KATA ibunya, ia ingin buru-buru sampai di rumah. Ia bermaksud menonton film seri The A Team. Tapi, ia justru babak belur dikeroyok sekelompok pemuda, karena disangka hendak mencuri burung. Setelah sembilan hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), pekan lalu, Herryanto, 14 tahun, mengembuskan napas terakhirnya. Sedang kawan-kawannya punya cara sendiri untuk turut berduka. Mereka mengecam para pengeroyok Herry, begitu ia dipanggil sehari-hari. Mereka memasang poster, dan menempelkannya di salah satu pojok Jalan Dempo, tempat Herry dikeroyok. "Herry telah mati, sebaiknya kalian turut bersimpati." Mencuri burung? Menurut ibunya, Nyonya Khairiyah, itu tak mungkin dilakukan Herry. "Ia memang agak bandel, seperti layaknya anak-anak. Tapi masih terkendali," katanya. Kata guru agama di sekolahnya, anak kelas tiga SMP-56 itu suka sepak bola. Sore itu, Herry diajak Hery Susilo, tetangganya dan kawan mainnya, pergi ke Simpruk. Susilo hendak menagih uang kontrakan rumahnya di sana. Pulang dari Simpruk, tak ada kendaraan. Hari terlalu malam. Pukul 22.00 itu, mereka berjalan kaki memintas Jalan Dempo. Rencananya, mereka hendak ke Mayestik. Sebab dari situlah ada mobil omprengan ke arah rumahnya di Senopati Dalam. Menurut ibunya, Herry lalu ingin kencing. Persis di depan rumah Jalan Dempo IV No. 3, Herry melepaskan hajatnya. Saat itulah sebuah mobil datang. Dan lampunya disorotkan ke Herry. Menurut pengacara Djoni Irawan, yang membantu Nyonya Khairiyah yang memperkarakan kasus ini, enam orang penumpang mobil itu segera turun dan mendekati dua anak tadi. "Kamu mau mencuri burung, ya?" bentak mereka. Dua Hery itu menyangkal. Herryanto memperlihatkan kartu pelajarnya. Sedang Hery Susilo, 22 tahun -- pelajar SMA -- mengaku kuli bangunan. Percuma saja sangkalan mereka. Para pemuda itu kemudian memukul keduanya. Setelah setengah hancur, keduanya dibawa ke pos RW. Di situ, rambut mereka dipotong. Dan dibotaki. Herryanto pingsan. Hery Susilo kemudian membawa anak ini ke Polisi Sektor Taman Puring. Dari sini, Herry dilarikan ke RS Fatmawati. Setelah itu dipindahkan lagi ke RSCM. Polisi segera bergerak. Malam itu juga, polisi memeriksa 6 tersangka pengeroyok Herry. Namun, kemudian mereka dilepaskan esok harinya. Pertimbangan Kapolsek Mayor J.M.R. Sondakh, ketika itu, karena mereka banyak yang mahasiswa. Keluarga Herry tak puas. Mereka lalu mengadu ke LBH. Tak hanya mengadukan tindak pidananya. Bahkan, kalau mungkin, juga menuntut ganti rugi. Baru setelah mendengar Herry meninggal, polisi memeriksa kembali para pengeroyok itu. Di antaranya, Bambang Purnomo yang menetap di rumah nomor 3 itu. Bambang, pada TEMPO, menyatakan tetap yakin: Herry hendak mencuri burung. Posisi dua anak itu dilihatnya mencurigakan. Tempat kencing Herry, walaupun di luar pagar, seolah "masuk" ke pekarangan. Menurut Bambang, salah seorang masuk ke pekarangan dengan melompat pagar samping. Tapi keluar lagi, setelah dipanggil kawannya, karena melihat ada mobil datang. Ketua RT setempat, Willy, menyebut wilayah itu belakangan ini kurang aman. Bambang, misalnya, baru saja kehilangan dua burung piaraannya. Sedang di sebelahnya, Prawoto juga kecurian tape mobilnya. Soal pemukulan, kata Bambang, tak serta terjadi. Ia dan istrinya -- penumpang mobil itu -- mengaku hanya bertanya, "Mau apa?" Tapi massa datang lalu memukuli mereka. "Pada saya ia ngaku akan mengambil burung." Bahkan minta agar tak dilaporkan ke polisi, takut kalau dikeluarkan dari sekolah. Tak pasti apa sebenarnya yang dilakukan Herry. Yang pasti: matanya jadi buta, kaki kiri lumpuh, telinga kanan tuli. "Kematian itu memang lebih baik baginya," ujar ibunya, pasrah. Ahmadie Thaha & Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini