JAM 05.00 apel diadakan. Alex Widjaya, meskipun Dir-Ut, turut
menghadirinya, dan kemudian mengkontrol anak buahnya. Selalu dia
berpakaian "dinas lapangan" walau 'untuk menghadap Menhub Emil
Salim atau Dirjen Perda Sumpono Bajuadji sekalipun. Tak kurang
dari 12 langkah penertiban yang harus dilaksanakannya sejak 12
Agustus yang lalu. Dan kini PPD yang dipimpinnya memang
kelihatan mulai tertib, bahkan bisa menjadi teladan bagi semua
12 perusahaan bis kota swasta di DKI Jakarta.
Penertiban telah diperintahkan bukan hanya berlaku untuk PPD,
tapi belakangan ini Dirjen Sumpono sangatkecewa terhadap
pengelolaan bis kota swasta. Maka Menhub Emil pun telah turut
bersuara keras -- "tidak menutup kemungkinan untuk mem-PPD-kan"
semuanya (TEMPO, 5 Nopember). Di Rapat Pimpinan Organda
(Organisasi Angkutan Darat) minggu lalu, Menhub Emil lagi-lagi
mengecam. Banyak (perusahaan bis kota swasta, tentunyal memakai
tenaga harian sehingga kepastian dan kelangsungan usaha tidak
dapat dijamin, katanya. "Pengusaha hanya memperhatikan jumlah
setoran dan selanjutnya menyerahkan keada0n pada karyawan sopir
dan kondektur." Itulah, menurut kesimpulannya, yang
mengakibatkan jumlah kecelakaan meningkat.
Maka gambaran diri swasta sedang merosot, sebaliknya PPD
menanjak. Berbeda sekali keadaannya sekitar 10 tahun yang lalu
ketika PPD dipandang tidak pantas menerima bantuan Amerika
Serikat (US-AID) karena kepercayaan dilimpahkan pada perusahaan
swasta. Sekarang rupanya tidak ada lagi kesangsian untuk membina
PPD, apalagi setelah Dir-Ut Alex Widjaya, 50, dengan langkah
penertibannya berhasil meningkatkan jumlah bisnya yang
beroperasi dari 250 ke 454 (75). Dia yakin akan bisa
ditingkatkan lagi ke 85. Dan sudah ada rencana mnambah 170
lagi bis merek Mercedes Benz yang kini sedang dirakit untuk PPD.
Tongala Punya Mau
Sementara itu para pengusaha swasta, gara-gara "kejutan" Menhub,
umumnya sudah bersikap pasrah. Misalnya, Muhammad Ali Amien, 40,
dari perusahaan Solo Bone Agung ketika ditanya tentang
kemungkinan di-PPD-kan menjawab: "Hitam-putih tonga punya
mau." Orang Makassar ini meniru omongan yang sering keluar dari
mulut orang asal Ambon. Tongala di sini seperti Tuhan Allah.
Tentang manajemen kurang beres? "Itu kan ilmu baru," jawab
Amien. "Tak cuma Solo Bone Agung, tapi banyak yang lain pun
mungkin tak tahu apa itu manajemen." Namun perusahaan ini kalau
dikatakan rugi, katanya lagi, "memang tidak masuk akal."
PT Medal Sekarwangi yang oleh Sukoco, sekretaris Tim
Pengendalian Angkutan Jabotabek, dinilai sebagai memakai
"manajemen dokar" ternyata juga tidak rugi, malah merasa lega
dengan tarif Rp 50. Dari 300 kendaraan yang diperolehnya dengan
kredit sejak 1969, sudah dianggap lunas 120. Tapi lunas itu
rupanya karena sudah rusak.
Menurut SK Gubernur 8 Desember 1975, kendaraan yang rusak yang
berasal kredit US-AID, sudah cukup pengabdiannya sebagai bis
kota. Jadi, ia boleh dijual kalau masih ada harganya, tapi
tidaklah itu pernah dibayar kembali sepenuhnya. Namun
penunggakan kredit luar negeri semacam itu keseluruhannya
mencapai Rp 2,3 milyar yang, menurut Menhub Emil, sudah "dioper"
pemerintah.
Arion, yang pernah mendapat jatah 125 kendaraan (kredit US-AID),
juga menyatakan tidak rugi. Ada 50 yang sudah rusak, dan
dianggap "cukup pengabdiannya" sebagai bis kota. Tinggal 75 lagi
yang masih beroperasi di Arion. Perusahaan ini mengaku tetus
mencicil hutannya.
Suara para pengusaha swasta hampir senada untuk menimbulkan
kesan bahwa mereka bersedia membayar kembali sisa hutang. Mereka
masih terhutang Rp 2 milyar, menurut Menhub Emil, walaupun Rp
2,3 milyar sudah "dioper" pemerintah.
Kini -- terutama setelah diancam oleh Menhub Emil -- mereka
umumnya tidak lagi mehgatakan rugi, tapi sesudah tarif naik ke
Rp 50. Tentu juga tidak rugi karena bukan sedikit jumlah
kendaraan yang dinyatakan sudah "cukup pengabdian." Dengan
fasilitas pemerintah itu, berkata pula Lukman Hakim yang ketua
umum Dewan Mahasiswa Ul, para pengusaha bis kota sudah
memperkaya diri. "Ada di antaM mereka yang mengalihkan modal ke
usaha lain dan hanya mengoperasikan bis separuh dari yang
seharusnya sebagaimana dijatahkan pemerintah." Tapi yang agaknya
pasti, mereka jarang menyisihkan keuntungannya untuk membeli bis
baru. Tapi lebih suka mengharapkan fasilitas kredit dari bank.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini