkan palunya. "Hukuman itu terlalu berat, pak Hakim,"
bisiknya lirih. Sebab, seperti diucapkannya dalam kesempatan
membela diri, La Onga ini sesungguhnya bukan pentolan
penyelundup. Ia hanyalah orang upahan saja. Ia dijanjikan akan
menerima Rp 50 ribu begitu kapalnya sampai di bandar Singapura.
Urusan selanjutnya, pemasaran timah selundupan itu di Beach Road
- Singapura kepada Bong Mong Heng atau Hanseng (TEMPO, 17
September), sama sekali di luar bisnisnya sebagai nakhoda.
Buktinya, ketika 18 sejawatnya dibe ri kesempatan kabur oleh
oknum ABRI yang melindungi penyelundupan - dan kemudian duduk
sebagai saksi dalam perkara La Onga -- nakhoda ini malah
menyerahkan tangannya kepada yang berwajib. Tak patutkah hal-hal
tersebut dipertimbangkan oleh hakim - sekedar meringankan
hukuman La Onga, nelayan buta huruf dengan tanggungan isteri dan
7 anak? Dan lagi selama ini, seperti diketahui, hukuman bagi
orang macam La Onga atau yang lebih gawat lagi cuma di bawah
setahun saja.
Tapi, agaknya, mulai dad kasus La Onga ini hukuman bagi para
penyelundup timah bakal naik. Pihak kejaksaan sudah dapat
petunjuk dari atasannya, Kejaksaan Agung, agar mulai menuntut
tinggi. Jaksa Sagala, yang membawa La Onga menghadap hakim, juga
sudah mulai mempraktekkan tuntutan tinggi: tahun penara.
Bukan Tradisionil
Namun bagi hakim sendiri, katanya, soalnya bukan hanya tuntutan
jaksa saja. Ia menganggap La Onga memang wajib dihukum sekian
tahun. Karena "peranannya dalam penyelundupan cukup penting." La
Onga, katanya, tidak sekedar berbuat seperti yang lazim disebut
orang 'penyelundupan tradisionil.' Di samping volume yang cukup
besar - biasanya yang diselundupkan para nelayan hanya sekitar
ratu8an kilo saja - nakhoda ini juga terbukti hendak melibatkan
petugas negara dalam kegiatan gelapnya.
Rupanya dari tempat pengumpulan timah di Bangka, La Onga tidak
langsung melayarkan kapal motornya ke Singapura. Ia singgah
sebentar di Po8 Keamanan Laut (Kamla) Kijang dl PuIau Tambora.
Maksudnya jelas: minta pengawalan dari Komandan Pos Kamla yang
bernama Yuslim, Letda AL. "Melibatkan pihak lain, yang justru
aparat negara, untuk berbuat salah dan menyalahgunakan wewenang,
akan merusak kewibawaan pemerintah," timbang hakim. Ini yang
memberatkan La Onga. Tapi kerjasama alat negara dengan
penyelundup ini, tentu saja, tidak seluruhnya dosa La Onga. Di
samping La Onga hanya menuruti perintah orang yang membayarnya,
seperti orang yang bernama A Pio, toh kerja sama yang demikian
itu sudah tak aneh lagi.
Letda Yuslim sendiri tak membantah. Ia, di muka pengadilan dan
sebagai saksi di bawah sumpah, mengaku: telah menyuruh kabur
serombongan penyelundup, setelah lebih dulu memerintahkan agar
timah seludupannya dibenamhan di laut sekitar Pulau Tengger.
Dalam berita acara pendahuluan, Yuslim mengaku sebagai beking
para penyelundup di kapal La Onga. Namun di pengadilan ia
merubah beberapa pengakuannya: Ia memang memerintahkan
pembenaman timah ke laut dan menyuruh kabur para penyelundupnya.
Tapi, katanya, itu bukan dalam rangka beking-bekingan. Lalu
untuk apa? Terus terang ia mengaku: untuk menguasai sendiri
timah seharga Rp 80 juta itu.
Tidak itu saja hal yang menarik yang diungkapkan Yuslim. Soal
barang bukti.
Jaksa Sagala, dalam permulaan sidang, ada mengajukan bukti 198
kampil timah. Padahal, begitu menurut Yuslim, jumlah yang
sebenarnya dalam peristiwa lebih dari itu. Sebab untuk
membenamkan kampil-kampil itupun memakan waktu lebih dari dua
jam kerja. La Onga sendiri memberikan pengakuan: memang
sebenarnya ada 273 kampil timah yang jadi perkara. Nah, sang
jaksa jadi kelabakan. Karena kejaksaanihanya menerima sekian
saja seperti yang diserahkan oleh pihak Bea Cukai. Kemana yang
lain?
Entah ditelan siapa. Soal barang bukti ini memang sudah ganjil
sejak permulaan. Jaksa seperti dalam surat tuduhannya, hanya
mencantumkan 198 kampil timah. Tapi Yuslim mengungkapkan: memang
mula-mula Bea Cukai hanya menemukan 198 kampil di sekitar Pulau
Tengger. Tapi kemudian, dl tempat lain -- tapi jelas masih ada
hubungannya dengan timah yang dibawa kapal La Onga -- ada.
diketemukan 26 kampil. Jadi jumlahnya paling tidak 224 kampil.
Itu belum termasuk 49 kampil lagi yang diakui oleh La Onga
sendiri.
Kecurigaan pun jadi tumbuh: janganjangan kampil-kampil yang 'tak
terurus' oleh jaksa itu sudah sampai mengisi pasar di Singapura?
Itu cukup beralasan-setelah mendengar kisah penyergapan atas
kapal La Onga. Begini.
Rombongan patroli laut di bawah pimpinan Mardikun, I April lalu,
sebenarnya sudah siap tempur. Infonya sudah cukup jelas: kapal
motor R 10, tanpa nomor, harus dibekuk. Tapi celaka. Sampai
sehari suntuk patroli mengelilingi Pulau Tambora, sasaran tak
juga dipergoki. Tapi, begitu patroli ini menuju pangkalan, di
tengah jalan di perairan Sungai Enam, mereka berpapasan dengan
kapal patroli lain. Mardikun sempat kontak dengan kapten Tony
Babu yang memimpin patroli lain itu. Dari Tony Babu itulah
Mardikun tahu: sasarannya sudah disergap lebih dulu. Cuma
anehnya, kapal patroli Tony kok tampaknya sarat. Menurut petugas
Bea Cukai, kesaratan itu tentu oleh muatan yang beratnya sekitar
5 - 6 ton. Muatan apa? Mardikun enggan bertanya kepada Tony
--maklum sama-sama petugas patroli. Hanya kepada hakim, Mardikun
ada menyatakan: ia melihat sebuah kapal motor R 10 di bawah
pengawasan kapal Tony - hanya ia tak melihat adakah La Onga
berada di situ.
Walhasil tugas hakim memang sudah selesai: memeriksa dan
mengadili, hanya, perkara La Onga saja. Apa-apa yang terungkap
di pengadilan (di luar perkara yang diperiksa) tentunya tugas
pejabat lain untuk mengurusnya. Baik meringkus 18 orang sejawat
La Onga, Letda Yuslim yang memberi kesempatan para penyelundup
kabur, sampai menjqaki nasib 49 kampil timah yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini