AKHIR-AKHIR ini di Pilipina tengah berlangsung suatu perdebatan
yang ramai, antara para perencana ekonomi maupun masyarakat
umum, yakni tentang bagaimana hasil-hasil pembangunan dapat
dibagi secara lebih merata di antara seluruh lapisan masyarakat.
Para teknokrat Pilipina yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
pembangunan ekonomi kuatir bahwa konsentrasi kekayaan dan
pendapatan pada golongan yang relatif kecil merupakan suatu
faktor perintang, yang menghambat pertumbuhah ekonomi yang
pesat. Mereka berpendapat bahwa pemerataan kekayaan dan
pendapatan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena
perluasan pasaran domestik bagi hasil-hasil industri domestik.
Dan karena perluasan landasan pendapatan (income base) yang
dapat meningkatkan tabungan dalam negeri untuk membiayai
investasi-investasi produktif.
Umumnya pembagian pendapatan di negara-negara berkembang memang
lebih pincang daripada di negara-negara maju. Tapi di Pilipina
lebih gawat lagi. Dibanding dengan negara-negara Asia lainnya,
termasuk Indonesia, pembagian pendapatan di Pilipina lebih
pincang.
Proyeksi NEDA
Dengan memakai ukuran Bank Dunia maka 20% dari penduduk yang
berpendapatan tinggi memperoleh 53,3% dari pendapatan nasional
(GNP) Pilipina selama 1975. Lebih menyolok lagi mengingat bagian
pendapatan yang diperoleh 10% dari penduduk Pilipina yang paling
kaya, mewakili 37'Yo dari pendapatan nasional. Sebaliknya 40%
dari penduduk yang berpendapatan rendall, hanya memperoleh 14,7%
dari pendapatan nasional, sedangkan 40% dari penduduk yang
berpendapatan menengah memperoleh 32,0% dari pendapatan
nasional.
Kontroversi - yang akhir-akhir ini meletus di Pilipina adalah
mengenai proyeksi-proyeksi sementara yang barubaru ini disusun
oleh badan pemb angunan nasional Pilipina, yaitu National
Economic and De elopment Authority (NEDA), mengenai perkembangan
dalam pola pembagian pendapatan di Pilipina sampai tahun 2000.
Dalam proyeksi sementara ini maka pemerataan pendapatan yang
diharapkan akan dapat tercapai dalam dua dasawarsa mendatang
untuk sebagian besar hanya terbatas pada golongan yang
berpendapatan menengah saja, sedangkan golongan yang
berpendapatah rendah secara relatif tidak mengalami kemajuan
sama sekali. Hal ini jelas terlihat dari grafik di bawah ini:
Angka-angka di atas jelas memperlihatkan bahwa dalam
proyeksi-proyeksi NEDA, pemerataan hasil-hasil pembangunan yang
diharapkan akau tercapai dengan sistim perpajakan yang
progresif, untuk sebagian besar hanya akan menguntungkan
golongan yang berpendapatan menengah. Sedangkan golongan yang
berpendapatan rendah relatif tidak akan mengalami kemajuan sama
sekali.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa selama periode 1975 -
2000 bagian pendapatan nasional yang diperoleh 20% penduduk yang
terkaya secara relatif akan menurun dengan 9%, dan sebagian
terbesar akan tersalur pada golongan yang berpendapatan menengah
(meningkat dengan 105). Sedang golongan yang berpendapatan
rendah malahan mendapat bagian yang realtif lebih kecil daripada
yang diperolehnya dalam tahun 1975 (turun dengan 1%).
NEDA Pilipina berusaha menangkis kritik-kritik tajam ang
dilontarkan terhadap proyeksinya yang kontroversiil dengan
mengemukakan bahwa golongan yang miskin dalam tahun-tahun
mendatang akan dapat menikmati perluasan fasilitas-fasilitas
pendidikan, kesehatan, pemukimaryang lebih baik akibat kenaikan
dalah pengeluaran-pengelutan pemerintah untuk jasa-jasa sosial
ini, yang pada umumnya tidak akan tercermin dalam ukuran
pendapatan yang dipakai untuk proyeksi ini. Alasan lain yang
dikemukakan untuk membenarkan proyeksi NEDA sehenarnya lebih
kontroversiil lagi: Pengalaman negara-negara lain telah
menunjukkan bahwa kenaikan dalam tingkathidup golongan menengah
merupakan tulang punggung daripada proses pertumbuhan.
Lampu Merah
Tak jelas apakah proyeksi NEDA ini dilatarbelakangi pesimisLne
pada pihak perencana bahwa dalam tahap-tahap pertama proses
pertumbuhan ekonomi, kepincangan pembagian pendapatan yang
memburuk tidak dapat dielakkan. Namun kritik-kritik tajam yang
dilontarkan terhadap proyeksi NEDA telah mendorong sementara
pihak di NEDA untuk meninjau kembali kegunaan dari proyek
mengenai pola pembagian pendapatan. Dan sebaliknya memusatkan
perhatian dalam dasawarsa-dasawarsa mendatang pada sasaran yang
lebih relevan bagi peningkatan taraf hidup golongan yang miskin
yaitu penghapusan atau sedikitnya pengurangan dalarn jumlah
penduduk yan miskin. Yakni yang hidup di bawah tingkat
kemiskinan absl)lut, yang dapat diukur dari tingkatpendapatan
minimum yang larus diperoleh suatu rumah tanga yang terdiri
atas enam anggota untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokoknya.
Dengan memakai ukuran tingkat kemiskinan ini maka ternyata bahwa
dewasa ini kurang lebih 75% dari penduduk Pilipina hidup di
bawah tingkat kemiskinan. Pada waktu ini NEDA sedang
mempertimbangkan kemungkinan untuk menurunkan persentase
penduduk yang miskin ini menjadi sedikitnya 30% pada tahun 2000.
Sebagai suatu negara berkembang yang pada umumnya menghadapi
masalah-masalah yang serupa seperti yang dialami Pilipina, maka
kita patut mengikuti pula dengan seksama perdebatan yang tengah
berlangsung di negara tetangga kita. Meskipun pembagian
pendapatan di negara kita tidak begitu pincang seperti Pilipina,
namun hal ini tidak berarti bahwa kita boleh puas dengan keadaan
yang lebih baik ini, karena proses pertumbuhan ekonomi mempunyai
momentum tersendiri yang sulit dihentikan sekali proses ini
mulai berjalan.
Maka patut pula kita sekarang menjaga agar kepincangan dalam
pembagian pendapatan tidak menjadi lebh buruk dalam tahun-tahun
mendatang Dalam 5 - 10 tahun mendatang proses tersebut lebih
sulit lagi dihentikan daripada sekarang. Sebaiknya pula kita
menganggap kesimpulan dalam tulisan Sundrum - ahli ekonomi dari
Universitas Nasional Australia mengenai pola konsumsi di daerah
perkotaan di Jawa selarna periode 1970 - 1976 - sebagai tanda
lampu merah. Sundrum mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi sekarang
lebih menguntungkan daerah perkotaan daripada daerah pedesaan di
Jawa, serta pembagian pendapatan yang memburuk di daerah-daerah
perkotaan di Jawa selama periode 1970 - 1976.
Dalam pada itu masalah penghapusan kemiskinan absolut dari bumi
Indonesia patut dijadikan masalah pokok dalam strategi
pembangunan nasional jangka pendek maupun jangka panjang yang
perlu ditanggulangi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Apakah pada waktu ini hanya 20 atau 25% atau bahkan 50% dari
penduduk Indonesia masih miskin, ini sebenarnya suatu masalah
akademis saja. Tapi yang pasti: persentase yang paling rendah
pun berarti bahwa puluhan juta penduduk Indonesia masih miskin.
Artinya tak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini