Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Yang jahat pasti kalah

Sutradara: chaerul umam pemain: rendra, wahab abdi, wisnu wardhana, resensi oleh: goenawan mohamad. (fl)

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AL-KAUTSAR sutradara: Chaerul Umam skenario: Asrul Sani *** ADA film dengan goresan kwas besar, ada film dengan keterperincian pinsil tajam. Ditilik dari kemauan ceritanya Al Kautsar mungkin harus berada di kategori pertama. Rendra, sebagai Saiful Bahri, guru muda lulusan pesantren Pabelan yang tersohor maju, didatangkan ke sebuah dusun -- agaknya di Sumatera Barat -- untuk mengajar. Ia membawa ilmu agama dan ilmu pertanian. Di desa itu ia berhadapan dengan seorang pareu, tokoh jagoan yang menolak aama dan menccba menarik seorang janda. Parewa ini, dimainkan oleh Saladin, dibantu oleh bekas santri yang jatuh jadi penjudi, dimainkan oleh Wahab Abdi. Rendra tak cuma menghadapi mereka. Meskipun ia didukung secara moril oleh tokoh moderat Bagong Kusudirdjo, ia dipandang dengan ragu oleh kiyai lain, tokoh tua yang dimainkan Wisnu Wardana. Kiyai tua ini menganggap bahwa seorang penuntut ilmu agama tak usah masuk ke pengetahuan pertanian. Sang santri dengan demikian wakil dari suatu sikap. Psikologi peran dengan demikian nomor dua, begitu pula kiranya ekspresi aktor. Tapi sutradara Chaerul Umam adalah seorang aktor panggung, yang bisa bermain dengan intens sekali. Ia rupanya tak melupakan itu. Kali ini ia menampilkan sejumlah pemain yang pada dasarnya orang pentas juga. Dan di situlah soalnya. Film ini menjadi sebuah pentas, dengan kelebihan dan kekurangannya. O, Ya Rendra Kelebihannya ialah bahwa ia merupakan kesempatan bagi Rendra. Wahab Abdi, Wisnu Wardhana, Bagong Kussudiardjo dan Saladdin untuk menampakkan segala kecakapan akting. Kekurangannya ialah bahwa kehendak cerita yang bertema masalah sosial di pedesaan ini -- seperti juga kita lihat pada sementara sandiwara propaganda transmigrasi TVRI - justru tidak cukup mau repot dengan sofistikasi seni peran. Ia bahkan tak mau terus dengan salah satu konfliknya: benturan antara guru muda degnan kiyai, tua diselesaikan denan sarat gampang bahkan seperti tak pernah terjadi ketegangan. Rupanya yang dibutunkan: biarkan cerita terus, isi pesan sampai, dan para pejabat senang, terutama Menteri Agama Mukti Ali. Dengan kata lain, film ini didekati secara sedus alem sutradara dan sementar aktornya (terutama Wahab Abdi): -- padahal seharusnya tak usah. Tentu saja harus dipuji Chaerul Umam karena keseriusannya itu, begitu pula Wahab Abdi karena jerih-payahnya. Tak bisa dilupakan harus dipuji juga Wisnu Wardhana: penari Yogya ini bisa memainkan tokoh tua Haji Musa dengan meyakinkan - paling tidak menurut ukuran pasfoto. Sedang Bagong Kussudiardjo, dengan peran kecil dan tidak terlalu ngoyo, pas benar dipandang. Bagaimana dengan Rendra? Oh ya, Rendra. Tidak jelas adakah ia juga menganggap film ini sebagai suatu hal yang memerlukan energi seorang aktor, ataukah sekedar sebuah film penerangan. Dialognya dengan Wisnu Wardhana -- ketika guru muda ini harus beri "debat" dengan si kiyai tua - diucapkannya seperti sedang menghapal teks. Tapi di samping itu gerak Rendra menunjukkan bahwa baginya sorotan kamera lebih riskan ketimbang sarotan para penonton di petunjukan sandiwaranya yang selalu penuh. Di pentas, kehadiran Rendra disertai cahaya dan gelap dan kata-kata. Di depan kamera, setidaknya dalam AI Kautsar, cahaya netral dan 'kata-kata kehilangan daya pukau. Ilusi banyak terkikis. Orang bisa mengatakan bahwa Rendra di sini seperti seorang brewok yang tiba-tiba saja nampak dalam keadaan bercukur. Tapi rnungkin lebih sopan, bila dikatakan, menurut adat kritik secara Pancasila, bahwa ia tampil "tanpa kedalaman". Mungkin karena "kedalaman" itu memang tak usah diada-adakan untuk sebuah film yang ingin mengajarkan bahwa santri perlu juga tahu masalah pertanian, dan bahwa orang yang begitu jahat (sampai sampai di dusun itu ia berani bicara keras, bahwa agama sudah tidak perlu di zaman modern) pada akhirnya akan kalah. Kok Nggak Ada . . . Saya kebetulan menonton film ini di sebuah bioskop di Sukabumi di hari lebaran. Di Sukabumi banyak pesantren dan hari itu kelihatannya banyak juga orang beragama yang nonton. Anehnya, sebagian penonton di sekitar menggerutu. Seorang anak berumur 6 tahun minta keluar separuh main. "Saya mah sudah tahu jagoannya akan menang dan jahatnya akan kalah katanya, "tapi kok nggak ada berantemnya." Para penonton itu rupanya tidak memperhatikan bahwa ini adalah hasil ikhtiar seorang sutradara muda yang hendak membuat sebuah film bermutu, bukan saja dari isi yang berdawah, tapi juga dari segi akting. Para penonton itu mungkin sih senang juga dengan isi moral ceritanya. Tapi mereka rupanya ingin ketawa keras, atau menangis,pokoknya berpartisipasi -- suatu hal yang memang biasanya dilupakan oleh bapak-bapak kita yang fikirannya teguh dan tunggal: penonton itu harus diajar bermoral, demi Tuhan! Saya sendiri bersimpati besar kepada kawan saya Chaerul Umam. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus