AL-KAUTSAR
sutradara: Chaerul Umam
skenario: Asrul Sani
***
ADA film dengan goresan kwas besar, ada film dengan
keterperincian pinsil tajam.
Ditilik dari kemauan ceritanya Al Kautsar mungkin harus
berada di kategori pertama. Rendra, sebagai Saiful Bahri, guru
muda lulusan pesantren Pabelan yang tersohor maju, didatangkan
ke sebuah dusun -- agaknya di Sumatera Barat -- untuk mengajar.
Ia membawa ilmu agama dan ilmu pertanian. Di desa itu ia
berhadapan dengan seorang pareu, tokoh jagoan yang menolak
aama dan menccba menarik seorang janda. Parewa ini, dimainkan
oleh Saladin, dibantu oleh bekas santri yang jatuh jadi penjudi,
dimainkan oleh Wahab Abdi. Rendra tak cuma menghadapi mereka.
Meskipun ia didukung secara moril oleh tokoh moderat Bagong
Kusudirdjo, ia dipandang dengan ragu oleh kiyai lain, tokoh tua
yang dimainkan Wisnu Wardana. Kiyai tua ini menganggap bahwa
seorang penuntut ilmu agama tak usah masuk ke pengetahuan
pertanian.
Sang santri dengan demikian wakil dari suatu sikap. Psikologi
peran dengan demikian nomor dua, begitu pula kiranya ekspresi
aktor.
Tapi sutradara Chaerul Umam adalah seorang aktor panggung, yang
bisa bermain dengan intens sekali. Ia rupanya tak melupakan itu.
Kali ini ia menampilkan sejumlah pemain yang pada dasarnya orang
pentas juga. Dan di situlah soalnya. Film ini menjadi sebuah
pentas, dengan kelebihan dan kekurangannya.
O, Ya Rendra
Kelebihannya ialah bahwa ia merupakan kesempatan bagi Rendra.
Wahab Abdi, Wisnu Wardhana, Bagong Kussudiardjo dan Saladdin
untuk menampakkan segala kecakapan akting. Kekurangannya ialah
bahwa kehendak cerita yang bertema masalah sosial di pedesaan
ini -- seperti juga kita lihat pada sementara sandiwara
propaganda transmigrasi TVRI - justru tidak cukup mau repot
dengan sofistikasi seni peran. Ia bahkan tak mau terus dengan
salah satu konfliknya: benturan antara guru muda degnan kiyai,
tua diselesaikan denan sarat gampang bahkan seperti tak pernah
terjadi ketegangan. Rupanya yang dibutunkan: biarkan cerita
terus, isi pesan sampai, dan para pejabat senang, terutama
Menteri Agama Mukti Ali.
Dengan kata lain, film ini didekati secara sedus alem sutradara
dan sementar aktornya (terutama Wahab Abdi): -- padahal
seharusnya tak usah. Tentu saja harus dipuji Chaerul Umam karena
keseriusannya itu, begitu pula Wahab Abdi karena jerih-payahnya.
Tak bisa dilupakan harus dipuji juga Wisnu Wardhana: penari
Yogya ini bisa memainkan tokoh tua Haji Musa dengan meyakinkan
- paling tidak menurut ukuran pasfoto. Sedang Bagong
Kussudiardjo, dengan peran kecil dan tidak terlalu ngoyo, pas
benar dipandang.
Bagaimana dengan Rendra? Oh ya, Rendra. Tidak jelas adakah ia
juga menganggap film ini sebagai suatu hal yang memerlukan
energi seorang aktor, ataukah sekedar sebuah film penerangan.
Dialognya dengan Wisnu Wardhana -- ketika guru muda ini harus
beri "debat" dengan si kiyai tua - diucapkannya seperti sedang
menghapal teks.
Tapi di samping itu gerak Rendra menunjukkan bahwa baginya
sorotan kamera lebih riskan ketimbang sarotan para penonton di
petunjukan sandiwaranya yang selalu penuh. Di pentas, kehadiran
Rendra disertai cahaya dan gelap dan kata-kata. Di depan kamera,
setidaknya dalam AI Kautsar, cahaya netral dan 'kata-kata
kehilangan daya pukau. Ilusi banyak terkikis. Orang bisa
mengatakan bahwa Rendra di sini seperti seorang brewok yang
tiba-tiba saja nampak dalam keadaan bercukur. Tapi rnungkin
lebih sopan, bila dikatakan, menurut adat kritik secara
Pancasila, bahwa ia tampil "tanpa kedalaman".
Mungkin karena "kedalaman" itu memang tak usah diada-adakan
untuk sebuah film yang ingin mengajarkan bahwa santri perlu juga
tahu masalah pertanian, dan bahwa orang yang begitu jahat
(sampai sampai di dusun itu ia berani bicara keras, bahwa agama
sudah tidak perlu di zaman modern) pada akhirnya akan kalah.
Kok Nggak Ada . . .
Saya kebetulan menonton film ini di sebuah bioskop di Sukabumi
di hari lebaran. Di Sukabumi banyak pesantren dan hari itu
kelihatannya banyak juga orang beragama yang nonton. Anehnya,
sebagian penonton di sekitar menggerutu. Seorang anak berumur 6
tahun minta keluar separuh main. "Saya mah sudah tahu jagoannya
akan menang dan jahatnya akan kalah katanya, "tapi kok nggak
ada berantemnya."
Para penonton itu rupanya tidak memperhatikan bahwa ini adalah
hasil ikhtiar seorang sutradara muda yang hendak membuat sebuah
film bermutu, bukan saja dari isi yang berdawah, tapi juga dari
segi akting. Para penonton itu mungkin sih senang juga dengan
isi moral ceritanya. Tapi mereka rupanya ingin ketawa keras,
atau menangis,pokoknya berpartisipasi -- suatu hal yang memang
biasanya dilupakan oleh bapak-bapak kita yang fikirannya teguh
dan tunggal: penonton itu harus diajar bermoral, demi Tuhan!
Saya sendiri bersimpati besar kepada kawan saya Chaerul Umam.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini