Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keindahan Puncak Genasi, Kecamatan Lahusa, Nias Selatan, Sumatera Utara, bak lukisan di atas kanvas. Bukit hijau menghampar dan di bawahnya terbentang laut jernih kebiruan. Pohon nyiur melambai-lambai di bibir jurang yang menjorok ke laut.
Setelah menempuh 100 kilometer yang melelahkan dari Gunungsitoli, terasa segar melepas penat di tempat itu. Teluk Dalam, ibu kota Kabupaten Nias Selatan, masih 20 kilometer dari sana. Siapa sangka di tempat nan elok inilah Elyudin Telaumbanua, wartawan koran Berita Sore terbitan Medan, meregang nyawa. Ia tewas di ujung pedang dan tombak pembunuhnya.
Peristiwa nahas itu terjadi empat bulan silam. Jenazah pria 51 tahun itu hingga kini belum ditemukan. Namun, polisi telah menetapkan dua pembunuhnya: Sama Crisna Gawo, bekas Kepala Desa Bowoganowo, Lahusa, dan Jodi Talonovi, seorang warga setempat.
Sebenarnya saksi mata di Lahusa melihat pembunuh Elyudin lebih dari dua orang. Usaha Marumaha, rekan Elyudin yang saat kejadian berboncengan sepeda motor dengannya, juga sudah melapor ke Kepolisian Nias Selatan. Ia menuturkan melihat sendiri enam orang menganiaya Elyudin.
Elisah Sederhana boru Harahap, 45 tahun, istri Elyudin, pun punya cerita yang mungkin menjadi petunjuk jejak pembunuh suaminya. Ia menuturkan, suaminya terakhir kali berhubungan telepon dengan Hadirat Manao, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nias Selatan. Kepada Elisah, Elyudin juga menitipkan foto Nasman Manao, adik kandung Hadirat, disertai pesan: ”Bila terjadi sesuatu padaku, kamu harus mencari dia.”
Sebelum meninggalkan rumah, ayah empat anak itu juga mengatakan hendak menelusuri perkara Nasman yang pernah ditahan polisi Labuhan Batu, Sumatera Utara. Nasman disebutkan terlibat sebuah perkara pidana, namun bebas tanpa proses hukum.
Toh, polisi menemui jalan buntu dalam melacak petunjuk itu. ”Tak ada yang mau bicara. Kami kehabisan akal mengorek keterangan mereka,” kata Komisaris Besar Bambang Prihadi, juru bicara Polda Sumatera Utara, kepada Hambali Batubara dari Tempo di Medan.
Tempo yang menelusuri kasus ini ke Gunungsitoli dan Teluk Dalam, Desember lalu, malah menemukan kisah hubungan mesra antara Hadirat dan Elyudin. ”Dia sebenarnya wartawan yang banyak membantu Hadirat,” kata seorang sumber Tempo di Teluk Dalam. Membantu di sini bermakna hubungan yang tak sehat antara politisi dan wartawan.
Rekam jejak Elyudin sendiri sebelum menjadi wartawan cukup kelam. Semula ia bekerja sebagai pemborong kecil-kecilan di Gunungsitoli. Usahanya kandas setelah dituduh memerkosa dan membunuh seorang gadis. ”Perempuan yang dibunuh itu teman selingkuh,” ujar sumber Tempo tadi.
Desi Telaumbanua, anak kedua Elyudin, mengakui empat tahun lalu ayahnya pernah dituduh melakukan pembunuhan. ”Bapak ditahan kurang lebih setahun,” katanya. Menurut Desi, ayahnya kemudian dilepas karena tuduhan tak terbukti. ”Bapak dituduh karena malam sebelum terbunuh, gadis itu bersama Bapak,” ujarnya.
Setahun selepas dari bui, Elyudin menjadi wartawan Berita Sore. ”Kami tak tahu latar belakangnya,” kata Hendrik Paryitno, koordinator Berita Sore Liputan Sumatera Utara dan Aceh, kepada Bambang Sudjiartono dari Tempo.
Sebagai wartawan, Elyudin banyak berhubungan dengan para politisi dan pejabat di Nias, termasuk Hadirat Manao. Apalagi, Hadirat yang pensiunan tentara dengan pangkat terakhir sersan mayor itu juga bekas reporter. ”Dia dulu wartawan Simalungun Pos,” kata Nasman Manao.
Hubungan antara narasumber dan reporter ini bertambah rapat saat Hadirat mendaftar sebagai calon Bupati Nias Selatan. Apa lacur, saat itu Komisi Pemilihan Umum Daerah Nias Selatan malah mencoret nama Hadirat. Ia terlempar dari daftar calon lantaran Partai Pelopor, tempatnya berkarier sebagai politisi, tak mencantumkan namanya.
Hadirat tak menerima keputusan itu. Ia menyalahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah. ”Ia lalu ’menggunakan’ Elyudin,” kata sumber Tempo tadi. Dari data Berita Sore, beberapa bulan sebelum tewas, berita yang ditulis Elyudin memang selalu menghujat KPUD Nias Selatan. Dan narasumber utamanya adalah Hadirat.
Gerilya politik lewat media massa itu tak membawa hasil. ”Hadirat mulai kecewa,” kata sumber tadi. Hubungan dengan Elyudin pun mulai retak, entah apa penyebabnya. Keretakan hubungan kian menganga setelah Elyudin tiba-tiba berbalik hendak membongkar cerita tak sedap menyangkut Nasman Manao.
Pada Agustus 2005, Hadirat mengundang Elyudin datang ke Teluk Dalam. Teman-temannya sesama wartawan di Gunungsitoli sempat melarangnya menemui Hadirat, namun ia berkukuh tetap berangkat.
Menurut Elisah, Elyudin berjumpa dengan Hadirat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nias Selatan, tapi Hadirat membantah bertemu sang wartawan. Yang jelas, dalam perjalanan kembali ke Gunungsitoli, Elyudin sempat singgah di rumah kerabatnya di Lahusa.
Ia juga mampir di Bowoganowo, Lahusa, bersama temannya, Usaha Marumaha. Mereka mendatangi sebuah rumah yang sedang berduka. Bajo, pemilik rumah itu, tewas dibunuh pada malam 24 Agustus lalu.
Di sanalah Elyudin bersua dengan orang-orang yang dikenalnya di Teluk Dalam. Mereka diduga orang-orang yang dekat dengan Hadirat. Begitu melihat Elyudin datang, mereka marah. ”Elyudin diusir dari situ,” kata seorang saksi mata.
Wartawan gaek ini pun segera meninggalkan rumah duka. Dibonceng Usaha, ia memacu sepeda motornya ke arah Gunungsitoli. Tapi, tiga sepeda motor berpenumpang enam orang mengejar hingga dekat Puncak Genasi. Mereka langsung mencegat Elyudin dan menghajarnya. Usaha berhasil menyelamatkan diri.
Sambil berlari, Usaha melihat Elyudin dihajar beramai-ramai. Warga Desa Hilinamoniha, Nias Selatan, ini tak berani menolong. Teriakan minta bantuan tak ada yang mendengar, hilang dalam belantara dan ditelan gemuruh ombak. Malam itu juga Usaha melapor ke kantor polisi Nias Selatan. Petugas yang mendatangi lokasi kejadian hanya menemukan sepeda motor Elyudin.
Keluarga Elyudin ikut melapor ke Kepolisian Nias Selatan. Elisah langsung menjumpai Kepala Polisi Nias Selatan, Ajun Komisaris Besar Aiman Safrudin. ”Ia mengatakan tak mampu mengungkap pelakunya,” ujar Elisah.
Aiman malah menganjurkan keluarga Elyudin melapor ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara, namun kasus ini tetap susah diungkap. Titik terang mulai terkuak setelah Markas Besar Kepolisian RI menurunkan petugas ke Sumatera Utara. Mereka langsung menangkap dua tersangka pembunuh Elyudin.
”Sebenarnya yang diduga terlibat ada tujuh orang. Untuk sementara ini, dua orang yang kami berkas,” kata Bambang Prihadi. Polisi menemui kesulitan karena para saksi hanya menunjuk dua orang tersangka itu. ”Selebihnya mereka tutup mulut,” katanya.
Keluarga Manao pun menampik keterlibatan Hadirat di balik pembunuhan itu. ”Ngapain kecoa kami bunuh? Dia kan orang yang selalu membela keluarga kami,” kata Nasman. Hendrik dari Berita Sore ikut menyangkal cerita tentang Elyudin yang dimanfaatkan Hadirat.
Sebetulnya ada petunjuk lain dari seorang kerabat Elyudin di Nias Selatan. Kepada seorang wartawan ia mengatakan, sebelum tewas Elyudin sempat menunjukkan uang yang diperoleh dari Teluk Dalam sebesar Rp 6 juta. Apakah uang itu dari Hadirat? ”Kalau uang minum, ya, tapi jumlahnya tidak sebesar itu,” kata Nasman. Alhasil, hubungan politisi-wartawan yang berujung maut itu hingga kini masih berselimut misteri.
Hadirat sendiri sudah meringkuk dalam tahanan polisi Sumatera Utara sejak Desember lalu. Tapi, menurut Bambang Prihadi, penahanan Hadirat tak ada kaitannya dengan kasus Elyudin. ”Kami tak bisa mengait-ngaitkan tanpa bukti dan data yang jelas,” katanya. ”Saksi juga tak ada yang menunjuk Hadirat.”
Bambang menegaskan, polisi belum menemukan jembatan penghubung antara kematian Elyudin dan Hadirat. Penahanan Hadirat dilakukan lantaran politisi itu dianggap sebagai provokator. Ia membuat edaran berisi imbauan agar warga Nias Selatan tak ikut pemilihan bupati yang berlangsung pada Desember lalu. Toh, rakyat tak terpengaruh dan tetap menggunakan hak pilih mereka.
Di kantor Berita Sore di Medan, rekan-rekan Elyudin tetap yakin Hadirat terlibat dalam kasus ini. Begitu pula keluarga korban di Gunungsitoli. ”Apa pun latar belakang hidupnya, ia tetap tak boleh dibunuh. Polisi harus tuntas menangani kasus ini,” kata Hendrik.
Nurlis E. Meuko (Nias)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo